Bab 6

30.3K 2.6K 58
                                    

“Inceran baru gue, Nya. Gimana menurut lo?”

Kalau dihitung-hitung, sepertinya dalam kurun waktu tiga bulan ini, aku sudah mendengar pertanyaan itu sebanyak lima kali, yang berarti Ian sudah gonta-ganti pacar sebanyak lima kali.

Dengan malas aku mengangkat kepalaku dari salad buah yang sedari tadi kumakan sebagai camilan. Pandanganku berlabuh pada wajahnya yang berbinar sebelum berpindah ke layar ponsel yang disodorkannya tepat di depan mukaku.

Meski enggan menanggapi "inceran" yang Ian maksud, mau tak mau netraku tetap terpaku pada sosok perempuan yang masih tampak muda dalam foto tersebut.

“Cantik.” Hanya satu kata itu yang kuucapkan sebagai tanggapan atas pertanyaannya sebelum fokusku kualihkan kembali pada salad buahku.

Cantik.

Perempuan yang Ian tunjukkan gambarnya padaku memang cantik. Aku tak bisa mengelak sama sekali.

Sama seperti tipe Ian sebelum-sebelumnya, perempuan yang selalu didekatinya pastilah tidak jauh dari perempuan-perempuan yang berpenampilan seksi dengan payudara dan bokong yang besar.

Ian memang paling suka zina mata. Nggak heran kalau bentuk tubuh mantan-mantannya hampir mirip semua.

“Gue kalo milih cewek emang jago banget,” ucap Ian dengan nada bangga dalam suaranya sambil menarik kembali ponselnya. Keluar lagi narsisnya.

“Anak mana lagi, tuh?” Meski enggan mengangkat topik seputar perempuan yang sedang didekati Ian, entah kenapa rasa penasaranku jauh lebih besar hingga mulutku tanpa sadar melontarkan pertayaan tersebut.

Ia meletakkan ponselnya di atas meja sebelum mengambil sendok salad buahku. “Anak magang di kantor gue,” jawabnya sembari menyuapkan satu sendok penuh salad buah ke dalam mulutnya tanpa repot-repot meminta izin dariku.

Aku berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Masih kuliah, dong?”

“Baru lulus. Dia masih cari-cari pengalaman kerja.”

Sendok bening tersebut berpindah ke tanganku lagi setelah berhasil merebutnya dari Ian. “Kalo kata gue mah jangan sama orang sekantor lo lagi. Repot entar.”

Kalimatku barusan tidak keluar tanpa alasan. Setahun yang lalu, Ian juga pernah memacari teman sekantornya dan kehidupan kantornya berakhir buruk sejak keduanya putus. Sebab, mantannya tersebut sering menerornya dalam bentuk apa pun sebelum berakhir dipecat.

“Yang ini aman kayaknya. Masih polos gitu anaknya.”

Jawabannya sudah seperti template yang sering kali kudengar dari mulutnya.

Ian akan tetap mejadi Ian. Mau sebesar apa pun masalah yang pernah dihadapinya di masa lalu, dia nggak akan pernah kapok.

“Ya ya ya, terserah lo aja.” Kali ini aku betul-betul sudah malas menanggapinya.

Ian juga menutup pembahasan seputar "inceran" barunya itu. Kita lihat saja beberapa hari lagi. Status Ian akan berubah menjadi taken atau tetap single.

•••

“Kok gue males banget ya mau balik ke kantor.”

Mataku yang sedari tadi terpatri pada layar komputer di depanku, kini berpindah haluan menuju Ian yang tengah berbaring di atas sofa di ruang kerjaku.

Saat jam makan siang tadi, Ian yang baru selesai meeting di luar dan lokasinya sangat dekat dengan kantorku, mengajakku makan siang bareng. Aku yang kebetulan sedang banyak kerjaan meminta Ian untuk membeli makanan dari luar dan membawanya ke sini. Dan di sinilah dia sekarang, bertahan di ruanganku meski jam makan siang sudah lewat.

“Balik aja, deh, sana. Gue bosen liat lo mulu.” Secara terang-terangan aku mengusirnya—tentu saja dalam konteks bercanda.

Kalau boleh jujur, sih, aku lebih suka Ian tetap di sini. Meski cenderung menyebalkan, aku merasa nyaman jika ada dia di sekitarku. Seolah memicu semangatku dalam bekerja.

“Kerjaan gue di kantor lagi nggak banyak, sih. Mending gue di sini dulu aja kali ya. Lagian kantor juga punya bokap gue. Mana ada yang berani negur gue,” celetuk Ian dengan nada sombongnya.

Pulpen yang sedang nganggur di mejaku sontak langsung kulempar ke arah Ian dan tepat mengenai bagian dadanya.

Mampus!

Kalo ngomong suka ngasal, sih, gerutuku dengan penuh kepuasan.

Terdengar jeritan mengaduh dari Ian yang cukup keras, yang tentu saja langsung kuberi pelototan tajam karena suaranya kemungkinan bisa didengar oleh karyawanku yang lain.

“Nggak usah drama, deh,” ketusku sembari memutar kedua bola mataku saat melihat tingkah Ian yang sedang memegang dadanya sambil menekuk kedua lututnya seakan-akan sedang menahan sakit yang luar biasa.

Padahal, cuma kena lempar pulpen doang, tapi reaksinya kayak orang yang abis ditusuk pisau aja. Siapa lagi kalau bukan Ian si paling suka bikin drama.

“Kasian banget badan gue. Kalo gak dipukul, ya dilempari barang-barang sama lo.” Ian masih mendramatisir keadaan, pura-pura meringis kesakitan di akhir kalimat.

“Serah lo aja!”

Mendengar balasanku yang sudah berada di puncak emosi yang paling tinggi, Ian pun terbahak kuat sembari mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Pulpen yang sebelumnya kulempar padanya, kini sudah berada dalam genggamannya.

Tuh, dia emang sengaja bikin aku naik darah. Seolah-olah memancing amarahku adalah hobinya.

Tanpa memedulikan Ian yang masih menertawakanku, aku pun kembali menekuri pekerjaan yang sudah menanti.

Bodo amatlah sama Ian.

“Gue balik deh, Nya.”

Aku mendongak setelah Ian selesai tertawa dan kembali berbicara padaku. Kutemukan dia yang tengah berdiri di depan meja kerjaku seraya meletakkan pulpen hasil lemparanku ke tempatnya semula.

“Sana, gih,” balasku, meski di dalam hati berharap agar dia tetap tinggal di sini lebih lama lagi.

Duh, kok gue jadi lenjeh gini ya.

Ian menyunggingkan senyum lebar. Sebelah lengannya menjulur ke depan, meraih kepalaku untuk memberi usapan-usapan kecil di sana.

“Gue balik, ya,” ucapnya kemudian. “Jangan kangen.” Sebelah matanya dikedipkan padaku.

Aku mendecih dan menggoyangkan tanganku ke depan dengan maksud agar dia segera keluar dari ruanganku.

Mataku masih terus bertaut pada Ian sampai dia membuka pintu dan sosoknya menghilang dari pandanganku.

Sepeninggal Ian, bibirku masih menyisakan senyum. Tanpa sadar tanganku bergerak naik menuju kepalaku, memegang bagian yang sebelumnya sempat disentuh oleh Ian.

Hanya dengan sentuhan-sentuhan kecilnya, aku merasa senang bukan main. Rasanya bibirku masih enggan menyudahi senyumnya.

“Mau dipendam sampai kapan, Nya?”

Seluruh tubuhku membeku saat aksi konyolku barusan tertangkap basah oleh seseorang yang tiba-tiba saja berada di ruanganku. Saat pandanganku naik dan menemukan sosok yang baru saja melontarkan pertanyaan tersebut padaku, tubuhku seakan tak bertulang.

Aku lemas bukan main.

“Ta-tante Intan?”

•••

Hayoloh, Anya... ternyata ada yang udah tau🤭🤭

Seperti biasa, guys, ramekan dulu bab ini. Komen yang banyak supaya besok aku update lagi💃

Luv luv❤💋

11 Oktober, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang