Awh!
Lisa tak mengindahkan, jelas ia merasa bosan. Mau bagaimana lagi, bukan. Melerai sudah, barang-barang sampai pecah tak terlewat, apalagi luka kecil pada tangan dan kakinya akhibat kelakuan kucing dan macan berebut kemenangan.
“Lisa-yah ...” rintihan Jennie terdengar, meski tengah kesakitan, ekspresinya masih datar. Tangan gadis itu menggapai ke udara, pasang muka penuh drama, untuk menyuruh si Jangkung yang berada di ujung ruangan untuk mendekatinya. Tingkahnya seolah ia tengah sekarat dan tinggal mati saja.
“Bolehkah aku pergi sekarang?” Kesan sebal jelas terpampang, Lisa sesungguhnya geram. Kurang baik apalagi dirinya ini, jadi korban iya, yang menengahi juga jelas, tapi ia malah jadi yang membawa mereka berdua pergi ke klinik karena luka-luka. Akhir dari pertengkaran plus gulat antara Jennie-Jisoo dan dirinya sangatlah sengit. Tak ada yang menang kecuali mengalami beberapa goresan di tangan. Menangani mereka berdua telah membuat waktu terbuang sia-sia, Sebab terlalu lama, ia kini menjadi begitu tak sabar, ingin sekali pergi meninggalkan kedua manusia yang merepotkan ini untuk segera menemui Rosie.
“Kau jangan begitu Lisa, tega sekali kau meninggalkanku disini.” Jennie pasang muka melas, bibir bergetar dengan menahan napas. Mencoba mencari pengasihan dari Lisa yang punya kuasa.
“Aku yang akan membayar tagihan kliniknya, kau jangan khawatir. Jadi biarkan aku pergi sekarang.” Lisa memutar mata, bukanlah yang pertama, tapi karena sudah biasa. Jennie memelas hanya karena ingin meminta-minta.
“Baiklah,” yes, Lisa tahu saja. “silahkan pergi kalau begitu.” Jennie kini merebahkan tubuh dengan senyum semringah, merasa lega, ia kini kembali kenakan wajah aslinya. Tanpa perlu pura-pura, wajah gahar dan intimidasi muncul ke permukaan mata.
“Kau tahu urusan kita belum selesai.” Lisa menudingkan jari telunjuk, memberi wanti-wanti, jika Jennie berulah kembali. Maka ia takkan segan mengganti kunci rumah dan password kamar agar tak bisa dengan mudah dimasuki.
Yang dikasih tahu hanya mengibas tangan, mendesah dengan gaya tak sopan, sekaligus membuat tanda pengusiran. “Pergilah dengan kesibukanmu.”
Lisa menatap pada tingkah Jennie yang menjengkelkan, lalu pada Jisoo yang tengah tidur terkapar di ranjang lainnya. Biar, Jennie akan menangani sisanya. Ia takkan ikut campur lagi.
Meninggalkan keduanya di dalam sana takkan membuat klinik ini kebakaran. Sebab tak ada korek dan bensin di sekitar ranjang Jisoo berada. Jadi ia segera memutar langkah, membuka pintu ruang pasien dengan tergesa. Pergi meninggalkan dua manusia biang memecah belah suasana. Tongkat panda yang dicengkeram memegang kencang, menggema lorong ruang. Betapa pun ia melangkah cepat, setengah dari kakinya akan menghalangi, ia mesti berlapang hati. Bahwa ketidaksempurnaan kaki menjadi sebuah kendali. Ia tak bisa sembarang melangkahi.
Satu langkah demi puluhan langkah, Lisa memburu waktu. Naik ke dalam mobil dengan terburu, keringatnya mulai luruh, panik memang begitu. Ia bahkan biarkan keringat jatuh, sebab tangan sudah sibuk pada setir mobil. Melaju dengan kecepatan sedang, berusaha mengontrol diri bahwa jalan raya adalah tempat mudah kecelakaan. Tak mungkin ‘kan, ia akan kehilangan kaki lainnya karena kecerobohan. Jadi mohon bersabar, Lisa. Kau akan sampai pada waktunya.
Tapi menghitung lampu merah, belok setir kanan serta kiri, lantas memasuki tiap nama jalan berbeda. Seolah ia tengah mengarungi samudera, makan waktu begitu lama. Sungguh ia tak punya kuasa, seandainya saja ia bisa menghilang dan langsung berada pada tempat tujuan dan langsung tiba.
Namun itu hanya bayangan, membayang hingga tak terasa cahaya kilau lampu bertuliskan ClubYul telah dekat. Ia dengan cepat mendekat, memarkirkan mobil dengan tergesa, keluar hingga hampir saja jatuh. Tubuhnya sempat hilang keseimbangan, namun tongkat yang dipegang telah jadi penyeimbang, ia tak jadi tumbang.