Bab 2

43.2K 3.1K 59
                                    

Jam setengah sepuluh pagi aku baru saja melakukan sarapan. Gara-gara Ian, aku jadi ketiduran lagi. Beruntung aku bisa bangun tepat waktu. Kan nggak lucu kalau nantinya terlambat dalam pertemuan bersama pihak sponsor. Bisa-bisa reputasiku rusak.

Aku sudah berpakaian rapi. Kulot hight waist putih membungkus kedua kakiku sampai ke mata kaki. Kemeja cokelat lengan panjang kupilih sebagai atasan dengan bagian depannya yang kumasukkan ke dalam celana, sedangkan bagian belakangnya tetap berada di luar.

Rambut sepunggungku hanya kucatok seadanya, membentuk curly di ujungnya. Juga wajah yang dipoles makeup secara natural. Tak lupa pula membawa tote bag untuk diisi oleh barang-barang penting milikku. Terakhir, kugunakan stiletto yang senada dengan kemejaku.

Perfect.

Pertemuan kali ini tidak harus membuatku berdandan terlalu formal. Pihak sponsor yang akan kutemui juga muda-mudi sepertiku.

“Udah mau pergi?”

Aku mendongak sembari mengunyah bubur ayam dalam mulutku, menemukan Ian yang tengah berjalan menghampiriku di pantri. Tampak wajahnya masih kusut dengan mata yang sayu. Bagian atas tubuhnya dibiarkan tanpa sehalai benang pun. Hanya celana jeans panjangnya saja yang masih menempel di tubuhnya.

“Gue order bubur ayam tadi. Makan, gih.” Aku menggerakkan daguku pada satu bubur ayam di atas meja.

Sambil menggaruk rambutnya dan menguap beberapa kali, Ian duduk di sebelahku. Lalu, membuka bubur ayam yang masih berada di dalam styrofoam.

“Kepala gue pusing banget, Nya,” adunya, yang mulai menyendok bubur ayam tersebut.

“Gimana nggak pusing, lo abis mabuk-mabukan gitu.” Aku melirik ke arahnya. “Lo minum sampe berapa botol sih, Yan?”

“Nggak tahu. Nggak ngitung.”

Jawabannya yang disuarakan dengan santai membuatku berdecak. “Lagi kenapa, sih?”

Aku sudah menyerah menebak apa yang menjadi masalah Ian sampai dia harus mabuk-mabukan separah itu.

Buburku baru saja kutandaskan tanpa sisa ketika telingaku sudah siap untuk mendengar jawaban Ian, tetapi sialnya ponselku malah lebih dulu berbunyi. Ian jadi gagal membuka suara dan kembali menyantap buburnya.

Aku merogoh tote bag-ku, mencari ponselku yang sejak tadi berada di sana. Panggilan berasal dari salah satu karyawanku, yang memintaku untuk segera datang ke kantor.

“Gue pergi sekarang, Yan,” pamitku, buru-buru turun dari atas kursi sembari membuang styrofoam bekas buburku ke dalam tempat sampah. “Lo utang penjelasan sama gue.”

Ian menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum miring sambil menatapku yang begitu heboh memakai stiletto-ku yang tadi sempat kulepas.

“Lo harus jelasin tentang masalah yang lagi lo alami,” ucapku, yang sudah berdiri tegak dan bersiap untuk pergi. “Lo juga harus jelasin tentang kondom yang ada di tas lo itu.”

“Iya, Bawel,” kekehnya. “Nggak mau gue anter?”

Aku menghentikan langkahku saat mendengar tawarannya, berdiri di pintu masuk dapur dan berbalik sebentar untuk menatapnya. “Lo masih teler gitu. Gue juga masih sayang sama nyawa gue.”

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang