Bab 32

21.9K 1.7K 73
                                    

Ratna Indrawari memang menyewa informan khusus hanya untuk mencari tahu informasi apa pun tentang keseharian Siren. Informasi yang didapatnya tentang Siren yang akan bertunangan dengan Ian kemungkinan benarnya adalah tujuh puluh persen. Untuk menjawab tiga puluh persennya lagi, aku harus menanyakannya langsung pada Ian.

Setelah menyudahi pertemuanku dengan Ratna Indrawari, aku bergegas menuju apartemen. Ini masih hari jumat, Ian pasti masih berada di apartemennya. Dia biasanya hanya pulang ke rumah orangtuanya di akhir pekan.

Kalau saja Ratna Indrawari tidak menyinggung soal pertunangan Siren dan Ian, mungkin aku akan langsung menyerahkan kado darinya pada Siren. Sayangnya, ada hal yang lebih penting yang saat ini menjadi prioritasku.

Tak seperti saat pergi tadi, dalam perjalanan pulang, aku membawa mobilku dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jantungku ikut berdebar kencang di dalam sana, sebagai respons atas aksi kebut-kebutanku dan tentu saja pikiran-pikiran negatif tentang Ian yang seketika memenuhi benakku.

Hubunganku dengan Andra memang sudah semakin dekat, tetapi hatiku tetap saja merasa terusik saat mendengar kabar pertunangan Siren dan Ian meski aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk mengenyahkan rasa cintaku pada sahabat sialanku itu.

Walaupun kemungkinan akan benarnya berita tersebut sebanyak tujuh puluh persen, aku tetap berharap hal itu tidak benar. Toh, kalaupun memang benar, seharusnya aku sudah mendengar kabar itu lebih dulu dari tante Intan, Lana dan Lara, atau mbak Tiara.

TIIINNNNN!!

Tanganku refleks menekan klakson ketika hampir menabrak mobil yang melaju lambat di depanku dan buru-buru menginjak rem sembari membanting setir ke kiri.

Ya, Tuhan!

Aku tidak menyangka berita tersebut bisa membuatku kelabakan seperti ini.

Kutarik napas dalam-dalam dan berusaha kembali fokus pada jalanan. Aku yakin pengendara lain pasti sudah memaki-makiku saat ini. Dan aku pun memutuskan untuk tak lagi ugal-ugalan.

Kalau nanti aku terlibat dalam kecelakaan dan mati di tempat, aku pasti akan gentayangan karena masih dirundung rasa penasaran akan berita pertunangan tersebut.

Okay. Calm down, Anya.

Syukurlah aku bisa tiba di gedung apartemenku dalam keadaan selamat.

Setelah mobilku terparkir dengan sempurna di basement apartemen, aku bergegas menaiki lift dan langsung pergi ke lantai di mana unit Ian berada. Saking terburu-burunya, aku sampai melupakan kado dari Ratna Indrawari yang tertinggal di dalam mobil.

Ah! Persetan dengan kado sialan itu. Aku bisa mengambilnya nanti. Aku hanya butuh konfirmasi dari Ian tentang berita pertunangannya dengan Siren secepat mungkin sebelum kepalaku meledak akibat spekulasi tidak jelas yang terus berputar dalam pikiranku.

Lift berdenting, dan aku pun tiba di lantai di mana unit Ian berada. Segera kuajak kedua kakiku berjalan menghampiri unit pria itu dengan langkah tergesa.

Tadinya aku ingin langsung masuk tanpa menekan bel, toh aku tahu gabungan angka yang menjadi password apartemen Ian. Tetapi untungnya akal sehatku masih bisa bekerja di saat-saat seperti ini dan niat burukku barusan berakhir gagal.

Aku mencoba untuk menahan diriku yang benar-benar serba terburu-buru. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelahnya, barulah tanganku memencet bel apartemen Ian.

Aku terus menarik dan mengeluarkan napas dengan keras, persis seperti orang yang hendak melahirkan. Aku hanya menjaga ritme agar niatku untuk langsung menerobos masuk ke dalam apartemen Ian tanpa izin tidak lagi terbersit dalam benakku.

Ini sudah ketiga kalinya aku menekan bel apartemen Ian. Aku makin tidak sabar dan benar-benar akan langsung menerobos masuk kalau dia masih tidak membukakan pintu apartemennya untukku.

Embusan napas lega pada akhirnya menyeruak dari mulutku saat mataku menangkap pergerakan dari pintu apartemen Ian. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja dan secepat kilat digantikan dengan kekagetan yang luar biasa.

Mulutku terbuka lebar, yang tadinya berniat untuk langsung mencecar Ian dengan omelanku karena dia terlalu lama membukakan pintu untukku. Tetapi belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, lidahku mendadak terasa kelu saat menemukan Siren yang membukakan pintu apartemen Ian untukku.

Itu artinya Siren sedang berada di apartemen Ian, kan? Untuk apa?

Kalau saja bukan buatan Tuhan, otakku pasti sudah benar-benar meledak saat ini dikarenakan banyaknya pertanyaan yang hadir membombardirku tanpa ampun.

Pertanyaan yang satu belum terjawab, kini muncul pertanyaan lain yang sama-sama membuatku penasaran setengah mampus.

“Ngapain?” tanya Siren, sambil menyandarkan bahunya pada kusen pintu. Secara blak-blakan dia menunjukkan ketidaksukaannya atas kehadiranku di sini.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, aku kembali menghirup napas dalam-dalam, semata-mata untuk menetralkan diriku agar tetap berpikir dengan waras. Sebab, berhadapan dengan Siren kerap membuat darahku naik.

“Mau ketemu Ian-lah,” jawabku dengan lugas.

Tanpa peduli dengannya, aku berniat untuk langsung masuk ke dalam. Namun sial, Siren dengan sigap menjadi benteng di depan pintu dan membuatku gagal memasuki apartemen Ian.

“Gue nggak ngasih izin.” Siren mengambil posisi bersedekap dada. Dagunya sengaja diangkat tinggi untuk menggertakku.

Aku memutar kedua bola mataku, ikut melipat kedua tanganku di depan dada dan menatapnya dengan malas. Dia pikir aku takut?

“Memangnya kamu siapanya Ian?”

Siren menampilkan senyum miring di ujung bibirnya. “Tunangannya Kak Ian,” jawabnya dengan pongah.

“Oh, ya?” Aku tidak terlalu terkejut karena sudah mendengar tentang hal itu sebelumnya dan masih belum bisa percaya seratus persen sampai Ian yang mengonfirmasinya sendiri. “Minggir. Aku mau nanya langsung sama Ian.”

“Udah gue bilang kalo gue nggak ngasih izin.” Kali ini Siren menaikkan suaranya. Dia juga memberi pelototan tajamnya padaku dan kembali berjaga di depan pintu dengan kedua lengan yang direntangkan.

“Jangan kekanak-kanakan, Siren. Aku juga butuh konfirmasi langsung dari Ian.”

“Lo bisa tanya kak Ian lewat chat, kan?”

Aku memejam sejenak, berusaha mengontrol emosiku yang mulai meledak-ledak di dalam sana.

Tadinya aku sungguh berpikir akan langsung mendapat jawaban dari segala pertanyaan yang memenuhi benakku begitu tiba di apartemen Ian, tetapi Siren malah sibuk menghalang-halangiku dan menambah beban pikiranku.

“Anya?”

Oh, ya ampun, Ian!

Aku buru-buru mendongak begitu mendengar suara Ian memanggil namaku. Manikku langsung tertuju pada Ian yang mengambil posisi berdiri di belakang Siren dengan sebelah alis yang terangkat. Dia bergantian menatap kami dengan bingung.

“Kamu udah selesai mandi?” Nada suara Siren berubah sangat lembut saat berbicara dengan Ian. Dan aku baru menyadari jika rambut Ian tampak basah dan dia masih mengenakan bathrobe.

Dalam situasi seperti ini, mana mungkin otakku bisa diajak untuk terus berpikir positif, bukan?

Kegilaan dalam kepalaku terus berlanjut dan malah bertambah liar.

Sial! Apa yang baru saja mereka lakukan?

•••

Siren makin ke sini makin meresahkan ya, guys wkwk. Kasian Anya pikirannya jadi traveling🤣🤣

Gimana bab ini menurut kalian? Siapa yang kesel sama Siren?🤭

Yuk yuk ramein kolom komentarnya yaa❤💋

5 Desember, 2022

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Boy (Best) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang