Bab 40

27.6K 2.2K 79
                                    

“Nggak papa gue tinggal sendirian?”

“Nggak papa, Yan.”

“Beneran?”

Aku mendengkus pendek. “Iya, Iaaaaannn.”

“Nggak akan ngelakuin yang aneh-aneh, kan?”

Aku tak tahan untuk tak memutar kedua bola mataku. “Gue nggak segila itu.”

Ian tampak manggut-manggut, tetapi dia juga tidak langsung beranjak dari posisinya. Dia masih berdiri dengan kedua lengan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Netranya berlabuh padaku yang tengah duduk bersila di atas sofa.

“Apa lagi?” tanyaku dengan nada lelah karena Ian benar-benar hanya menatapku dengan mata yang menyipit penuh keraguan dalam beberapa saat.

“Gue ngerasa nggak rela, deh, ninggalin lo sendirian,” jawab Ian. “Apa gue ambil cuti aja, ya.”

Sekali lagi kuputar kedua bola mataku sambil menahan diri untuk tak melempar bantal sofa yang tengah berada dalam dekapanku ke Ian.

“Nggak usah lebay, deh,” pungkasku.

Aku memang masih berada di apartemen Ian. Aku juga sudah mengabari Raihan jika aku akan mengambil cuti selama tiga hari. Jadi, aku hanya akan bersantai di apartemen Ian selama cuti. Otakku rasanya masih belum bisa diajak bekerja terlalu keras.

Ini sudah masuk weekday. Jadi, Ian tidak lagi bisa menemaniku sepanjang hari seperti kemarin. Dia harus pergi ke kantor dan bekerja. Namun, sejak kami sarapan tadi, entah sudah berapa kali dia melontarkan pertanyaan yang sama. Menanyakan apakah aku tidak apa-apa sendirian di sini.

Ucapan dan sikapnya benar-benar menunjukkan jika dia memang enggan meninggalkanku seorang diri.

Sejujurnya, aku pun masih ingin ditemani. Aku yakin rasa trauma itu akan kembali muncul kalau aku sendirian. Tetapi mau bagaimana lagi, aku juga tidak bisa menahan Ian di sini. Ketiga sahabat perempuanku pun tentu sedang bekerja juga.

“Sini, peluk dulu, deh.” Ian menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya.

Aku berdecak kecil, tetapi tetap menuruti keinginannya. Segera aku bangkit berdiri dan masuk ke dalam dekapannya.

“Pokoknya kalau ada apa-apa, langsung kabari gue,” nasihat Ian sembari mengusap-usap rambutku yang kubiarkan tergerai.

“Hmm.”

“Janji dulu.” Ian sepertinya tidak puas dengan jawabanku yang hanya berupa gumaman.

Aku mendengkus geli, geleng-geleng dengan sikapnya yang kekanakan. “Iya. Janji.”

Setelah menerima jawabanku yang pas di hatinya, Ian lantas mengurai pelukan kami walau tetap tak mengikis jarak di antara kami. Tangannya merangkum wajahku, menatap lekat wajahku entah untuk apa dalam beberapa saat.

Setelah puas, Ian menarik turun tangannya dan mundur selangkah. Dia kemudian mengacak-acak pelan rambutku seraya berucap, “Ya, udah, gue pergi dulu kalo gitu.”

Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Hati-hati,” kataku, yang kemudian mengikuti Ian sampai ke depan.

“Gue pergi, ya.” Ian kembali memberi sentuhan terakhirnya di rambutku sebelum kakinya benar-benar melangkah meninggalkan apartemen.

Setelah memberi lambaian singkat pada Ian, aku pun kembali masuk ke dalam apartemennya. Otakku dengan cepat mencerna interaksi yang terjadi di antara kami barusan, yang entah kenapa lebih mirip seperti komunikasi antara sepasang suami istri.

Serta-merta aku menggeleng dan kembali berjalan menuju ruang santai. Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan hal-hal seperti itu terlebih dahulu. Aku akan lebih fokus pada diriku sendiri.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang