Lingkaran hitam di kedua mataku berusaha kututupi dengan polesan makeup yang cukup tebal. Aku tak boleh menampilkan wajah kuyu saat bertemu dengan kedua orangtua Andra yang datang untuk melamarku.
Dua hari yang lalu, setelah kejadian di apartemen Ian, aku memang langsung mengajak Andra untuk segera menikah. Pikiran itu datang begitu saja. Egoku merasa terluka setelah penolakan Ian dan berita tentang pertunangannya dengan Siren. Aku juga ingin menunjukkan padanya jika aku bisa hidup dengan lelaki lain selain dirinya.
Berita tentang hubunganku dengan Andra yang akan lanjut ke jenjang pernikahan pun sengaja kusebar ke mana-mana, semata-mata agar Ian juga turut mendengar kabar tersebut.
Barangkali ini adalah keputusan terbodoh yang pernah kuambil dalam hidupku. Aku tahu apa yang kulakukan saat ini sangatlah tergesa-gesa. Sayangnya, egoku tak bisa dilawan saat ini. Aku hanya tak ingin terkalahkan.
Aku sungguh tak menyangka jika patah hati karena cinta bisa membuatku jadi segila ini. Anya yang selalu berhati-hati dan bisa berpikir rasional dalam keadaan apa pun, kini entah pergi ke mana. Aku bahkan nyaris tak mengenali diriku sendiri, tetapi persetan dengan itu semua.
Sejak kejadian itu, aku menghindari untuk bertemu dengan siapa pun, kecuali Andra yang sempat mendatangiku keesokan harinya untuk memastikan jika permintaanku untuk menikah dengannya memang benar. Andra juga yang mengantarku pulang ke rumah orangtuaku. Dan syukurnya Siren sedang pergi ke luar kota sehingga aku tidak harus bertemu dengannya.
Aku juga mengabaikan permintaan tante Intan yang mengajakku untuk bertemu. Rasanya terlalu malas berhubungan dengan siapa pun yang dekat dengan Ian. Apalagi aku yakin jika yang ingin tante Intan bicarakan denganku adalah soal pertunangan Ian dengan Siren.
Aku sudah muak dengan berita itu.
Suara ketukan di pintu kamarku terdengar bersamaan dengan selesainya makeup-ku. Tak lama, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok mama yang sudah tampak rapi dalam balutan gaun semi formalnya.
“Udah selesai?” Mama mengulas senyum sembari melangkah masuk ke dalam kamar, menghampiriku yang masih duduk di depan meja rias.
Aku hanya mengangguk sambil memaksa bibirku untuk menyunggingkan seutas senyuman.
Papa dan mama memang sempat kembali ke Jerman beberapa hari setelah tahun baru. Lalu, mereka langsung kembali ke Indonesia setelah mendengar berita tentang Siren yang akan bertunangan dengan Ian.
Mereka baru tiba di Indonesia dua hari yang lalu, dan langsung dikejutkan dengan keinginanku untuk segera menikah dengan Andra. Namun, papa dan mama menyerahkan semuanya padaku dan akan menerima lamaran keluarga Andra dengan baik.
“Mama nggak nyangka kamu bakal nikah secepat ini,” ucap mama, yang kini sudah berdiri di belakang kursi riasku.
Aku menatap mama lewat pantulan cermin di depanku. Kuusap punggung tangan mama yang menyentuh kedua pundakku.
“Maafin Mama, ya, kalau selama ini Mama terlalu sibuk sama kerjaan Mama sampai kita harus berpisah cukup lama.” Suara mama memelan. Wajahnya menunjukkan penyesalan yang tampak jelas.
Aku menggeleng cepat. “Seharusnya aku yang makasih ke Mama. Kalau nggak ada Mama, aku yakin hidupku nggak akan sebahagia sekarang.”
Mama tampak menarik napas panjang. Kepalanya perlahan menunduk dan aku menyadari jika mama mulai meneteskan air matanya. Aku lantas buru-buru bangkit dari dudukku dan memeluk mama dengan erat.
“Mama sayang banget sama kamu Anya,” lirih mama, sambil sesekali terisak. “Makasih udah jadi anak Mama. Maaf kalau Mama dan Papa belum bisa jadi orangtua yang baik buat kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy (Best) Friend
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya yang suka gonta-ganti pacar bukan hal baru lagi dan terus berlangsung sampai sekarang. Namun, apa jad...