38. Aodra

11K 1.1K 2
                                    

Tanggal 16 Oktober tahun 20xx. Pukul 21.00

Lima hari berlalu dengan cepat. Dan kali ini, Arfa tengah mempersiapkan beberapa alat yang bisa ia gunakan nanti. Begitu pula dengan anggota dari Geng Aodra lainnya. Mental dan fisik sudah ditata dari jauh hari.

"Udah siap, ya?" Lio berjalan mendekati mereka. Membawakan beberapa alat pelacak untuk dipasang disalah satu saku celana Arfa.

Angga juga hadir disana. Ia berniat mengantarkan Arfa pergi. Karena, dia bilang kalau acara mamanya itu nanti pagi.

"Em." Arfa mengatur barisan teman-temannya. Perlengkapan sudah lengkap, ada beberapa yang membawa bom asap, ada juga yang membawa tongkat baseball, atau alat-alat tumpul lainnya. Fei membawa drone—hasil pinjaman saudara jauhnya—untuk sebagai mengawasi penjaga disana.

"Oke, sesuai pembagian kemaren—tim yang sama gue naik mobilnya guru Rei. Tim yang sama Dilan—naik mobilnya Dilan. Dan tim yang sama Jason—naik mobilnya kak Gilang. Wil, lo bisa pake mobilnya kak Gilang, kan?" Willy mengangguk sambil menunjukkan jempolnya.

"Sudah siap, semua? Berangkat!" pasukan itu bubar. Mulai memasuki mobil masing-masing. Tak apalah sempit-sempitan, yang penting cukup—dan yang lebih penting, ga ngeluarin duit lagi.

Arfa baru saja mau beranjak pergi ketika Angga tidak menarik tangannya. Membuat tubuh itu berhenti melangkah. Arfa membalikkan badannya, menatap mata Angga lekat-lekat.

"Kenapa, ngga?" Mata Angga malah jelalatan kemana-mana. Ia canggung, sebenarnya.

"Cepet pulang, ya?" Angga melebarkan kedua lengannya, menawarkan pelukan hangat sebelum cowok didepannya itu pergi. Arfa tertawa pelan. Tapi ia dengan segera memajukan dirinya ke pelukan itu.

"Em. Tunggu aku."

Cup.

Ciuman yang diberikan Arfa itu cukup singkat. Tapi mampu meleburkan ketegangan diantara keduanya. Angga bersyukur, Arfa bisa menerima dia apa adanya. Dan Arfa bersyukur, Angga bisa menyayanginya dengan tulus.

Arfa melambai sebentar, sebelum akhirnya benar-benar melesat pergi ke arah mobil Rei.

Tiga jam perjalanan bukanlah hal yang mudah. Para korban yang duduk dibelakang mobil itu sudah tak bisa berkomentar lagi. Ternyata ide untuk sempit-sempitan selama tiga jam itu ide yang buruk. Rian yang terlihat pucat itu hampir muntah kalau mobil itu tidak berhenti sesaat untuknya menghirup udara segar.

Untungnya, Andra lihai dalam menyetir. Tiga jam perjalanan akhirnya membuat mereka sampai ditujuannya. Arfa yang duduk dibangku tengah itu langsung turun dari mobil. Matanya bisa memandang gedung yang cukup modern ditengah-tengah pedalaman. Tadi saja, waktu mereka masih diperjalanan—hanya ada 3 atau 4 mobil yang lalu-lalang.

Andra memimpin. Ia masuk secara perlahan, mengendap-endap dan was-was bila ada penjaga. Fei dan Willy yang masih menunggu giliran masuk, mempersiapkan dronenya. Kemudian menerbangkan benda itu ke angkasa.

"Fa, pintu yang kanan ga ada penjaganya. Coba lo masuk situ aja." Fei yang mengendalikan controller dari drone itu segera memberitahu teman-temannya yang sudah masuk.

"Oke, thanks." Arfa memutuskan sambungan walkie-talkienya. Sesuai arahan Fei, ia masuk lewat pintu yang sebelah kanan. Dan benar saja, tak ada yang menjaga disana.

Jason dan Dina berada bersama Fei dan Willy. Mereka tak jadi ikut kedalam, karena mungkin cukup berbahaya jika membawa lebih banyak orang kedalam.

"Lurus aja, fa. Didepan sana ada lorong kecil, masuk kesana." Willy kembali mengarahkan. Andra menengok ke arah lorong itu. Dengan perlahan, ia masuk kesana. Diikuti oleh Lio dan Arfa dibelakangnya.

AnggArfaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang