8. Rumah

32.4K 3.1K 218
                                    

"....fa. Ar...fa....Bangun....Arfa!" panggil Angga yang membangunkan Arfa.

Yang lebih pendek membuka matanya perlahan, lalu celingak celinguk untuk melihat sekitar.

Kok bukan dirumahnya? Dimana ini?

"Ini dimana?" tanyanya sambil masih mengucek matanya.

Angga tersenyum lega. "Ini rumah gue. Lo makan dulu ya, trus minum obat."

".....jadi lo udah tau?" Arfa menunduk. Raut wajahnya kecewa.

"Ga usah mikir itu dulu. Buruan masuk, bunda gue udah bikinin makan didalem."

Angga dengan cepat meraih tangan Arfa dan menarik nya ke rumah itu.
Rumah Angga cukup besar.

Rumah nya elegan, ada dua lantai didalamnya, furniture rumahnya sangat modern, banyak yang keluaran terbaru.

Di meja makan, sudah ada menu sop ayam, ayam goreng, dan buah-buahan.

"Nih, pakek jaket gue." Angga melingkarkan jaket yang ia gunakan di punggung Arfa.

Dia tahu akan tidak sopan jika ke rumah orang hanya dengan pakaian sekolah yang hanya berupa kaos putih.

"Ah, tuan muda sudah datang." Sapa seorang wanita paruh baya yang menyadari keberadaan mereka pertama kali.

"Bi, mana bunda?" tanya Angga.

"Nyonya masih di dapur, katanya mau bikin bubur buat temennya tuan muda." Ujarnya sambil tersenyum.

"Loh, udah dateng toh? Duduk sini!" ujar sang bunda, yang masih menggunakan apron pink nya.

Arfa masih tidak yakin untuk menerima tawaran dari ibu dari seorang Angga.

Bukannya dia tidak suka, tapi memang dari kecil sosok Arfa tidak pernah menerima kehangatan dari seorang ibu.

Angga yang melihat Arfa yang terdiam langsung menarik tangan yang lebih pendek dan mengajaknya mendekat ke meja.

Selama belasan menit terlewati, mereka makan dengan tenang.

Sebenarnya, ibunya Angga menanyakan satu dua hal ke Arfa, tapi Angganya aja yang menolak keras semua pertanyaan ibunya.

Dengan alasan, Arfa baru sembuh, ga boleh dibuat pusing. Lucu kan?

Arfa yang mendengarnya cukup kaget sih, ya masak Angga yang tadinya keliatan ga peka dan ga punya perasaan ke dia, tiba-tiba jadi cukup sensitive terhadapnya.

Selesai makan, bundanya Angga mengecek sekali lagi keadaan Arfa. Tangan keibuannya menempel di dahi Arfa.

Arfa terperanjat sedikit karena yang dirasakan ketua geng itu sangat berbeda dari biasanya.

"Tangan ibunya Angga anget, hehe." ujarnya tanpa sadar.

Bundanya Angga tersenyum lebar, dibarengi dengan kekehan kecil Angga yang sudah terlanjur gemas dengan Arfa.

Setelah semua itu, Arfa menuju keluar ditemani Angga.

"Lo gausah nganter gue pulang deh. Gue pesen ojek aja." Ujar Arfa yang meraba tasnya mencari benda pipih kesayangan semua orang itu, hp.

"Ga boleh. Udah gue bilang kan, lo ikut gue. Ga ada penolakan." Gugat si manik hitam tegas.

Jelas dia tidak bisa membiarkan orang yang baru sembuh pergi dengan orang lain.

Angga tidak suka. Iya, tidak suka.

Arfa menghela nafasnya berat. Ini bukan yang pertama kalinya dia dituntut keras oleh temannya.

AnggArfaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang