34. Alaska

14K 1.4K 60
                                    


2 minggu terlewati dengan cepat.

Banyak perbedaan yang terjadi, salah satunya Arfa yang berhasil diterima kerja oleh mamanya Angga. Walau awalnya harus dirayu oleh Angga dan Raka. Tapi tetap saja, Felin sebagai ibu Angga itu selalu memalingkan muka jika bertemu tatap dengan Arfa.

Yang kedua, hubungan Zeno dan Rei yang makin lekat. Keduanya sering bertemu sekarang, dan sering menghabiskan waktu di ruang kerja Zeno, berdua.

Dan hasilnya, seperti sekarang ini.

Arfa dan gengnya sedang beristirahat dimeja kayu dekat pohon mangga. Yohan memainkan gitarnya, sesekali Tegar ikut bersenandung mengikuti irama. Yang akhirnya nada fales terdengar karena suara tidak mengenakkan Rian dan suara melengking Adi.

Zeno berlari ke arah meja itu, lalu dengan keras membanting lembaran kerlap-kerlip ditangannya. Beberapa anak yang ada dimeja itu memandangi Zeno heran.

'Apa lagi ni bocah, main banting-banting ae.' Mungkin itu batinan mereka semua, entah.

Zeno yang tersenyum sumringah itu menghiraukan tatapan heran teman-temannya, sambil membagikan lembaran yang ia bawa untuk satu per satu orang disana.

"Ini apaan, dah?" Fei membolak-balikkan lembaran tebal itu. Dia menduga sesuatu, tapi dia masih tidak percaya apa yang ia pikirkan saat ini.

"Undangan." Balas Zeno singkat.

Kyrian mengeryit bingung, "Siapa yang kondangan?" Ini kok kayak surat undangan orang nikah?

"Gue." Zeno duduk disamping Arfa. Lalu menunjukkan senyuman silau ala ala miliknya.

"Sama siapa, elah." Fei menggaruh telinganya yang bahkan tidak gatal. Ini sama seperti yang ia duga!

"Guru Rei lah, tu undangan buat acara pertunangan gue sama Guru Rei. Ntar gue nikahnya abis lulus, bangga gak lo semua!?" Zeno berucap senang, senyuman terus tak luput dari bibirnya.

"Kenapa buru-buru, no? Lo kan bisa langsung nikah aja ntar waktu lulus, napa kudu pake tunangan segala?" celetuk Adi, membuka segelan plastik dan melihat tulisan yang ada di lembaran itu. Dilan juga mengikuti apa yang dilakukan Adi, membuka segelan plastiknya dan mengintip apa yang ada didalam.

"Ini." Zeno memegangi perutnya, sambil nyengar-nyengir sendiri.

Awalnya suasana jadi diem. Ga ada yang bicara. Semua masih pada mikir nih, maksudnya apaan nunjuk-nunjuk perut begitu?

Kyrian menatap tak percaya, "Lo tekdung, no?!" Dan tiba aja, Rian udah bisa nebak.

Arfa yang sedang minum teh anget itu langsung kesedak waktu dengerinnya. Hah, sejak kapan?! Kok dia ga dikasi tau?

"Oi, no! Lu kenapa ga pernah kasih tau gue? Kan butuh diper--" yah, keburu dipotong sama si Zeno. Arfa mendengus malas, serah si Zeno lah. Nyerah dia.

"Eh, tapi kok tiba-tiba gue pingin makan somay dah. Han, beliin dong." Zeno meretapi Yohan dengan mata berbinar-binar.

Yohan menggeleng cepat, "Ogah, beli sendiri sono."

Tegar menggeplak kepala Yohan, "Beliin sono, han. Ini namanya ngidam, tau! Ntar kasian anaknya Zeno kalo ngileran."

Fei menyetujui dengan anggukan. Yohan yang ogah-ogahan beli malah jadi ngerasa dibully karena didorong-dorong buat nurutin permintaan Zeno.

Yohan menggaruk kepalanya frustasi, "Iya iya, elah. Tungguin bentar." Yohan langsung aja pergi ke stan somay di ujung kantin.

Arfa dan Rian berbarengan tertawa ngakak. "Eh anjrit, si Yohan kaga tumbenan kaga minta duit. Goblok apa gimana tuh." Celoteh Tegar sambil tertawa puas.

AnggArfaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang