Bab 21

24K 1.9K 52
                                    

“Siniin kunci mobilnya Kak Ian.”

Kesadaranku perlahan mulai kembali memenuhi diriku saat Siren turun dari lengan kursi dan berjalan menghampiriku seraya menengadahkan tangannya padaku, menodong agar aku segera memberikan kunci mobil Ian padanya entah untuk tujuan apa.

Aku menarik tanganku dari knop pintu, menghadapi Siren yang menatapku dengan malas. Sementara kebekuan dalam tubuhku mulai mencair dan aku mencoba menarik napas panjang untuk sekadar merilekskan diri.

Kalau Siren mengira aku akan tunduk padanya untuk memberikan kunci mobil Ian, maka dia salah besar. Sikapnya yang sesuka hatinya itu terpantul padaku dan membuatku juga akan melakukan hal serupa.

Aku tak akan membiarkan diriku tertindas. Apalagi oleh Siren yang selama ini selalu menganggapku sebagai musuh.

Siren masih menengadahkan tangannya padaku, kali ini sambil menggoyangkannya, seakan tak sabar menungguku menyerahkan benda yang masih dalam genggamanku ini.

Aku mengerjap dengan gerakan mata yang menunjukkan kesinisan. Kulipat kedua tanganku di depan dada, menantangnya dengan tenang. Sementara aku tak berniat sama sekali untuk memberikan kunci mobil Ian kepadanya. Dan Siren menyadarinya.

Meski wajahnya masih terlihat datar, aku dapat menangkap sekilas kejengkelan dalam sorotnya. Dia pun perlahan menurunkan tangannya ke sisi tubuhnya.

Aku terus memerhatikan tiap gerak-geriknya dengan saksama. Mulutnya sudah terbuka. Mungkin ingin melontarkan makian padaku, tetapi dia kembali menutup mulutnya saat Ian tiba-tiba saja hadir di antara kami.

Ian merampas kunci mobilnya dariku, membuatku tersentak kaget. Dia lantas berhenti di sisiku sejenak sembari beucap, “Gue langsung pulang, ya.”

Tanpa menunggu balasan dariku, Ian langsung beranjak pergi. Raut wajahnya pun terlihat berbeda. Ian tampak malas berada di tengah-tengah keributan yang terjadi di antara kami.

Aku masih dilanda keterkejutan dan hanya bisa menyaksikan punggung Ian yang berjalan menjauh hingga menghilang dari pandanganku tanpa bisa berucap apa pun.

“Udah tiga tahun aku nggak pernah pulang ke Indonesia.” Suara Siren membuatku berpaling kembali padanya. “Aku pikir kamu udah jadian sama Kak Ian.” Dia tertawa mencemooh sembari bersedekap dada.

Aku menghela napas panjang. Memasang ekspresi tak tertarik akan ucapannya dan memilih untuk tak menggubrisnya dengan berjalan melewatinya, lalu langsung duduk di kursi kerjaku.

Siren sepertinya tak senang dengan pengabaianku. Dia kembali menyusulku dan mengambil duduk di kursi di hadapanku. Kakinya disilangkan dengan punggung yang disandarkan pada kursi, berusaha untuk mengintimidasiku.

Aku yang tadinya hendak langsung menghidupkan komputer untuk mengecek email masuk, terpaksa mengurungkan niatku sejenak.

Pandanganku kembali mendarat pada Siren. Kuletakkan daguku pada tumpuan tanganku di atas meja. “Kalau kamu datang ke sini cuma untuk membahas hal yang nggak penting, kamu bisa pulang,” ucapku, mengusirnya secara terang-terangan.

Jujur saja, aku masih tak dapat menebak alasan yang membuat Siren datang ke kantorku. Padahal, saat di bandara tadi, dia jelas-jelas menolak interaksi denganku. Tetapi sekarang malah mengunjungiku ke sini.

Memangnya ada ya orang yang jet lag sampai bikin dirinya jadi nggak konsisten kayak Siren gini?

Atau mungkin dia salah makan saat di pesawat tadi sehingga membuat dirinya jadi plin-plan?

“Aku cuma mau minta hak aku di perusahaan ini.”

Aku menaikkan sebelah alisku, mempertanyakan maksud dari ucapannya. Pasalnya, selama tiga tahun Siren tak pulang ke Indonesia, kami tidak pernah berkomunikasi sama sekali. Dan seingatku, dia tidak menanam saham apa pun di sini. Mendukungku saja tidak. Lalu, hak apa yang dimaksudnya?

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang