Bab 27

23.2K 1.7K 23
                                    

Sialan!

Kenapa, sih, air mataku harus keluar di saat-saat seperti ini? Menangis di depan Ian karena terlibat masalah dengannya bukanlah sesuatu yang baik. Aku tidak ingin terlihat lemah di matanya.

Beruntung aku langsung meninggalkannya saat mulai merasakan hujaman air mataku yang akan datang tak lama lagi. Dan benar, begitu keluar dari kamarnya, tangisku meledak. Buru-buru aku memasuki toilet di lantai dua dan menumpahkan air mataku di sana.

Aku menangis sesenggukan, tetapi sebisa mungkin menahan diri agar isak tangisku tak terdengar sampai luar. Aku pun terpaksa harus menutupi mulutku dengan telapak tanganku untuk sedikit meredam suaraku.

Bukan baru sekali aku bertengkar dengan Ian, malah kami bisa dikatakan sering bertengkar. Namun, bila cekcok di antara kami cukup besar dan sudah melibatkan perasaan pribadiku, aku memang kerap menangis setelahnya walau sebisa mungkin menyembunyikan tangisanku dari Ian. Sialnya, aku tadi kelepasan.

Kutarik napas dalam-dalam saat isak tangisku mulai mereda. Kuhapus pelan jejak air mata yang membasahi wajahku. Aku lantas bangkit berdiri, mematut diri di depan cermin kamar mandi yang berbentuk persegi.

Kutatap wajahku di sana dan meringis pelan. Padahal, tangisanku hanya berlangsung selama kurang lebih lima menit, tetapi mataku sudah tampak begitu sembap.

Sekali lagi kutarik napas panjang. Kemudian kunyalakan keran air dan mulai membasuh wajahku, berharap bisa sedikit menyamarkan bekas tangisanku yang tampak jelas.

Kumbil tisu untuk mengeringkan wajahku. Sial! Bengkak di kedua mataku tetap kelihatan jelas. Aku butuh makeup, tetapi tasku berada di halaman belakang. Kalau aku mengambil tasku di sana, mereka akan tetap bisa melihat mataku yang sembap.

Apa aku harus menggunakan strategi mengendap-endap?

Baiklah.

Sepertinya itu tidak terlalu buruk untuk dicoba.

Setelah membuang tisu ke tempat sampah, aku bergegas keluar dari kamar mandi dengan kepala yang sibuk menyusun siasat agar tasku bisa berada di tanganku tanpa terlihat oleh siapa pun.

Aku terlonjak kaget dan nyaris menutup kembali pintu toilet yang baru kubuka ketika menemukan Ian yang sedang berdiri di hadapanku. Napasku sempat terhenti sejenak dengan mata yang berpusat padanya.

Aku masih berusaha mengembalikan kesadaranku dari keterkejutan yang luar biasa, tetapi tiba-tiba saja Ian mengambil tanganku dan menarikku dengan lembut ke dalam pelukannya.

Bukannya mendapatkan kesadaranku, aku malah semakin terombang-ambing dengan reaksi yang campur aduk. Kaget. Bingung. Bimbang. Semuanya bercampur menjadi satu.

“Maaf.”

Suara Ian yang terdengar lemah mampir di telingaku. Dekapannya pun semakin erat. Sementara tubuhku membeku. Masih sibuk mencerna keadaan yang terjadi sangat cepat ini.

“Gue terlalu egois dan nggak pernah bisa ngertiin perasaan lo. Gue selalu nyimpulin tentang lo seenaknya. Gue nggak pernah nyadar udah seberapa banyak rasa sakit yang gue kasih ke elo,” sambung Ian, dengan suara yang begitu lirih dan penuh penyesalan. “Maaf. Maafin gue, Nya.”

Aku mengerjap sebanyak dua kali sembari memaksa akal sehatku agar segera kembali mengisi otakku yang mendadak terasa kosong.

“Gue bener-bener minta maaf.” Kata maaf terus keluar dari mulut Ian, seakan-akan dia bisa mengucap hal yang sama sampai ribuan kali.

Sedikit demi sedikit saraf-saraf di otakku mulai kembali tersambung, dan reaksi pertama yang kuberikan pada Ian adalah menarik diriku dari dalam dekapannya.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang