“Padahal, masih dua minggu lagi, Bun. Tapi aku, kok, udah deg-degan banget, ya,” desahku sembari memegang dadaku dan memalingkan pandanganku pada tante Intan—yang kini kupanggil dengan sebutan bunda—yang duduk di sebelahku.
Bunda tersenyum. Sebelah tangannya mendarat di pundakku, mengusap-usapnya dengan lembut. “Biasa itu, Nya. Calon pengantin udah pasti dag dig dug ser menjelang pernikahan.”
“Bunda dulu juga gitu nggak?”
“Sama, kok,” jawab bunda. “Zaman Bunda dulu, kalo ada yang mau nikahan, yang heboh satu kampung, Nya.”
“Rame dong, Bun?”
Bunda mengangguk. “Tetangga udah pada sibuk bantuin ini itu.”
“Kayaknya seru ya, Bun.”
“Ya, gitu. Beruntungnya Bunda dulu nggak tinggal di kota besar pas nikahan. Jadi, tetangga-tetangga Bunda masih pada bantuin. Jiwa kekeluargaannya, tuh, masih kental banget.”
Aku hanya manggut-manggut. Nikahan di zaman bunda sepertinya tak serepot di zamanku saat ini. Aku sampai stres sendiri memikirkan acara pernikahanku nanti. Jiwa perfeksionisku akan langsung meronta-ronta bila ada yang tak sesuai dengan keinginanku.
Aku baru kembali dari butik Olinsa untuk fitting baju kebaya yang akan kugunakan saat akad nikah nanti. Berhubung Ian tak bisa menemaniku karena dia sedang ada pekerjaan di luar kota, maka Bundalah yang kumintai tolong untuk menemaniku.
Selepas makan siang tadi, bunda menjemputku di kantor. Kami disopiri oleh sopir keluarga bunda. Aku hanya tinggal duduk manis dan tak perlu repot-repot menyetir kalau pergi dengan bunda.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku mulai merasa cemas menjelang pernikahan. Menikah adalah keputusan terbesar yang kuambil dalam hidupku. Setelah ini, aku sudah tak lagi bisa memikirkan diriku sendiri. Ada Ian yang nantinya akan menjadi suamiku, yang harus kuperhatikan setiap saat. Yang harus kuturuti setiap omongannya—dalam hal yang baik tentunya—karena dia akan menjadi kepala rumah tangga dalam pernikahanku.
Jantungku sering tiba-tiba berdetak cepat tiap kali aku memikirkan pernikahan, tetapi aku juga tak bisa menampik bahwa aku tak sabar untuk segera menjadi istri Ian.
Memikirkan Ian yang akan menjadi orang terakhir yang kulihat saat menutup mata, serta menjadi orang pertama yang kulihat begitu membuka mata membuatku senyum-senyum sendiri. Aku akan menyaksikan pemandangan itu setiap harinya setelah menikah nanti.
Aku sungguh tidak sabar menunggu momen tersebut.
Sesuai dengan rencana kami dua tahun yang lalu, Ian akan langsung menikahiku begitu pendidikan S2-ku selesai. Syukurlah selama menjalani hubungan jarak jauh, aku dan Ian tak mendapat masalah besar yang membuat hubungan kami harus berhenti di tengah jalan. Kami yang sudah sama-sama dewasa dan saling mengenal sejak dulu tak akan mau kalah dengan masalah yang hendak menerobos masuk di antara kami.
Sebulan yang lalu, aku baru melaksanakan wisuda. Gelar master sudah tersemat di belakang namaku. Cita-citaku telah tercapai. Dan kini, aku sudah siap untuk menjadi istri dari sahabatku sendiri.
Selain aku yang bisa mewujudkan cita-citaku, Ian pun berhasil naik jabatan. Kerja kerasnya selama dua tahun ini membuatnya diangkat menjadi seorang senior software engineer.
Pada akhirnya, Ian bisa membuktikan pada ayahnya bahwa dia bisa bekerja dengan becus. Karirnya yang sedang naik pun membuat Ian tak lagi merasa insecure dengan pencapaianku. Gajinya sekarang sudah dua digit. Belum lagi pekerjaannya di luar kantor. Aku jadi tidak segan lagi bila ingin menguras isi ATM-nya.
Selama dua tahun ini, aku dan Ian sudah sama-sama menambah value kami masing-masing. Kami bertumbuh bersama dan saling support satu sama lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boy (Best) Friend
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya yang suka gonta-ganti pacar bukan hal baru lagi dan terus berlangsung sampai sekarang. Namun, apa jad...