Bab 4

33.9K 2.6K 91
                                    

Sisa-sisa waktu yang kami habiskan dalam perjalanan menuju rumah Ian hanya diisi dengan keheningan. Masih terlalu shock menerima kabar buruk tentang kondisi kesehatan tante Intan. Padahal, selama ini beliau selalu terlihat sehat dan bugar.

“Ntar lo tetep pura-pura nggak tahu tentang penyakit Bunda ya, Nya,” pinta Ian begitu mobilku melewati portal dan memasuki komplek perumahan tempat Ian tinggal. “Bunda nggak pengen ngelihat anak-anaknya sedih. Gue aja kemaren langsung diomelin panjang lebar.”

Aku mengangguk, mengiyakan permintaan Ian.

Mobilku sudah berbelok ke arah kanan dari pertigaan. Hanya tinggal beberapa meter di depan, kami tiba di kediaman Ian.

Aku sudah hafal betul seluk-beluk jalanan di komplek perumahan ini. Rumahku dulunya terletak tepat di sebelah rumah Ian. Hal itulah yang membuatku bisa bersahabat dengannya. Sayangnya keluargaku harus pindah saat aku memasuki tahun kedua di SMA. Namun, aku dan Ian tetap berhubungan baik sampai sekarang.

“Lana sama Lara gimana? Belom dikasih tahu juga?” tanyaku sembari memarkirkan mobil di carport rumah Ian.

Lana dan Lara adalah adik kembar Ian yang saat ini masih menempuh pendidikan sarjana.

Ian melepas sabuk pengamannya. “Ntar malem gue bakal cerita ke Lana, sih. Tapi kalo ke Lara entaran dulu. Kasian dia masih di luar negeri. Takutnya malah nggak tenang di sana.”

Berbeda dengan Lana yang memilih untuk berkuliah di Indonesia, Lara memutuskan untuk menempuh pendidikan di luar negeri, tepatnya di Australia.

Setelah melepas seat belt, aku langsung membuntuti Ian yang sudah lebih dulu turun dari mobil. Aku berjalan di belakangnya dengan langkah lebar, berniat untuk menyusul Ian yang terkadang suka sekali meninggalkanku di belakang.

Tak ada kalimat Ian yang mempersilakanku untuk masuk ke dalam rumah begitu kami tiba di pintu utama. Dia dan keluarganya sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga Atmaja. Jadi, tak ada lagi kalimat basa-basi yang dilontarkan.

Aku bersyukur, sih, akan hal itu. Tapi tetap saja merasa jengkel karena Ian benar-benar tidak mau menungguku sama sekali.

Assalamualaikum.”

Sapaanku langsung menggema di kediaman Atmaja yang sangat besar ini. Salamku pun langsung dijawab dengan riuh dari dalam sana dan serta-merta membuat bibirku mengukir senyum lebar.

“Hai!” Kulambaikan tanganku dengan heboh begitu kakiku menapak di ruang keluarga dan menemukan keluarga Ian yang berkumpul di sana.

Ada Om Yarim yang tengah duduk di atas single sofa. Kacamata tebal bertengger di hidungnya dengan tablet dalam genggaman. Tepat di sisinya ada bang Aulion, yang kuyakini tengah membicarakan persoalan bisnis dengan ayahnya.

Turun ke bawah, aku menemukan mbak Tiara dan Lana yang sedang duduk lesehan di atas karpet. Keduanya sepertinya tengah mewarnai kuku-kuku mereka. Terlihat dari beberapa botol kutek yang berserakan di sana.

“Tante Intan mana?” tanyaku setelah menyalami satu per satu keluarga Ian.

“Di sini, Sayang.”

Pertanyaanku langsung dijawah oleh subjek yang kucari-cari sedari tadi. Tante Intan muncul dari dapur sambil membawa dua buah gelas yang kutebak berisi kopi hitam milik om Yarim dan bang Aulion.

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang