Bab 11

26.8K 2.3K 76
                                    

Ini aneh.

Di malam minggu seperti ini, biasanya paling tidak ada satu orang terdekatku yang bisa kuajak hangout. Namun, kali ini semua orang-orang terdekatku punya kegiatan masing-masing hingga ajakanku berakhir dengan penolakan.

Aku sudah mencoba mengajak Lana, tetapi rupanya dia sedang ada kegiatan di kampus yang mengharuskannya tetap bertahan di sana sampai malam.

Ketiga sahabat baikku juga sudah kuajak, tetapi ketiganya kompak menolak dengan alasan yang berbeda-beda. Bahkan, Meta yang biasanya langsung sat set sat set kalau diajak pergi, kini malah sok sibuk.

Terakhir, aku juga mengajak mbak Tiara. Mbak Tiara-nya, sih, mau-mau saja menemani malam mingguku yang sangat suntuk ini, tetapi suaminya alias bang Aulion tidak memberi izin.

“Sori ya, Nya. Malem minggu waktunya kita bikin keponakan buat kamu.”

Begitulah kalimat penolakan yang dilontarkan bang Aulion, yang sebenarnya cukup masuk akal karena keduanya sudah sangat menginginkan kehadiran seorang anak.

Satu-satunya orang yang belum kuajak pergi sama sekali adalah Ian. Sebab, tiga jam yang lalu dia baru saja update status dengan pacar barunya itu. Jadi, Ian juga pasti akan menolakku.

Ya ampun! Kenapa di saat-saat seperti ini aku malah berakhir seorang diri?

Jujur saja, kepalaku rasanya hampir meledak gara-gara mengurusi program baru yang konsepnya harus diubah hampir seratus persen. Aku sangat membutuhkan hiburan.

Kalau saja tidak ada masalah yang terjadi, malam mingguku pasti sudah kugunakan untuk bersantai di apartemen. Atau kalau merasa bosan, aku bisa main-main ke kantor.

Bodoh kalau aku memilih untuk kembali ke kantor, yang ada aku malah semakin kepikiran tentang kerjaanku yang belum rampung dan membuat kepalaku akan benar-benar pecah. Dan berdiam diri di apartemen juga bukan pilihan yang tepat. Pikiranku akan bertambah kacau dan gagal beristirahat.

Aku benar-benar harus keluar untuk menjernihkan isi kepalaku.

Saat sedang memikirkan tempat yang bisa kukunjungi untuk merilekskan diri, tiba-tiba saja bel apartemenku berbunyi.

Aku mengerutkan keningku sambil berpikir siapa yang bertamu pada saat ini karena semua teman-temanku sedang sibuk. Dan aku juga tidak ada memesan apa pun.

Tubuhku bergegas bangkit dari sofa bed yang sedari tadi kupakai untuk merenungi nasib, lantas berjalan menuju pintu utama. Namun, sebelum membukakan pintu, aku memilih untuk mengintip sosok tamu tersebut melalui door viewer untuk berjaga-jaga.

Mataku langsung menangkap sosok Ian di sana. Serta-merta pintu kubuka dan menyambut Ian dengan penuh semangat.

“Iaaaannn!” Aku berteriak heboh dan langsung memeluknya.

Bodo amat kalau bakal diledek lebay sama Ian setelah ini. Aku hanya terlampau senang karena malam ini tidak sendirian dan aku akan tetap waras.

“Dih! Kenapa lo?” Ian menyambutku dengan pertanyaan bernada heran. Dia tidak membalas pelukanku, tetapi tidak juga melepasnya.

“Gue lagi stres banget,” jawabku seraya mengurai dekapanku darinya. Ekspresiku berubah melas dengan bibir yang melengkung ke bawah dan bahu yang meluruh tak berdaya.

Ian menaikkan sebelah alisnya. “Karena apa?”

“Itu ... masalah program baru yang gue ceritain kemaren.”

“Belum kelar juga?” Ian masih melanjutkan pertanyaannya, tetapi kali ini dia melangkah ke depan untuk masuk ke dalam apartemenku. Dan aku baru menyadari jika tangannya tengah menjinjing paper bag yang entah apa isinya.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang