Aku duduk sendirian, menikmati mocktail yang sedikit asam, tetapi membuatku ketagihan karena sangat menyegarkan tenggorokan. Sementara mataku berkeliaran ke sekelilingku, memerhatikan berbagai macam jenis orang yang memenuhi kelab malam.
Ian baru saja izin untuk mengangkat telepon dengan terburu-buru. Telepon dari tante Intan yang tentu saja tidak bisa diangkatnya di dalam sini karena suara musik yang begitu kuat. Kalau tante Intan tahu anaknya sedang berada di kelab malam, Ian sudah pasti akan langsung diberi ceramah panjang lebar.
Pandanganku kini berhenti pada satu sosok wanita yang tengah berjoget cukup dekat dengan seorang pria. Bahkan, tubuh mereka sudah saling menempel. Wanita yang kumaksud adalah Mela, pacarnya Ian.
Aku berdecih sembari meneguk kembali mocktail-ku dengan mata yang tak lepas dari Mela. Malam memang semakin larut dan orang-orang yang turun ke lantai dansa pun kian banyak, tetapi entah kenapa netraku bisa langsung menemukan pacarnya Ian yang berada satu lantai di bawahku.
Melihat kelakuan Mela yang cukup agresif terhadap pria di depannya, sepertinya spekulasi Ian tentang pacar barunya itu memang benar. Mela adalah tipe-tipe cewek binal.
“Ian mana, Nya?”
Perhatianku dari Mela teralihkan saat seseorang menegurku dengan sebuah pertanyaan. Otomatis netraku langsung berpaling ke sumber suara dan menemukan Geo yang baru saja menjatuhkan bokongnya di sisi kosong sofa di sampingku.
“Lagi nerima telepon dari Ibu Negara,” jawabku.
Geo langsung paham akan kalimatku dan terkekeh. “Dasar, anak mami.”
Aku juga ikut terkekeh akibat celetukan Geo yang lebih mirip ledekan. Kemudian mengangguk untuk menyetujui ucapannya.
Karena terkenal bandel sejak kecil, tante Intan memang lebih cerewet ke Ian. Dia benar-benar tak bisa diatur sama sekali. Berbeda dengan ketiga saudaranya yang sekali dibilangi langsung paham.
Kalau dipikir-pikir, Ian sepertinya anak pungutnya tante Intan, deh. Sebab, sifatnya sangat berbanding terbalik dengan ketiga saudaranya yang kalem. Orang tuanya juga katanya dulu nggak terlalu bar-bar. Nggak tahu, deh, si Ian mirip siapa.
“By the way, Ge.” Geo langsung menoleh ke arahku saat aku kembali membuka percakapan dengannya. “Lo tahu nggak Ian nemu itu cewek di mana?” Aku mengarahkan daguku pada Mela yang kini tengah duduk di depan meja bar dengan sosok lelaki yang tadi flirting dengannya.
Arah pandang Geo berputar, mengikuti petunjuk dariku dan sepertinya dia sudah menemukan Mela dalam maniknya. “Namanya Mela, kan?”
Secepat kilat aku menoleh pada Geo dengan pupil yang sedikit melebar saat dia mengetahui nama pacarnya Ian. Tidak salah memang menanyakan pacar-pacarnya Ian pada Geo.
“Iya.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Lo tahu?”
“Dia mah dulunya waitress di sini, Nya,” jawab Geo. “Dulu dia sering banget godain Ian. Denger-denger, sih, pernah naksir si Ian juga. Nah, terus nggak tahu, deh, kenapa tiba-tiba mereka berdua bisa pacaran.”
Tatapanku kini kembali mengarah ke depan usai mendengar penjelasan Geo. Kepalaku pun kembali kuangguk-anggukan seraya meletakkan gelas mocktail-ku yang sudah kosong ke atas meja.
Seperti dugaanku di awal, Ian sepertinya memang asal saja menjadikan Mela sebagai pacarnya.
Bagiku yang sudah mengenal Ian sejak masih ingusan, sih, nggak heran dengan tingkahnya yang satu itu. Ian memang agak random. Dia bahkan pernah pacaran cuma selama dua belas jam saja. Aneh, kan?
“Gue nyusul Ian dulu deh, Nya.” Geo bangkit dari duduknya. “Ada yang mau gue omongin sama dia.”
Aku tidak menjawabnya dengan suara, melainkan isyarat dengan cara mengacungkan ibu jariku padanya. Dan setelahnya, Geo pun menghilang dari pandanganku.
•••
Sudah setengah jam berlalu, dan Ian tak kunjung kembali. Entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Geo di luar sana.
Satu-satunya hiburanku saat ini adalah Mela. Sedari tadi, aku tak berhenti menontonnya. Sepertinya dia juga sudah mulai mabuk, terlihat dari caranya yang duduk dengan sedikit sempoyongan.
Aku mengerutkan wajahku saat pemandangan yang tengah kutonton saat ini sudah menampilkan adegan yang berlajut ke tahap berikutnya. Ya, Mela dan lelaki yang sedari tadi bersamanya kini tengah berciuman.
Aku yakin Mela dan lelaki itu baru kenal saat di lantai dansa tadi, tetapi tahu-tahu mereka sudah ciuman saja.
Kok bisa semudah itu, ya?
“Itu pacar lo?”
Aku kembali mendapat interupsi, tetapi yang satu ini bukan berasal dari Ian maupun Geo, melainkan pria asing yang sedang berdiri di dekat mejaku, yang sejenak mengikuti arah pandangku ke Mela dan pria yang bersamanya.
Aku mendongak, menatapnya yang tengah berdiri menjulang dengan sebelah alis yang terangkat. “Maaf?”
Aku berusaha mengenali sosok tersebut. Barangkali aku pernah bersinggungan dengannya dalam hal pekerjaan. Namun, aku benar-benar tak bisa mengingatnya sama sekali. Dia tampak asing.
Senyumnya terlihat mengembang, menampilkan lesung pipi di satu sisi wajahnya. Meskipun dalam keadaan cahaya yang redup seperti ini, aku masih bisa merasakan pesonanya.
Hmm ... pria ini lumayan juga.
“Gue boleh duduk?” Dia meminta izin dariku sambil melirik sisi kosong di sebelahku.
“Ah, iya. Silakan.” Aku tidak menolak dan memilih untuk bergeser sedikit agar tidak terlalu dekat dengannya. Bagaimanapun juga, dia adalah orang asing.
“Thanks,” ucapnya dengan senyum yang tetap bertahan dalam wajahnya.
Aku terus memerhatikannya yang kini sudah duduk di satu sofa yang sama denganku. Hanya saja, dia mengambil posisi di paling ujung, dekat dengan lengan sofa dan membuat jarak di antara kami jadi agak jauh.
“Maaf sebelumnya, apa kita pernah kenal?” Pertanyaan itu akhirnya tercetus begitu saja dari mulutku. Otakku sudah lelah diajak berpikir.
“Nggak pernah, sih.” Dia menggeleng. “Tapi kalo boleh, gue pengen kenalan sama lo. Gimana?”
Sebelah alisku terangkat, memandangnya dengan heran dan menyadari jika sosok pria itu menghampiriku hanya untuk mengajakku berkenalan.
Ya, ampun! Kalau tahu begini, aku tidak akan repot-repot mengajak otakku bekerja untuk mengingat pernah tidaknya aku bersinggungan dengan pria di sampingku ini.
“Gue Andra.”
Bola mataku turun ke bawah, melihat sekilas pada sebelah tangannya yang diulurkan padaku. Kemudian, kembali naik dan hinggap di wajahnya yang menampilkan ekspresi penuh pengharapan.
Pikiranku mulai bergelut di sana, membuat pilihan antara menerima ajakannya untuk berkenalan atau tidak.
Jujur saja, aku terbiasa menolak pria-pria yang mencoba untuk mendekatiku karena enggan menjalin hubungan asmara. Selain karena pekerjaanku yang cukup menyita waktu, perasaanku juga masih terpaut pada Ian hingga semua lelaki di mataku tak terlihat menarik sama sekali.
Namun, aku teringat tentang rencana terbaruku yang hendak mencoba membuka hati untuk lelaki lain. Jadi, apa ini saat yang tepat?
Jujur saja, dari segi fisik, pria ini cukup menarik. Postur tubuhnya sempurna. Badannya tinggi dengan bahu yang lebar. Juga otot lengannya yang membuatnya jadi terlihat gagah. Senyumnya juga manis dan dia terlihat cukup sopan saat mengajakku berkenalan.
Setelah membuat pertimbangan kecil, aku pun membalas jabatan tangannya dan tersenyum. Lalu berucap, “Anya.”
Semoga saja keputusanku yang satu ini tidak salah.
•••
Wih si Anya udah mulai nyari-nyari kenalan baru, nih🤭
Yuk sini absen dulu yang dukung Anya kenalan sama cowok baru🥳💃
Kalo bab ini rame, besok kita ketemu lagiiiiii❤💋
18 Oktober, 2022
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy (Best) Friend
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya yang suka gonta-ganti pacar bukan hal baru lagi dan terus berlangsung sampai sekarang. Namun, apa jad...