Bab 33

23.8K 2.1K 177
                                    

Aku mengepalkan kedua tanganku di sisi tubuh. Bibir dalamku menjadi sasaran gigitanku sebagai bentuk dari pelampiasan emosi yang membeludak saat menyaksiakan satu adegan yang membuat mata dan hatiku panas.

“Kamu pake baju dulu sana, nggak enak dilihat sama Anya,” ucap Siren, sengaja melirik ke arahku. Dia tentu saja sedang berusaha untuk memanas-manasiku. Belum lagi gerak-geriknya yang dengan sengaja menempelkan tubuhnya pada Ian dan mengusap lengan atas pria itu dengan gerakan yang bisa dibilang cukup sensual.

Ewh! Aku hampir muntah melihatnya. Siren dengan sengaja menunjukkan rayuannya pada Ian di hadapanku. Tetapi sialnya, sikapnya itu cukup berhasil memengaruhiku dan membuatku geram.

“Lo ada perlu apa, Nya?” Ian akhirnya mengajakku berbicara. Dan aku bersorak di dalam hati saat dia menggeser tubuhnya dari Siren, serta melepas kontak fisik yang terjadi di antara mereka.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Ian kembali menolak segala sikap Siren padanya di depanku. Yah ... walaupun yang kali ini dia melakukannya dengan hati-hati. Barangkali Ian juga tak ingin melukai harga diri Siren di depanku.

Sayangnya, sikap Ian yang seperti itu malah membuatku jadi semakin bingung dengan keberpihakannya di antara kami berdua.

“Ada yang pengin gue omongin sama lo,” jawabku kemudian, sambil sesekali melirik Siren hanya untuk mengawasi gerak-geriknya.

“Ya udah, sini masuk.” Berbeda dengan Siren yang terang-terangan mengusirku, Ian malah menyuruhku untuk langsung masuk.

Siren tentu saja langsung merespons ucapan Ian dengan sebuah protes. Dia membelalak pada Ian, menunjukkan ketidaksetujuannya secara gamblang.

Huh! Rasakan!

“Urusan kamu di sini udah selesai, kan?” Sejenak Ian menaruh perhatiannya pada Siren. “Kalo udah, kamu bisa pulang sekarang.”

Aku hampir menyemburkan tawaku saat mendengar pengusiran blak-blakan Ian pada Siren. Buru-buru kuangkat satu tanganku untuk menutupi mulutku yang sudah senyum-senyum tidak jelas. Aku juga menunduk sejenak dan berdeham untuk membuat ekspresi wajahku tetap normal meski para penghuni hatiku sedang melakukan selebrasi di dalam sana.

Raut wajah Siren berubah ketat. Alisnya menyatu ke bawah. Sementara bibirnya sudah sepenuhnya cemberut. Aku bisa merasakan kekesalannya. Belum lagi kedua tangannya ikut mengepal di sisi tubuhnya.

Situasi yang terjadi di antara kami sudah berbalik. Gantian Siren yang meledak-ledak oleh emosi. Sedangkan aku dengan santai mengambil posisi bersedekap dada sambil tersenyum miring. Menunggu sampai dia enyah dari hadapanku.

Tidak seperti sebelumnya, saat Siren terus menjawabku dengan pongah, kali ini dia benar-benar bungkam. Mungkin dia tak berekspektasi kalau Ian akan mengusirnya.

Setelah kurang lebih satu menit dia hanya memelototi Ian dengan penuh kejengkelan, Siren akhirnya angkat kaki dari hadapanku. Dia sempat melirikku sekilas dengan kobaran api di kedua matanya saat melewatiku, tetapi aku hanya mengedikkan bahu dan melambaikan tanganku padanya.

Bye-bye, Siren! Kali ini aku menang lagi.

Sepeninggal Siren, Ian langsung mengajakku masuk ke dalam. Dia berjalan dengan langkah lebar mendahuluiku. Sementara aku sengaja membuntutinya di belakang.

“Kok bisa dia ada di apartemen lo? Abis ngapain?” Aku sudah tidak tahan untuk terus-terusan memendam pertanyaan itu dalam benakku sejak menemukan Siren di sini.

“Lo udah makan malam belum?”

Ian bertanya balik. Menanyakan hal yang tidak berhubungan dengan pertanyaanku sebelumnya. Kami memang sedang berada di dapur, sih, tetapi dia, kan, bisa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Hal itu tentu saja membuat bibirku auto mengerucut.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang