Raka menoleh waktu pintu ruangan kosong itu terbuka.
Menampilkan tiga remaja yang tingginya hampir sama dengannya.
“Kalian pasti udah kenal sama gue. Gue, Raka.” Orang itu menyalurkan tangannya, memberi kode untuk berjabat tangan.
Arfa yang gamau diskusi ini berjalan panjang langsung aja nyaut itu tangan, dan memberi jabatan formal.
“Ketua, Arfa. Itu Zeno, sama Adi.” Arfa yang emang kebagian paling kanan memperkenalkan kedua temannya yang sama-sama memasang wajah was-was.
“Lo bertiga, ga ada yang mau diucapin buat gue?”
Raka menyeringai kecil, memberi kesan positif untuk saat ini.
“Lo yang salah disini, njing!” Adi meninggikan suaranya, membuat Raka sedikit kaget.
“Budeg gue lama-lama, njir. Eh, lo yang nyari masalah ya sama kita!” iya, itu Zeno yang ngomong.
Satu kalimat pertama digumamin, yang satu setelahnya baru ngebentak.
Arfa cuman menghela nafas sabar, anggotanya ga ada yang kalem dikit apa ya?
“Sabar mas-mas, duh. Gue tau, kalian pasti nyalahin gue.” Raka pasrah, kalo kayak gini ceritanya dia bisa kalah.
“Trus, lo kesini buat apa? Minta maaf? Gue ga butuh.” Arfa mendelik tajam, tangannya mau aja beraksi jika belum diingatkan sama Zeno dan Adi yang keliatan meringis waktu tangannya melayang.
“Siapa bilang mau minta maaf, Bambang. Gue disini minta kalian buat Kerjasama bareng gue—” Raka menatap ketiga remaja itu bergantian.
“—kalian bener, ini termasuk salah gue. Gue ga nuntut kalian buat bener-bener nerima ini, tapi gue yakin kalian ga sebodoh itu untuk nolak.”
Ketiga remaja itu mendadak berdiri kaku. Seolah-olah, Raka ini benar-benar menekan setiap perkataan yang diomongnya.
Jatohnya kayak lagi brainwashing. Walau ketiganya tau bukan itu cara kerjanya.
Kalau dilihat, Raka ini hanyalah sesosok remaja pria biasa. Tidak ada yang beda, tidak ada yang spesial.
“Trus? Lo mau kita disini buat itu doang kan? Apa isi dari yang lo bilang ‘kerjasama’ ini?” Arfa menatap datar lawan bicaranya, menyelidik setiap sudut perkataannya.
“Bukan lo bertiga doang yang jadi korban disini—” Raka yang memang saat itu memakai seragam sekolah sebelah, menurunkan tiga kancing atasnya.
Lalu, menarik kain itu ke arah kanan. Menampilkan leher nya yang tertinggal bekas gigitan.
“—gue termasuk salah satunya.”
Tiga remaja itu dibuat diam waktu dengan jelas terpampang bekas gigitan, atau yah ‘tanda’ kalo bisa dibilang.
“Lo. Jangan bilang—”
“—OMEGAA!?” Kompak kali lah uke-uke komplek ini.
Raka memutar kedua bola matanya malas. Masih pada pake nanya ini tiga orang.
Dikancingnya kembali seragam nya.
“Sama siapa anjir!?” ini malah si Feraldi kepo mulu.
“Ga penting itunya, bego! Lo masih ada hubungan sama orang itu?” sama aja ini si Zeno.
“Guoblok pancene, gak gitu wan kawan! Siapa yang jadiin elo gender kedua abal-abal itu, hah? Bilang sini sama gue, tak hajar itu orangnya!”
Raka cuman bisa terkekeh geli waktu liat kompak banget ini ketua sama anggotanya. Ga ada yang nggenah, itu kompaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
AnggArfa
Teen FictionArfa; anak geng plus berandalan ini harus bisa menerima kalau kejadian itu mengubah hidupnya 180 derajat. Siapa lagi kalau bukan dengan Angga, cowok dingin yang bikin kepala Arfa pusing setiap ketemu!! WARNING! Ini cerita BxB alias homo, yang gasuka...