Kini, tinggal Angga dan Arfa yang masih terbaring pulas.
Angga menatapnya lekat-lekat. Makin lama, dia menggerakkan tangannya untuk menelusup masuk ke pergelangan tangan Arfa.
Digenggamnya erat-erat tangan Arfa, mengharapkan sang empu untuk segera sadar.
“Arfa, gue minta maaf. Selama ini, kayaknya gue udah bikin masalah buat lo. Gue gatau masalah lo bakal sekompleks ini.” Gumamnya sendiri.
1 jam
2 jam
3 jam
Arfa tak kunjung bangun. Lagi-lagi, Angga dengan penuh harapnya berdoa untuk kesadaran Arfa.
Matanya yang sendu. Tangannya yang mungil namun keras. Rambutnya yang hitam namun manis. Bibirnya yang merah terang benar-benar membuat Angga goyah.
Dia sudah tak tahan. Walau selama ini Arfa tidak pernah melihat kearahnya, tapi selama ini Angga memperhatikan Arfa dari jauh.
Angga berdiri, menekuk tubuhnya. Mendekatkan bibir jantannya ke arah bibir merah Arfa.
Dikecupnya sebentar, lalu tangannya membelai poni di dahi sang empu.
“Bangun ya, manis.”
Angga mengeluarkan obat yang tadi sudah diberi Zeno, dan memasukkannya ke mulutnya sendiri.
Sambil meminum air. Hal yang mengejutkan, dia mengalirkan nya langsung ke mulut Arfa, dengan mulutnya sendiri!
Walau Arfa masih tidak sadarkan diri, tapi dia masih menerima tegukan manis dari Angga. Cukup lama bibir mereka tidak sengaja tertempel.
Sebelum akhirnya, Angga melepaskannya, dan menempelkan dahinya di dahi Arfa.
“Aku mohon, bangun.”
…
Arfa membuka matanya tepat pukul 5 sore. Sudah 5 jam sejak kejadian itu.
Dan hal yang pertama kali dilihatnya adalah dinding dinding langit UKS. Dan seorang Angga yang tertidur sambil memegang erat tangan Arfa disebelahnya.
“Loh, Angga?” begitu kata pertama yang ia keluarkan semenjak sadar di UKS ini.
Arfa mengeryit bingung, kenapa ada Angga disini?
Mana teman-temannya? Kenapa Angga menggenggam tangannya layaknya mau perpisahan?
Pfft. Jangan bercanda, Angga yang populernya seantero sekolah tidak mungkin mau menggenggam anak bermasalah disekolah ini.
Arfa mencari jam dinding UKS, sudah jam 5 sore ternyata. Wajar saja teman-temannya sudah pulang.
Lantas, kenapa anak ini tidak pulang?
Tanpa melepas genggaman Angga, si rambut hitam agak kecoklatan itu menggoyangkan tubuh Angga sambil membisikkan namanya.
“Ngga. Angga. Bangun, udah sore.”
“Mmm.” Angga terusik.
Matanya perlahan terbuka. Memandangi pemandangan sejuk di sore hari, muka manis yang keheranan dengan nada mata Angga.
“Lo udah baikan? Ada yang masih sakit gak?” Angga langsung mengambil kembali tangannya dari genggaman satu arahnya, lalu sesegera mungkin berdiri.
Arfa hanya menggeleng sedikit. Baru saja dia ingin turun, tangannya ditahan oleh Angga.
“Lo gue pandu aja ya.” Ujarnya dengan nada rendah.
Adem banget sumpah suaranya. Kalo Arfa cewek, mungkin dia kembali pingsan mendengar suara indah itu.
“Dih, gausah ah. Mana temen gue?” tanya Arfa cuek, mengingat Angga dan Fani lah yang membuat dirinya seharian ini pusing.
“Temen lo udah pada pulang, gue yang nyuruh.” Balasnya dingin.
Angga mengangkat ranselnya, dan membawa ransel Arfa di Pundak kirinya.
“Kok malah pulang sih? Gue kan bisa ikut nebeng.”
“Ngawur lo. Lo kan baru sadar, ya masak lo nebeng pake motor. Entar lo jatoh, gimana?” balasnya keras.
Kok jadi serasa bentak Arfa sih?
“Trus lo nyuruh gue nyetir motor gue sendiri? Ga punya hati lo emang.”
Arfa mendengus kesal, lalu langsung turun dari kasur.
Angga menghela nafas berat. “Lo bareng gue. Gue bawa mobil, lo bisa tiduran di belakang.”
Arfa terpaku. Ternyata ada alasannya toh.
“Okelah, daripada gue jatoh. Ayok buruan, keburu malem.” Arfa merebut kembali tasnya, dan berjalan mendahului.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Arfa berjalan sangat perlahan. Lebih terlihat seperti tertatih-tatih.
Angga sebenarnya sudah menawari pundaknya, tapi Arfa kekeuh untuk berjalan sendiri.
Dimana harga dirinya sebagai ketua geng kalau begitu?
Arfa makin lama wajahnya semakin pucat. Tubuhnya mulai oleng, matanya kembali buram.
Seet!
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Dengan cepat, Angga menggunakan lengannya untuk menangkap tubuh mungil Arfa di dekapannya.
“Kan gue udah bilang.” Ujarnya kepada Arfa yang sudah jatuh ke pelukannya.
Mau tak mau, Angga mengangkat kedua kaki Arfa dan membawanya layaknya seorang putri.
“Loh, itu dek Arfa nya kenapa?” tanya pak Roni, satpam sekolah yang menjaga parkiran.
“Habis pingsan pak, mau dianter ke rumah saya dulu.” Jawab Angga antusias.
“Owalah, ati-ati ya mas. Itu anak orang lo hehe.” Jawabnya jahil.
Angga hanya geleng-geleng kepala. Dia menuju tempat mobilnya terparkir.
Saat hendak membuka pintu jok belakang, dia baru tersadar ketika melihat pantulan kaca mobil.
Arfa terlihat sangat nyaman dengan menyenderkan kepalanya di dada bidang sang pemilik mobil.
Cup.
Angga dengan sengaja memberi satu kecupan manis ke ujung kepala Arfa.
“Cepet sembuh.”
TBC
-asli ini seru ga sih?

KAMU SEDANG MEMBACA
AnggArfa
Fiksi RemajaArfa; anak geng plus berandalan ini harus bisa menerima kalau kejadian itu mengubah hidupnya 180 derajat. Siapa lagi kalau bukan dengan Angga, cowok dingin yang bikin kepala Arfa pusing setiap ketemu!! WARNING! Ini cerita BxB alias homo, yang gasuka...