Bab 17

25.2K 2.1K 53
                                    

Di hari minggu kali ini, aku tidak bisa bangun siang karena harus datang ke rumah Ian atas permintaan tante Intan. Dia memang sudah mewanti-wantiku untuk mengosongkan jadwal di hari minggu, semata-mata agar aku bisa hadir untuk mengikuti acara arisan keluarga yang di bulan ini dilaksanakan di rumah tante Intan.

Sejak dulu, tante Intan memang sering mengajakku bepergian. Jadi, dia memang selalu mewajibkanku untuk datang bila di rumahnya sedang ada acara keluarga. Lagipula, aku mengenal hampir seluruh keluarga besar Ian. Ibaratnya, aku adalah anak kelimanya tante Intan.

Mobilku baru saja kuparkirkan di carport rumah tante Intan. Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, yang berarti jika acara arisan keluarga akan dimulai dalam satu jam ke depan.

“Eh, Mbak Anya udah dateng.”

Sambutan itu kudapat dari salah satu asisten rumah tangga di sini saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.

“Tante Intan mana, Bi?” Sambil melemparkan senyum sebagai bentuk kesopanan terhadap orang yang lebih tua, aku melontarkan pertanyaan tersebut.

“Pada di dapur semua, Mbak.”

Aku menganggukan kepalaku, lantas pamit dan bergegas membawa langkahku menuju dapur.

Langkahku berubah pelan saat baru menapak di area dapur. Kondisi di sini tampak sibuk. Ada orang katering yang tengah memindahkan beberapa sajian ke dalam satu wadah besar.

Aku masuk semakin dalam sambil melongokkan kepalaku ke sekeliling untuk mencari keberadaan tante Intan atau paling tidak Lana dan mbak Tiara yang sudah pasti ikut membantu tante Intan di sini.

“Anya!”

Teguran yang disuarakan dengan sedikit lengkingan itu mengakhiri pencarianku akan tante Intan. Subjek yang sedari tadi kucari-cari akhirnya muncul dalam pandanganku saat aku balik badan.

“Tadi kata Bibi di dapur,” aduku pada tante Intan yang rupanya baru saja memasuki dapur sembari berjalan menghampirinya.

“Tante ke kamar sebentar tadi.” Tante Intan langsung memegang kedua pundakku saat kami sudah saling berhadapan. Dilanjutkan dengan cipika-cipiki, lalu kembali meneruskan ucapannya dengan sebuah pertanyaan, “Kamu udah sarapan belum?”

“Udah kok, Tan.” Aku menarik diri setelah menyelesaikan sapaan khasku dengan tante Intan.

“Pasti sarapan pake bubur ayam.” Tante Intan menatapku dengan mata yang menyipit, menebak dengan yakin.

Aku terkekeh sambil ngangguk-ngangguk. Orang-orang terdekatku pasti sudah hafal dengan jenis sarapanku yang sangat jarang berubah. Ian bahkan sudah muak tiap kali kuajak sarapan bubur ayam.

“Lana sama mbak Tiara mana, Tan?” Aku mengikuti tante Intan yang sedang menuju meja makan untuk mengecek katering.

“Lana baru bangun, tuh, Nya.”

“Lho, kok tumben?” Aku langsung menyela tante Intan. Biasanya kalau lagi ada acara gini, Lana pasti diharuskan untuk bangun pagi-pagi, ikut membantu sang ibu menyiapkan segala keperluan.

“Kecapekan dia abis ngerjain tugas kelompok. Tadi malem aja jam satu baru sampe rumah.”

“Ya ampun, kasian banget Si Lana,” ringisku, prihatin dengan adikku yang satu itu.

“Lho, Anya udah di sini ternyata.”

Satu suara menginterupsi perbincangan kecil antara aku dan tante Intan. Dan suara itu tak lain adalah milik mbak Tiara yang katanya menginap di sini sejak kemarin.

“Hai, Mbak.” Aku menyapa mbak Tiara dengan senyum lebar, juga cipika-cipiki.

“Si Ian lagi sakit, tuh, Nya,” papar mbak Tiara.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang