Bab 19

23.9K 1.9K 56
                                    

Kupikir pertemuanku dengan Ian di hari minggu ini telah selesai dan akan dilanjutkan besok saat dia membawa mobilku untuk diservis, tapi tiba-tiba saja dia muncul di apartemenku sambil mengeluhkan wajahnya yang masih dalam keadaan bengkak.

“Muka gue mirip Upin Ipin, Nya. Gede banget, anjir.” Dia berdiri di depan cermin tinggi yang berada di kamarku, menyentuh wajahnya dari angle kanan dan kiri sambil memeriksa wajahnya sendiri dengan nelangsa.

Aku yang tengah duduk di pinggir ranjang sambil memerhatikan kehebohan Ian tak pelak meledakkan tawaku. Akhirnya dia menyadari jika wajahnya yang bengkak itu benar-benar terlihat lucu. Apalagi dia menyamakannya dengan Upin Ipin. Makin terbayanglah di benakku Ian dengan kepala botak.

“Jangan ketawa mulu lo, Nya. Bantuin gue, kek,” sungut Ian, yang makin tampak frustrasi.

“Gue harus apa, anjir! Gue bukan dokter, mana ngerti gitu-gituan.”

Ian mengembuskan napas panjang. Air mukanya tampak begitu kusut. Dia lantas meninggalkan cermin dan berjalan menghampiriku. Tubuhnya langsung diempaskan ke atas ranjang queen size-ku dengan membiarkan kedua kakinya menggantung di ujung ranjang.

Sorotku tak lepas darinya, mengikuti pergerakan Ian yang kelihatan tak bergairah sama sekali. Masih merasa geli melihat wajahnya yang bengkak.

“Kalo pake masker ilang nggak, ya?” Ian melipat kedua tangannya di belakang kepala untuk dijadikan sebagai bantalan sambil menoleh ke arahku yang duduk bersila di atas ranjang, menghadap ke arahnya.

“Lo mau ngilangin muka lo?” Meski paham dengan maksud dari pertanyaan Ian, aku memilih untuk membelokkannya. Biar saja dia makin kesal.

Ian berdecak. “Ngilangin bengkaknya maksud gue, Anyaaaaaaaa.” Dengan gemas dia memanjangkan nada suaranya di akhir kalimat.

Lagi-lagi aku terkekeh. Jarang sekali aku bisa membuat Ian kesal. Biasanya dia melulu yang suka bikin aku naik darah.

“Jadi, mau dipakein masker, nih?” tanyaku kemudian, masih dengan sisa-sisa tawa yang berupa senyum kecil di sudut bibirku.

Ian mengangkat badannya, mengubah posisinya menjadi duduk bersamaan dengan kepalanya yang membuat anggukan. “Sini, deh, gue minta masker lo satu.”

Tanpa membuang waktu sedetik pun, aku segera melompat dari atas ranjang. Langkahku mengarah pada lemari kecil yang berisi perintilan-perintilan milikku, seperti halnya ikat rambut, peniti, masker, dan lain-lain.

Ya, masker yang hendak kuberikan pada Ian bukanlah masker skincare, melainkan masker medis. Aku memang berniat untuk kembali mengerjainya.

Aku berusaha menahan tawaku saat hendak berbalik dan menyerahkan masker tersebut pada Ian. Kutarik napas dalam-dalam sambil mengulum senyum.

“Nih!” Masker medis tersebut langsung kulempar pada Ian yang sudah dalam posisi berbaring lagi. Sementara aku tetap berdiri di ujung ranjang sambil menunggu responsnya.

Ada jeda selama beberapa detik saat Ian mengambil masker tersebut yang jatuh di atas dadanya. Seperti otaknya agak nge-lag karena Ian masih sempat memerhatikan masker tersebut dengan kening yang berkerut.

“Anya bangsat!” Setelah menyadari masker jenis apa yang kuberikan padanya, teriakan bernada jengkel itu pun langsung keluar dari mulut Ian bersamaan dengan posisinya yang kembali berubah duduk. Dia juga tak segan melempar masker tersebut ke arahku meski tak terlalu kuat.

Sontak tawaku langsung meledak. Aku juga sempat mengelak hingga lemparan Ian tak mengenaiku sama sekali. Masker itu pun berakhir mengenaskan di atas lantai.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang