Lisa baru saja membereskan kembali barang-barang yang telah ia kacaukan. Meletakkan lagi pada tempatnya. Lantas segera keluar kamar untuk masuk ke dalam kamar pribadinya. Hari ini amplop besar datang dengan sedikit tebal. Biasanya hanya tipis dengan info yang tidak banyak. Namun detektif itu sepertinya menemukan banyak hal.
Sebetulnya amplop besar ini ia terima sejak siang tadi, namun ia tidak sempat lihat karena terlalu sibuk dengan diri sendiri. Dirinya yang hanya ingin mengitari hari dimana Rosie berada. Aduh, entahlah, apakah ini yang dimakan tergila-gila? Ia sangat menyukai gadis itu. Namun sekali lagi, jangan dulu. Jangan dulu jatuh, telusuri lagi batu terjalnya, barangkali ia akan tersandung untuk kesekian kali.
Lisa menghela napas, kembali lagi pada amplop yang ia ambil dari atas meja laci. Ia merobek dengan tenang, melihat satu persatu data Bank, nama, pengiriman uang, dilanjut dengan beberapa foto. Jennie.
Jennie yang tengah mengobrol sembunyi-sembunyi dengan orang tuanya. Jennie yang memberikan segepok uang, pergi bolak-balik dengan pakaian serba tertutup hanya untuk menemui mereka yang sudah lama. Dan entah siapa-siapa orang asing bersamanya.
“I thought I trusted you.” Lisa melempar amplop itu hingga isinya berserakan. Sedikit kesal, kalau bisa, ia ingin menghilangkan kenyataan itu dalam sekejap, biar ia tidak tahu. Biar Jennie, akan selalu jadi sepupu yang ia sayang, yang ia percaya.
Dadanya terasa sesak, ini mengesalkan. Ia tidak suka ini. Lisa tidak suka emosi semacam ini, ketika kau terluka oleh keluarga sendiri. Terlebih yang selalu berada di dekatmu.
Dengan gusar ia menggaruk leher, matanya sedikit pedih, entah karena apa. Ia tidak ingin merasa ingin menangis, tidak. Sebab tak ada guna. Namun kekesalan itu berubah menjadi keterkejutan.
Suara garasi terbuka, sontak Lisa langsung mengintip dari jendela. Mobil Jennie, wanita itu akhirnya pulang entah darimana. Semua alasan kerja, mengantar Jisoo, atau bertemu klien. Entah apa yang Jennie katakan ketika ia bertanya nanti. Yang jelas tak bakal bicara tentang orang tuanya.
Pasang muka biasa Lisa, ia memantrai diri. Keluar dari kamar dengan amplop yang dipungut kembali. Siap hadapi Jennie yang tengah masuk ke rumah. Suara pintu mulai terbuka ketika dirinya turun tangga. Tatapan lurus memandangi sepupu yang akhirnya datang juga.
“Hey, yo! Sudah makan?” Jennie menyapa, melepas syal dari leher. Senyumnya seketika memudar ketika melihat ekspresi Lisa yang tampak serius. Sepertinya ada masalah. Apa ini Rosie? Apa Lisa ditolak lagi?
“Don’t hey to me.” Lisa berjalan tertatih dengan tongkat beradu suara sepatu. Tangan yang memegang amplop langsung menghunus dada Jennie hingga wanita itu mundur satu langkah, seketika kaget dengan perlakuannya.
“What’s these?!”
“Ini apa, apanya?” Jennie bingung, ia baru saja pulang. Lalu kenapa Lisa sudah emosi begini. Ia bahkan tak pernah melihat emosi semacam itu bisa keluar dari wajah Lisa. Yang mata memerah, bibir bergetar, dan wajah mengguncang. Jadi sebelum ia bertanya-tanya lagi. Mungkin kertas yang dihempas kasar ke dadanya inilah yang menjadi penyebab.
“How could you!” Lisa membentak, menudingkan satu jari di wajahnya, dengan Jennie yang masih melihat-lihat jenis kertas apa itu, foto apa itu, dan sebenarnya kenapa gerangan bisa marah besar.
“Li—Lisa...” ini, Jennie kembali melihat dengan seksama, membaca dengan teliti, dua kali. Jennie melihat dua kali hanya untuk memastikan bahwa prasangkanya salah. Bahwa hal ini tidak akan terungkap, bahwa hari seperti ini tidak akan terjadi. “I’m so sorry.” Ia mencoba meraih tubuh Lisa yang bergetar. Mencoba jelaskan situasi yang telah lama terjadi.
“I can explain, I swear. I can explain.” Tubuh Lisa menolak, Jennie menyangka akan reaksi itu. Setidaknya sang sepupu tak langsung berlari atau menampar wajahnya. Jadi ia lanjut bicara, “Aku jelaskan, sebenarnya orang tuaku selama ini berusaha melukaimu. Dan aku yang tahu ini, tidak mungkin tega jahat padamu begitu saja. Aku tidak seperti mereka—“
“Itu yang aku pikirkan, Jen. Kau tidak seperti orang tuamu. Kau sama sekali tidak seperti mereka. Tapi kenapa kau menutupi semua ini?! Tetap memberi mereka uang?! Untuk apa?! Lalu kenapa kau memberi orang asing ini banyak uang juga?! Apa yang kau sembunyikan dariku, Jen?!”
“A—aku...” entahlah, bibirnya kelu. Sebab emosi ini juga mendera mata serta hati. Sakit, ia juga ingin menangis melihat begitu emosional Lisa saat ini. “Lisa-ya, aku hanya ingin melindungimu. Orang tuaku selalu mencari kesempatan dalam kesengsaraan. Mereka akan mencari orang paling miskin untuk melukaimu dengan dibayar sedikit uang, jadi aku berusaha menutupi semuanya dengan memberi orang itu uang agar tak terkena masalah. Aku hanya ingin—“
Cukup. Lisa rasanya muak. “Kau tahu Jen? Kalau kau pikir kau melindungiku selama ini? Tidak! Karena selama ini aku yang selalu melindungimu! Aku yang tidak memenjarakan orang tuamu agar tidak malu! Aku yang selalu ada untuk menutupi setiap masalah! Aku yang menjagamu agar tidak seperti orang tuamu!” Lisa membentak, hampir memundurkan tubuh Jennie yang ternganga tak bisa berkata.
“Ka—kau tahu?” Sejak kapan? Sejak kapan Lisa tahu?
“Since forever.” Lisa menatap penuh mata Jennie. Ia telah berhenti berderai, hanya meninggalkan sisa sakit di dada. “I love you, Cousin. But now, I hate you so much. You fuck everything. Out of everyone. Dari semua orang ... Jen. Kau adalah orang aku percaya, yang aku sayang dalam keluarga setelah Mom and Dad. But knowing this, kamu melakukan semua ini sama halnya menutupi keburukan orang tuamu. Ini membuktikan bahwa kau sama saja.”
“Aku tidak sama Lisa. Aku benar-benar tidak ingin kau terluka lebih dari ini.” Jennie ingin sekali memaksa tubuh kurus itu masuk ke dalam pelukannya, mungkin semua ini bisa sirna karena sebuah kasih sayang. Tapi mantra keinginan itu hanyalah dongeng belaka.
“Kau hanya kasihan padaku, Jen. Kau tidak benar-benar sayang. Aku memang hanyalah anak cacat dengan satu kaki. And it's because what? Because your parents did this! Yang melakukan penculikan! Penyekapan! Dan membuat pertumpahan darah hingga ayahku tiada!” Lisa hampir saja melayangkan tangannya yang bergetar itu untuk mendorong Jennie menjauh dari dekatnya sebab ia terlalu muak. Muak mengingat semua kebusukan itu.
“Dan kau tahu hanya karena apa? Harta, Jen! Hanya karena semua harta warisan Kakek yang semuanya jatuh ke tangan ibuku, dan setelah ibuku meninggal dia meninggalkan semuanya untukku. Itulah sebabnya orang tuamu selalu mengincarku meninggal selama ini! Jika kau pikir aku tidak bisa melindungi diri, lalu untuk apa aku belajar bela diri dengan satu kaki ini?! Untuk apa aku membayar bodyguard bayangan?! Untuk apa aku menyewa banyak detektif? Untuk apa Jen?!”
“I’m so sorry...” Selain maaf dan penyesalan. Jennie tak bisa berkata lagi. Sebab kalimat lanjutan akan membuat wanita itu makin marah, membela diri akan sebabkan masalah, dan menjelaskan hanya buat murka. Jadi ia akan meminta maaf dengan tulus, hingga lutut rasanya lemas sampai-sampai tubuhnya menyelorok ke bawah. Tangisan tak lagi dibendung, entah kesakitan macam apa ini. Yang jelas, rasa sakitnya tak sebanding dengan luka menganga yang Lisa hadapi. Maafkan aku, Lisa.
“I hate you.” Lisa menampar udara dengan lemas ke arah Jennie. Untuk kemudian pergi dari hadapan sepupu yang masih menangis sambil terduduk. Bodo amat, ia tak peduli lagi. Ia tak percaya lagi. Semuanya hanya omong kosong, hidupnya hanya candaan. Fuck!Aku baleekkkkk, komen komen ya
Pemirsahhhhhh.... Yuhuuuuu