Bab 30

23.6K 1.6K 60
                                    

Hai hai! Udah lama ya aku nggak update. Ada yang kangen sama Ian dan Anya, kah?

Bab ini baru banget ditulis. Kalo ada typo maafken yaa😭

Happy reading❤

•••

“Jadi, kapan aku diangkat jadi karyawan kamu?”

Aku tak bisa menahan kekehanku saat mendengar pertanyaan bernada guyon yang keluar dari mulut Andra. Kupukul pelan lengan atasnya seraya menjawab, “Entar yang ada kamu nggak akan kerja.”

Andra nyengir, mengangguk setuju. “Takutnya malah mandangi kamu terus, ya.”

“Nah!” Aku menjentikkan jariku di depan wajahnya.

“Tapi belum pengin pisah.” Andra mengambil satu tanganku, membawanya ke dalam genggamannya sebelum ditempelkan di sisi wajahnya, mengusap-usapkan pipinya pada punggung tanganku.

Aku melirik jam tanganku sejenak sebelum kembali pada Andra. “Mau mampir bentar? Masih ada sekitar empat puluh menit lagi sebelum jam istirahat selesai, kan?”

“Boleh?” Kedua mata Andra berbinar cerah. Punggungnya pun langsung ditegakkan.

Aku mendengkus geli, kemudian mengangguk.

“Oke! Aku cari tempat parkir dulu,” ucap Andra dengan girang. Genggamannya sudah terlepas dariku, beralih pada kemudi untuk bersiap memarkirkan mobilnya terlebih dahulu.

Aku tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Sudah lebih dari satu bulan hubungan kami berjalan, aku menyadari jika Andra adalah tipe lelaki yang bisa dibilang cukup manja terhadap pasangannya.

Sejujurnya kami juga tidak bisa dibilang sebagai pasangan, sih. Belum ada obrolan apa pun tentang kelanjutan dari hubungan kami meski interaksi di antara kami sudah selayaknya orang yang sedang menjalin kasih.

Di umurku yang sekarang, mengajak berpacaran memang bukan sesuatu hal yang penting lagi. Jadi, aku tidak menuntut apa pun pada Andra. Aku membiarkan hubungan kami berjalan sebagaimana mestinya. Yang penting kami berdua sama-sama memiliki komitmen.

Dalam kurun waktu satu bulan ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Andra. Harus kuakui dia adalah sesosok lelaki yang nyaris sempurna. Bukan hanya wajahnya saja yang rupawan, hatinya juga. Dia selalu memperlakukanku bak seorang ratu. Jadi, mana mungkin aku tidak merasa nyaman saat bersamanya.

Pribadinya juga menyenangkan. Gombalan-gombalan recehnya yang sempat membuatku agak ilfeel dengannya di awal pertemuan kami, kini malah menjadi hiburan tersendiri bagiku. Tawa kerap keluar dari mulutku tiap kali jalan dengannya.

Barangkali hanya satu sifatnya yang saat ini masih menimbulkan keraguan dalam diriku akan sosoknya: Andra cukup posesif.

“Kamu malu nggak kalo aku gandeng?” tanya Andra setelah kami berjalan meninggalkan parkiran.

Ah! Satu lagi sifatnya yang kadang sulit untuk kuterima, Andra suka sekali menunjukkan kemesraan kami di tempat umum. Untungnya dia masih bersedia menanyakan persetujuanku terlebih dahulu sebelum bertindak sehingga aku bisa memakluminya.

“Nggak enak entar kalo dilihat karyawan aku,” jawabku apa adanya.

Andra hanya menganggukan kepalanya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Jika aku menolak, Andra tak pernah sekalipun memaksakan kehendaknya. Dia menerima keputusanku tanpa potes. Namun, hal itu kadang malah menggangguku, membuatku merasa bersalah karena tak bisa memenuhi permintaannya yang sebenarnya cukup sederhana itu.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang