.
.
.
Adi merengut ngilu. Ini sudah jam 2 malam, dan dia malah harus singgah dirumah Rei dulu. Salahkan saja Zeno yang ngidam macam-macam.
"Lo kalo ngidam, yang masuk akal dikit dong, no!" Adi mendengus. Ia mendadak cemburu saat melihat Dilan memangku cowok itu. Rei ikutan mendengus, ia tidak menyangka Zeno bisa plin-plan waktu ngidam.
"Ya serah-serah gue lah, anjir. Salahin dedeknya nih, minta dipangku si Dilan." Zeno nyerocos. Dia dengan santai tambah mendekat ke Dilan. Aslinya Dilan ogah, yang ngidam kan si Zeno ngapa dia yang repot. Tapi yah, karena si Adi gamau anaknya Zeno ngileran, dia terpaksa nurutin aja.
"Bukannya apa, no. Lo tambah berat anjir." Dilan menyergah. Ia mendorong-dorong kesal muka Zeno yang mencoba menciumi wajahnya. "Namanya hamil bego, ya wajar lah." Zeno menoyor belakang kepala Dilan gemas.
"Lo kira ini jam berapa, Zeno sayang? Hiiih." Adi benar-benar ingin mencubit pipi Zeno sekarang. Zeno mengedikkan kepalanya tak peduli. "Capek kaki gue, ogeb. Ini udah 15 menit lewat gue mangku lo." Dilan ikut berkomentar. Cowok yang dipangku itu menatap Dilan sok sedih, ingin menarik simpati cowok satu itu.
Rei membawa satu selimut tipis. "Lain kali ngidamnya jangan aneh-aneh, Zeno. Ini sudah jam dua malam, kamu kira mereka ngga ngantuk?" Rei sesekali mengusap kepala Zeno. Walau tadi dia malah kesannya nyeramahin Zeno, tetep aja pandangan dia ke Zeno itu sayang banget. Dia ngasih selimut itu untuk nutupin perut dan dada Zeno, karena malam ini udaranya cukup dingin.
Zeno menggerak-gerakkan kakinya. Ia menggembungkan pipi, alisnya tertaut. "Ish, kok pada nyalahin gue sih. Ini kan dedeknya yang minta, huhh."
Dilan baru ingin tertawa saat jeritan dari arah dapur terdengar. "AAAHHH! MATIIN! MATIIN KOMPORNYA, GOBLOK!"
Seluruh orang dirumah itu terdiam, hening. Rei ingin membenturkan kepalanya, sekarang juga. Jujur—ia penat.
Dari arah dapur, remaja dengan kaos oblong berwarna putih itu menghampiri mereka dengan nafas yang terengah-engah. "Tolongin, euy. It-itu dapur kacau haah bangethh." Raka—remaja yang ngos-ngosan ini berusaha mengatur nafasnya.
Rei buru-buru meninggalkan kawanan remaja itu, beralih melihat dapurnya. Dan yap, benar kata Raka—dapurnya jadi kacau. Berantakan dan bahan-bahan berserakan.
Zeno turun dari pangkuan Dilan. Dia perlahan menyusul pasangannya—Rei—ke dapur. Diikuti Adi dan Dilan yang menjaga dari belakang. "Buset. Kak Gilang kagak pernah masak apa begimane dah." Congor Adi, julid.
"Lah kok jadi salahin gue, tuh si Tegar sama Yohan tuh. Gue bilang apinya kecilin, malah digedein." Gilang bernafas lelah. Lain kali, jangan serahkan urusan masak-memasak ke dia lagi. Si dua pelaku itu cuman bisa cengengesan, dan keduanya mengaduh secara bersamaan waktu Fei menjewer telinga mereka.
Rei tak bisa berkata-kata. Dapurnya hancur berantakan, dan hello! Ini masih jam 2 pagi. "Agh, shit."
Zeno menengok ke arah Rei disampingnya. Dia jadi ngerasa bersalah. "Maaf, guru Rei. Zeno minta yang engga-engga." Zeno menundukkan mukanya. Cowok itu takut Rei akan kecewa dan kesal dengan sikapnya.
Pria berumur 24 tahun itu terdiam, memandangi dapurnya yang kacau balau. Bahkan penggorengan miliknya jadi korban. Tapi ia tak mementingkan itu sekarang. Ia tertawa kecil. "Kenapa minta maaf, hm? Ini hal yang wajar, tidak ada yang salah. Tak perlu kecewa, aku masih bisa memasakkannya untuk Zeno lain kali. Bagaimana?" Rei menoleh, memandangi pemuda disampingnya lekat-lekat.
Cowok yang dipandangi itu merona sedikit. "Tapi Zeno maunya sekarang, boleh?" Zeno memberanikan diri untuk menatap pria itu.
Rei tersenyum halus, "Tentu. Tapi biarkan mereka pulang dulu, bagaimana?" Zeno memanyunkan bibirnya. Ia masih ingin bersama teman-teman konyolnya itu lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
AnggArfa
Ficção AdolescenteArfa; anak geng plus berandalan ini harus bisa menerima kalau kejadian itu mengubah hidupnya 180 derajat. Siapa lagi kalau bukan dengan Angga, cowok dingin yang bikin kepala Arfa pusing setiap ketemu!! WARNING! Ini cerita BxB alias homo, yang gasuka...