Bab 34

23.6K 2.4K 243
                                    

Halo! Maaf ya baru bisa update sekarang. Kerjaanku numpuk banget🥲

Bab ini baru banget ditulis. Maapken ya kalo ada typo😭

Happy reading, guys❤

•••

Katanya, kalau kita berhasil mengungkapkan perasaan kita kepada seseorang yang kita cintai, kita akan merasa lega. Namun, kenapa kini dadaku malah terasa sesak? Tak ada kelegaan sama sekali. Jantungku malah terasa seperti dihimpit di antara dua bongkahan batu besar.

Semua yang kusimpan erat-erat selama bertahun-tahun lamanya pada akhirnya terkuak oleh mulutku sendiri. Ian sudah mengetahui tentang perasaanku padanya.

Untuk sesaat, setelah seluruh pengakuanku tersampaikan pada Ian, dia hanya diam. Matanya memang mengarah padaku, tetapi sorotnya tampak kosong dan bingung.

Aku menarik napas panjang, semata-mata untuk menahan sesak yang semakin menghantam dadaku tanpa ampun. Juga untuk menghalau air mata yang sudah hadir di pelupuk mataku. Sekali lagi aku berbicara, aku yakin air mataku pasti akan tumpah ruah.

Detik berganti menjadi menit, dan Ian masih tetap bungkam. Kesunyian malah semakin membuat kegalauan di antara kami bertambah pekat. Degup jantungku pun tak bisa dikontrol, masih terus berdetak dengan kencang.

Aku tidak ingin lagi berada di sini. Aku ingin segera kabur dari Ian dan menghindari situasi yang membuat hatiku terasa semakin sakit. Sialnya, kakiku seperti terpaku erat di atas lantai hingga sulit bagiku melancarkan niatku untuk segera pergi dari sini.

“Kenapa, Nya? Kenapa harus gue?”

Baru saja aku berhasil mengangkat kakiku dari lantai, suara Ian tiba-tiba terdengar, memutus keheningan yang sempat terjadi selama beberapa saat.

Niatku yang hendak pergi pun urung. Segera kuangkat kepalaku dan menemukan Ian yang kini sudah menatapku sepenuhnya. Kedua bahunya meluruh dan matanya tampak nanar, tak jauh berbeda dengan keadaanku saat ini.

Dia sama kacaunya denganku. Dan hal itu membuatku merasa pesimis dengan hubungan kami setelah ini.

“Gue juga nggak tahu.” Hanya kalimat itu yang bisa kusuarakan sebagai jawaban atas pertanyaannya. Padahal, aku punya penjelasan panjang untuknya, tetapi aku merasa tidak sanggup karena suaraku pasti akan kalah oleh tangisanku.

“Sejak kapan?” Ian kembali bertanya. Sama seperti sebelumnya, suaranya terdengar begitu lirih.

Aku menelan ludah susah payah sambil menahan agar air mataku jangan dulu keluar. Aku masih kesusahan mengatur emosiku. Tenggorokanku terasa seperti disumpal oleh benda padat hingga aku kesulitan untuk mengeluarkan suaraku.

“Kita udah berteman lama banget. Dari kecil. Dari kita masih pake pampers ke mana-mana.” Ian memutuskan untuk kembali buka suara meski pertanyaannya belum mendapat jawaban dariku. “Lo udah tahu semua keburukan gue, keberengsekan gue. Terus, kenapa lo masih bisa jatuh cinta sama gue, Nya?”

Kepalaku sedari tadi menunduk, tak sanggup menatap Ian secara langsung. Dan deretan pertanyaannya barusan berhasil membuat air mataku menetes.

“Lo tahu gue ini seberengsek apa kan, Nya?”

Aku mengepalkan kedua tanganku di sisi tubuhku. Jawaban Ian hanya kubalas dengan sebuah gelengan. Gelengan yang membuat air mataku tumpah semakin banyak. Aku benar-benar sudah tak lagi sanggup untuk bersuara. Bibir bawahku menjadi sasaran gigitanku, semata-mata untuk menahan isakanku.

“Gue sayang sama lo, Anya.” Tiba-tiba aku merasakan lengan Ian melingkupi punggungku sebelum menarikku untuk masuk ke dalam pelukannya. “Sayaaaaang banget. Tapi bukan akhir seperti ini yang gue harapkan dari hubungan kita.”

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang