Bab 15

27.7K 2.2K 95
                                    

Tidurku terganggu saat mendengar suara dering ponsel yang cukup berisik. Kucoba untuk tak menggubrisnya dan kembali masuk ke dalam mimpi bahagiaku yang masih belum terselesaikan.

Aku mengubah posisiku yang sebelumnya telentang menjadi miring ke kiri. Namun sial, dering ponsel itu masih terus berlanjut dan membuat telingaku jadi pengang.

Sambil menahan kesal, aku bangkit dari tidurku, mengambil posisi duduk dengan kaki yang bersila sambil berusaha mengumpulkan nyawaku yang masih tertinggal di alam mimpi.

Masih dengan mata yang sulit untuk dibuka dan penglihatan seadanya, aku mencondongkan badanku ke samping kiri dengan sebelah tangan yang kuulurkan ke depan, hendak mengambil ponsel yang terletak di sana.

Betapa terkejutnya aku saat badan dan lenganku menyenggol sesuatu yang cukup besar. Mataku seketika terbuka lebar dan niatku untuk mengambil ponsel pun urung karena secara refleks aku memundurkan tubuhku.

Aku sempat menjauh dari objek yang kusentuh. Kesadaranku yang belum sepenuhnya pulih dan keadaan kamarku yang masih remang-remang tentu saja membuatku merasa panik. Namun, saat kuturunkan netraku pada objek tersebut, barulah aku dapat menghela napas dengan lega.

Yang tadi bersentuhan dengan tubuhku tanpa sengaja rupanya Ian.

Sial.

Padahal, aku sudah kepalang takut hingga membuat ritme jantungku berubah cepat.

Kuembuskan napas panjang-panjang sambil menegakkan kembali posisi dudukku. Satu tanganku masih sibuk mengelus-elus dadaku yang terkena dampak dari kekagetanku tadi. Lalu, kembali pada niatku di awal, aku kembali mencondongkan badanku ke kiri untuk mengambil ponselku yang kini sudah tak menerima panggilan lagi.

Aku langsung mengecek ponselku dan mendapati tiga panggilan tak terjawab serta beberapa pesan masuk dari kontak yang bernama "Mama".

Karena tak dapat menjawab telepon darinya, aku pun segera membuka pesan yang mama kirimkan padaku.

Mama:
Masih tidur ya, Kak?
Ya, udah gapapa kalo masih tidur. Mama kangen, pengen denger suara kamu.
Tapi sekarang mama tiba-tiba dipanggil, ada urusan kerjaan. Nanti mama telepon lagi ya, Kak.
Love you anak mama yang paling cantik❤

Sederet pesan yang mama kirimkan membuat senyumku merekah lebar, tetapi tetap ada rasa menyesal karena tak sempat mengangkat telepon darinya.

Aku dan kedua orang tuaku memang menjalani hubungan jarak jauh. Mereka pindah ke Jerman saat aku baru menyelesaikan masa SMA-ku karena urusan pekerjaan. Mama dan papa tentu saja mengajakku untuk berkuliah di sana, tetapi aku sudah punya plan sendiri dalam hidupku dan memutuskan untuk tetap tinggal di sini.

Beberapa hari ini, komunikasiku dengan mama dan papa memang tak seintens biasanya. Kami sama-sama sedang dilanda kesibukan. Ditambah lagi dengan perbedaan waktu antara Indonesia dan Jerman yang membuat waktu kami untuk sekadar video call selalu bentrok.

LDR sama orang tua sendiri memang suka bikin nyesek. Apalagi kalau lagi kangen-kangennya. Syukurnya setiap tahun kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu. Kalau bukan mama dan papa yang pulang ke Indonesia, maka aku yang akan menyusul mereka ke Jerman.

Dengan cepat aku menyentuhkan jariku di atas keyboard untuk membalas pesan mama. Kemudian, kukembalikan ponselku ke tempat semula setelah sempat menengok jam yang rupanya sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Perhatianku kini kembali pada Ian yang masih tampak nyenyak dalam tidurnya. Aku sampai geleng-geleng kepala. Padahal, dering dari ponselku terdengar sangat kuat. Bisa-bisanya dia masih tidur dengan pulas.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang