Aku dan orangtuaku terus menemani Siren yang sedang berbaring di atas ranjang kamarnya dalam kondisi tak sadarkan diri. Papa yang membopong Siren ke kamarnya. Sementara mama terus mengoleskan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuh Siren.
Sudah lebih dari setengah jam berlalu, Siren mulai menunjukkan pergerakan pada tubuhnya yang terkulai lemas. Jemarinya bergerak membentuk kepalan, yang kemudian langsung diusap oleh mama agar dirinya kembali rileks.
Setengah jam setelahnya, Siren mulai mengigau walau matanya masih dalam kondisi tertutup. Isakan tangisnya juga ikut terdengar meski tak ada air mata yang menetes dari matanya. Keningnya juga membentuk kerutan yang cukup dalam.
Siren kelihatan gelisah. Entah kejadian apa yang sedang dialaminya di alam bawah sadarnya. Mungkin dia masih shock dengan kenyataan yang menimpanya.
Aku dan mama sama-sama duduk di pinggir ranjang, menatap Siren dengan prihatin. Sementara papa duduk di sofa yang ada di kamar Siren, bolak-balik mengusap wajahnya dan aku pun tahu jika papa merasa bersalah.
Tak lama kemudian, kelopak mata Siren bergerak sebelum matanya terbuka. Dia masih tampak linglung, menatapku dan mama secara bergantian. Kemudian, tangisnya pecah. Dia terisak begitu kuat. Meraung penuh kesedihan.
Mama langsung memeluk Siren, membisikkan kata-kata yang bisa menenangkannya. Sedangkan aku tetap bertahan di tempatku, menggigit bibir untuk menghalau kesedihan yang tiba-tiba memenuhi diriku.
“Keluar.” Suara Siren terdengar lemah saat mengucapkan kata tersebut. Tangisnya sudah mulai mereda. “Aku pengin sendiri,” lirihnya sembari mendorong mama agar pelukannya terlepas.
Awalnya kami ingin tetap bertahan di sini, tetapi Siren terus memohon dan membuat kami mau tak mau beranjak keluar, meninggalkannya seorang diri seperti apa yang menjadi permintaannya.
“Mama mau tetep di sini aja,” ujar mama, yang memilih untuk menunggu Siren di depan kamarnya. “Mama takut dia kenapa-kenapa,” lanjutnya.
Kekhawatiran mama sangat masuk akal. Siren sedang dalam kondisi terpuruk. Setelah kami keluar, dia bahkan langsung mengunci pintu kamarnya.
Aku dan papa tak bisa melarang keinginan mama. Papa malah berinisiatif untuk mengambil kursi agar mama bisa duduk menunggu Siren di sana.
Aku ikut menemani mama, menguatkan mama yang kutahu sangat amat sedih dengan apa yang menimpa anaknya. Bagaimanapun juga, papa dan mama sudah mengurus Siren sejak dia bayi. Mereka sudah menganggap Siren seperti anak kandung sendiri.
Walaupun Siren sering bertindak sesuka hati terhadap diriku, aku juga turut merasakan kesedihan. Kami pernah berkomunikasi selayaknya kakak adik pada umumnya. Kami pernah bermain bersama.
Siren dulunya adalah adik yang menggemaskan dan manja bagiku. Momen-momen menyenangkan itulah yang selalu teringat dalam benakku tiap kali perasaan benci dalam hatiku muncul untuknya.
Sebesar apa pun kemarahanku padanya, aku tetap tidak bisa membenci Siren.
Dan aku berharap, kelak hubunganku dengan Siren bisa kembali seperti dulu.
•••
Tepat jam sebelas malam Ian tiba di kediaman orangtuaku. Aku yang memintanya untuk menjemputku di sini. Jujur, aku masih belum berani keluar sendirian. Andra masih terus menguntitku seperti seorang yang memiliki obsesi berlebih.
“Kamu beneran mau pulang?” Mama mengantarku sampai ke depan setelah aku pamit pada papa.
Aku mengangguk sebanyak dua kali dengan senyum tipis yang tersungging dalam wajahku.
Mama menarik napas panjang. Dia lalu menepuk-nepuk pelan pundakku seraya berucap, “Nanti kabari Mama, ya, kalo udah sampe rumah.”
“Iya, Ma,” jawabku. “Mama kabari aku juga, ya, kalo Siren udah keluar kamar.”
Mama hanya mengangguk sambil tersenyum.
Sampai hampir menjelang tengah malam, Siren masih mengurung diri di kamar. Bujukan kami untuk membuatnya keluar tak mempan sama sekali. Siren bahkan mengabaikan makan malam dan membuat kami jadi semakin cemas.
Tadinya aku hendak menginap di rumah orangtuaku, menunggu sampai Siren keluar kamar, tetapi sepertinya itu bukan keputusan yang tepat. Keadaan di antara kami masih tidak kondusif. Jadi, lebih baik kami sama-sama menjauh sejenak.
“Kirain bakal nginep di sini,” celetuk Ian begitu kami masuk ke dalam mobilnya.
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha mengurai rasa sesak yang menghimpit dadaku. Lalu, kupasang seat belt sembari menanggapi ucapan Ian. “Enggak. Suasana di rumah lagi kacau.”
Ian melirikku sekilas sebelum menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumah orangtuaku. “Pembicaraannya nggak berakhir baik, ya?” tebaknya.
Aku mengangguk sembari mengusap-usap wajahku. “Siren udah tahu kalo dia juga anak angkat.”
Ian tampak tersentak. Dia lantas berpaling cepat ke arahku meski hanya sebentar. “Terus gimana?”
“Ya, gitu, deh.” Aku mengedikkan kedua bahuku. “Siren shock dan tadi dia sempet pingsan juga. Sekarang dia lagi ngurung diri di kamar.”
“Tapi memang udah seharusnya dia tahu tentang kebenarannya. Kalau terus-terusan dibiarkan, dia akan tetap seangkuh itu sama lo, Nya.” Ian mengemukakan pendapatnya. “Selama ini dia selalu bersikap seenaknya. Manja dan kadang suka nggak tahu diri.”
Kalimat akhir Ian yang kental akan rasa jengkel tanpa sadar membuatku tersenyum kecil. Kupalingkan wajahku padanya dan berkata, “Nggak boleh, lho, jelek-jelekin tunangan sendiri.” Terang-terangan aku menyindirnya walau masih dalam konteks bercanda.
Ian memutar kedua bola matanya dan melirikku dengan malas. “Gue nggak pernah tunangan sama dia. Punya hubungan spesial aja enggak.”
“Oh, ya?” Aku memancing Ian. “Bukannya berita tentang pertunangan lo udah kesebar ke mana-mana, ya? Bahkan, Tante Intan aja sampe bilang langsung ke gue.”
“Gue nggak pernah menjalin hubungan apa pun sama Siren. Semua berita yang lo denger tentang gue dan Siren, itu cuma akal-akalannya aja. Jangankan elo, keluarga gue aja sampe bisa salah paham gara-gara provokasinya Siren,” jelas Ian panjang lebar. “Mulutnya, tuh, pinter banget ngerangkai kata sampe orang-orang pada percaya.”
“Jadi, lo nggak punya hubungan apa pun sama Siren?”
Ian melirikku dengan jengah. “Enggaklah. Gue udah trauma sama dia. Sama sikapnya yang suka nyeleneh.”
Aku tak bisa menahan kekehanku mendengar Ian yang lagi-lagi kelihatan begitu kesal saat membicarakan Siren. Dia seperti menyimpan dendam kesumat.
Sudah cukup. Penjelasan Ian bisa diterima oleh akal sehatku. Toh, sejak awal aku tahu jika memang Siren-lah yang merangkai segala drama antara dirinya dengan Ian. Karena sudah hafal dengan sifat Siren, omongan Ian langsung bisa dipercaya oleh otakku.
Aku menarik napas lega sembari menyandarkan punggungku pada jok mobil. Senyum simpul perlahan menyambangi bibirku saat pandanganku berpindah ke jalanan di hadapanku yang mulai sunyi.
Syukurlah. Ian memang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Siren. Mereka tidak bertunangan seperti berita yang belakangan ini sering terdengar oleh telingaku.
Jadi, aku masih punya kesempatan, bukan?
•••
Udah mendekati ending, nih, guys🤭 siap-siap yaa kalo misalnya tiba-tiba cerita ini selesai xixixi
Seperti biasa, jangan lupa vote dan ramekan kolom komentarnya. Besok update lagi, deh, kalo rame💃
See yaa❤💋
21 Februari, 2023
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy (Best) Friend
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya yang suka gonta-ganti pacar bukan hal baru lagi dan terus berlangsung sampai sekarang. Namun, apa jad...