Bab 12

25.3K 2.1K 94
                                    

Awalnya aku berpikir jika sepanjang perjalanan tadi, aku hanya akan menjadi pendengar antara Ian dan pacarnya. Rupanya terkaanku salah besar. Ian malah lebih sering mengajakku berbicara, sedangkan wanita yang bernama Mela itu lebih banyak mendengarkan obrolan kami.

Bukan sehari dua hari aku mengenal Ian. Jadi, sudah sepatutnya aku menyadari jika sebenarnya dia tidak tertarik sama sekali dengan Mela.

Mau heran, tapi Ian.

Sejujurnya aku kasihan, sih, dengan Mela. Sepanjang jalan tadi, ekspresinya benar-benar menampilkan raut kesal. Aku yakin setelah kami berpisah nanti, dia akan langsung memaki-maki Ian. Pertengkaran besar akan segera terjadi dan kutebak ujung-ujungnya Ian akan kembali menyandang status jomlo.

Meski begitu, ada perasaan senang yang membuncah dalam hatiku. Untuk yang satu ini, Ian juga tidak serius dengan kekasihnya. Dan itulah yang kuharapkan ketika Ian menjalin hubungan dengan para wanita di luar sana.

Ck! Aku sudah terlihat seperti tokoh antagonis saja.

“Aku turun, ya.”

Aku dan Ian yang sedari tadi tengah sibuk mengobrol berdua, mendapat interupsi dari Mela yang duduk di seberang kami. Rautnya masih terlihat begitu kesal dan tanpa menanti jawaban dari kami, dia langsung bergegas pergi ke lantai dansa.

“Susulin, gih, sana,” ucapku sambil menyikut pelan lengan Ian.

Sama seperti saat di perjalanan tadi, Mela kembali menerima silent treatment dari kami. Ian lebih memilih duduk di sampingku dan berbincang denganku.

Kendati menyadari jika Mela tak nyaman dengan kehadiranku, aku tetap pura-pura cuek. Dan aku juga tak berniat untuk mengajaknya gobrol atau sekadar berbasa-basi. Toh, aku yakin dalam beberapa jam lagi, dia akan lenyap dari hidup Ian.

Wah! Aku sudah benar-benar menjadi seorang antagonis sekarang.

“Males, ah.” Ian langsung menolak saranku sembari merentangkan tangannya untuk disandarkan pada kepala sofa.

Aku menatapnya sambil berdecak, tetapi tak lagi memaksanya. Lebih baik Ian tetap di sini menemaniku.

“Mau diputusin kapan?” tanyaku blak-blakan. Aku sudah tahu akhir hubungannya dengan Mela.

“Sekarang,” jawab Ian dengan santai.

“Parah banget emang lo. Kasihan anak orang dimain-mainin sama lo.” Aku geleng-geleng kepala.

“Terlalu bar-bar anaknya. Lo, kan, tahu gue lebih suka yang polos.”

Aku memutar kedua bola mataku seraya menyingkirkan lengan Ian karena aku hendak bersandar pada kepala sofa. “Halah! Yang polos juga tetep lo campakkan.”

Ian terkekeh. Dia benar-benar tidak merasa bersalah karena sering mempermainkan hati perempuan.

Duh, kok bisa ya kepribadian Ian sama bang Aulion berbanding terbalik. Padahal, bang Aulion orangnya sangat setia, tetapi kenapa adiknya malah bobrok banget gini.

Andai bang Aulion belum menikah, aku pasti sudah putar haluan dan memindahkan rasa cintaku dari Ian untuk bang Aulion yang menurutku lebih waras.

“Tapi dia kemaren to the point banget ngajakin gue having sex,” kata Ian. Dia lalu mendekatkan bibirnya dengan telingaku dan melanjutkan ucapannya dengan kalimat, “kayaknya dia hyper sex.”

Aku secara refleks memukul paha Ian. “Sok tahu!”

“Emang iya, Nya, sumpah!” Ian mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, menegaskan jika dia tak berbohong sama sekali.

“Seharusnya lo pertahanin, dong. Kan untung di elo tiap hari bisa ngeseks.” Aku menjulurkan lidahku di akhir kalimat, tetapi di dalam hati aku membantin, "amit-amit, ya Allah! Jangan sampe, deh."

Ian menoyor kepalaku. “Sembarangan! Gini-gini gue masih perjaka.”

Aku berdecak, agak sebal dengan toyorannya. Namun, apa yang Ian katakan memang benar, dia memang masih perjaka alias belum pernah celupin burungnya ke sana kemari.

Ian punya alasannya sendiri dan itu cukup masuk akal bagiku. Tentu saja aku memercayainya. Yah ... paling dia cuma grepe-grepe doang, sih.

Eh, tapi tunggu sebentar.

Sepertinya ada sesuatu yang kulewatkan.

Sejenak aku diam, memandang lampu warna-warni yang berputar di atas sana sambil fokus mengorek memori tentang Ian yang sempat terlupakan.

Ah, iya! Aku belum menanyakan sama sekali soal kondom yang ada di tasnya tempo hari.

Ya, ampun! Kenapa aku bisa sampai melupakan hal sepenting itu, ya?

Aku menegakkan posisi dudukku dan miring menghadap Ian dengan bibir yang sedikit mengerut dan mata yang menyipit curiga.

“Gue lupa,” cetusku.

Ian menaikkan sebelah alisnya, tampak terheran-heran dengan perubahan ekspresiku yang secepat kilat. “Apaan?”

“Lo belum jelasin apa-apa tentang kondom yang ada di tas lo waktu itu,” tembakku langsung.

Alis lebat Ian makin menukik tajam sebelum akhirnya dia memutar kedua bola matanya. “Itu pembahasan zaman kapan, Nya? Udah basi kali.”

Aku mengerucutkan bibirku, memandangnya dengan penuh ketidaksukaan. “Tapi gue masih pengen tahu alasan lo.”

Ian mengembuskan napas panjang, tampak jengah denganku yang terdengar ngotot. Tapi bodo amat, ah. Aku butuh penjelasan darinya.

“Itu punya Geo. Dia nitip waktu gue lagi on the way ke club,” terang Ian pada akhirnya.

Mataku masih menyorot Ian dengan pupil yang mengecil, berusaha mencari titik-titik kebohongan dalam wajahnya. “Beneran?”

Ian kembali memutar kedua bola matanya. Kali ini dibarengi dengan sentilannya di keningku.

Duh!

Aku langsung memindahkan tanganku ke kening, mengusap bekas sentilan Ian di sana sambil memelototinya.

Kurang ajar si Ian.

“Geo ada di sini. Perlu gue tanyain ke dia langsung untuk memvalidasi jawaban gue, Anya Carla Gurira?” Ian menekankan tiap kalimatnya, apalagi saat dia menyebut nama lengkapku.

Aku mendengkus panjang sambil manyun. Tanganku pun masih mengusap-usap dahiku. Namun, tiba-tiba saja Ian menggantikan tanganku di sana. Gerakannya yang tiba-tiba sontak membuat tubuhku membeku seketika. Sebelah tanganku bahkan tetap tertahan di udara.

“Pokoknya kondom itu bukan punya gue, Nya. Lo kan tahu sendiri kalo gue punya prinsip no sex before marriage, tapi gapapa kalo cuma grepe-grepe,” celetuk Ian dengan cengiran lebarnya. Dan hal itu membuat tubuhku perlahan bisa kembali rileks.

Aku kemudian memukul pelan lengannya seraya berdecak dan menyingkirkan tangannya dari keningku. Kalau sama Ian nggak boleh disentuh lama-lama, yang ada entar hatiku meleleh di dalam sana dan membuatku bersikap seperti orang bodoh alias salting nggak keruan.

Kan malu kalo salting di depan Ian. Image sok cool yang kubangun selama ini bisa-bisa langsung hancur dan bikin Ian jadi kepedean.

Tapi yang terpenting sekarang, aku sudah tahu siapa pemilik kondom yang ada di tas Ian tempo hari. Jadi, aku tidak perlu merasa was-was lagi.

Semoga saja Ian tetap bertahan dengan prinsipnya yang satu itu walaupun beberapa teman dekatnya sudah terbiasa celup sana-sini.

•••

Nahloh, Ian masih perjaka loh wkwk. Kalian percaya, kan?🤣🤣

Btw aku gemes plus ngakak banget bacain komen-komen kalian di bab kemaren, bener-bener nambah mood buat nulis🤣 ayo dilanjutkan guys komen-komen gemoynya. Kusukaaa❤💋

17 Oktober, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang