Bab 42

23.5K 2K 169
                                    

Hai hai! Udah lama, nih, nggak ketemu. Maaf ya kubaru bisa update sekarang🥲

Btw, Bab ini panjangnya 2x lipat dari bab-bab lainnya. Jadi, silakan cari tempat ternyaman kalian sebelum membaca!

Happy reading❤

•••

Aku kalah tanggap. Tak menyangka jika Siren akan bermain tangan denganku. Refleksku yang terlambat membuatku hanya bisa pasrah menerima kebrutalannya. Aku sampai harus menunduk untuk meminimalisir rasa sakit akibat jambakannya.

Beruntung aksi brutal Siren tak berlangsung lama. Aku pun merasakan kelegaan yang luar biasa begitu tangannya lepas dari rambutku. Setelahnya, disusul oleh suara langkah kaki yang berlari dengan tergesa.

“Kurang ajar banget, sih, lo!”

Aku masih membungkuk dengan rambut yang menutupi sebagian wajahku. Namun, aku tahu suara yang dipenuhi amarah itu adalah milik Meta. Barangkali dialah yang menjauhkan Siren dariku.

Kurasakan sebuah tangan menyentuh kedua pundakku, seakan membantuku untuk berdiri dengan tegak. Telapak yang terasa besar itu sudah bisa kupastikan sebagai milik Ian.

Posisiku sudah tegak dan berusaha untuk menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku, tetapi tanganku gemetar hebat dan kesulitan untuk mencapai rambutku.

Serangan tiba-tiba dari Siren tentu membuatku shock. Pikiranku langsung melayang ke kejadian di kelab malam, saat Andra juga berbuat kasar padaku. Rasa trauma itu kembali muncul dan membuatku ketakutan luar biasa.

Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di hadapanku saat ini karena tiba-tiba saja tubuhku dipaksa untuk berbalik sebelum masuk ke dalam pelukan seseorang. Seseorang yang kuyakini adalah Ian. Dari postur tubuh dan aroma parfumnya, sosok itu memanglah Ian.

“Sshh! Lo aman, Nya. Ada gue di sini.” Kalimat itu dibisikkan Ian tepat di telingaku sembari mengusap-usap punggungku. Barangkali dia menyadari ketakutan yang sedang kurasakan saat ini.

Aku melingkarkan kedua lenganku di tubuh Ian, memeluknya dengan erat, mencoba mencari perlindungan di sana.

Aku takut. Sangat amat takut.

Pikiranku masih terus memutar kejadian traumatis yang kualami beberapa hari yang lalu. Aku menggeleng-geleng kuat, tetapi insiden itu terus berputar dalam kepalaku.

Aku tidak kuat dan berakhir menumpahkan tangisku di dada Ian.

“Ada gue di sini.” Ian masih berusaha menenangkanku. “Gue bakal ngelindungi lo dari siapa pun, Nya.”

Dekapanku di tubuh Ian semakin erat. Tangisanku pun bertambah deras. Tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing, seakan-akan sedang dipukul oleh ribuan benda tumpul.

Keributan masih terdengar dalam telingaku. Sepertinya bukan hanya Meta yang ada di sini, kedua sahabatku yang lain pun juga ada. Mereka membantu Ian untuk menenangkanku. Sementara aku tidak tahu apa yang terjadi pada Siren.

Saat tubuhku sudah terasa semakin lemas karena kepalaku yang bertambah nyeri, Ian langsung mengurai pelukan kami. Dia merangkul tubuhku dan membawaku masuk ke dalam.

Ian membawaku ke kamarnya, mendudukkanku di pinggir ranjang. Sementara Olinsa ikut bersamaku. Meta dan Felsi tetap tinggal di luar, entah sedang melakukan apa pada Siren.

“Gue takut,” lirihku dengan suara yang bergetar dan air mata yang masih bercucuran.

Olinsa mengambil duduk di sebelahku, merangkul pundakku dan mengusapnya dengan lembut. Berbeda halnya dengan Ian yang berlutut di hadapanku sambil menggenggam kedua tanganku.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang