“Kau harus memakannya juga, tahu.” Sebab Rosie dengan cepat dan tentu saja lahap. Menghabiskan semangkuk penuh Ramyeon tanpa perlu bantuan orang lain untuk memakannya. Dia ini memang, cantik-cantik tapi kelihatan rakus.
“Aku tidak terlalu lapar,” bukan hanya kesulitan makan, Lisa malah menikmati pemandangan. Rosie dengan tangan cekatan, melahap semua isi mie bagai tak pernah makan.
“Mau aku suapi?” Ia telah selesai mengelap mulut serta minum. Perut kenyang dan pikiran tenang akan membuat jiwa siap menerbang. Membawa Si Keren nan wajah kaku ini untuk ikut dalam permainannya.
“Mie-nya sudah dingin. Aku tidak suka mie dingin.” Entah harus menatap kemana, mata atau dada, sebab posisinya serba salah. Ke atas ia akan buta, ke bawah akan lebih berbahaya. Jadi yang ada ia menunduk pandang ke arah kanan, pada lantai dingin nan kesepian.
“Apa menurutmu aku sangat jelek?” Rosie menyibak rambutnya ke sebelah kanan, sedikit gerah setelah makan. Namun tubuh tak ingin pindah dari pangkuan. Meski berpaha kurus, Lisa ini ternyata punya tempat nyaman.
“Siapa yang bilang seperti itu?” Lisa langsung menatap, membayang tak suka siapa gerangan berani berkata Rosie tidaklah menawan.
“Caramu menatapku, cara tubuhmu menolakku, dan segala macam tingkahmu untuk menghindar dariku.” Pasang wajah sedih, namun tetap terlihat jelita nan menggoda. Rosie harus bertingkah lain karena Lisa bukan orang biasa. Dia, berbeda dengan banyak orang yang pernah menyewanya.
“Ma-maaf, aku tidak bermaksud seperti itu.” Iya juga, kenapa pula Lisa bersikap ogah seakan ia tak ada minat barang sedikit saja. Mungkin, karena kehati-hatiannya dalam mendekati wanita, atau ketakutannya terhadap jatuh cinta. Rosie bisa jadi hal yang buat hati ingin terbuka.
“Bohong! Kau sengaja melakukannya. Kau telah menarikku pergi dari club dan berkata menginginkanku. Tapi tingkahmu justru sebaliknya. Aku merasa tak berguna dan terluka.” Seandainya saja ada kucing mati yang lewat, ia akan menangis saat menyaksikan. Tapi apalah saat ini ia tak bisa pura-pura menangis selain hanya menurunkan bibir. Sambil menghentak kaki kesal, ia juga malah menggoyang badan, sengaja menubruk-nubruk kemaluan, hingga ia mendengar erangan Lisa tertahan. Tapi masih saja pura-pura tak tahu kelakuan.
“Mian, mian, aku tidak bermaksud menghinamu dengan menolakmu,” Lisa mencoba memeluk, demi menahan gerak tubuh Rosie yang berbahaya. Sebab tengah selangkangan telah menabrak-nabrak bokong si Wanita. Sialan, ini hanya tak sengaja.
“Cium aku kalau begitu.” Rosie membulatkan bibir, bersiap menerima ciuman, dengan mata tertutup ia siap menerima kemesraan. Namun 3 detik kemudian hanya ada bibir mencubit pipinya, lantas mata terbuka merasa tak terima.
“Yah! Kenapa di pipi!” Rosie menampar lengan Lisa, meski dalam hati ingin senyumi, sebab kecupan pipi itu sungguh gerakan imut.
“Pipimu mengalihkan pandanganku, jadi aku ingin melahapnya sedikit dengan bibirku.” Ini gara-gara ia terlalu perhatikan, ketika Rosie mengunyah makanan hingga pipi bergerak timbul dengan cara menggemaskan. Ia tak tahan.
Rosie ingin sekali tersenyum, namun ia menguatkan niat sebelum ini. Jangan sampai goyah hanya karena Lisa memberi alasan manis yang buat siapa saja merasa percaya. “Kalau begitu cium lagi, kali ini di bibir.” Ia menunjuk pada bibir maju, pandangan kembali menutup guna menerima sebuah jurus terjitu. Tapi lagi-lagi, Lisa ini pakai acara ragu menyerbu, itu sebabnya ia hanya dapat sebuah kecupan singkat seolah tak ada niat.
“Baiklah kalau itu maumu.” Lelah, tahu! Lisa ini dasar si Kurus tapi keren dan pandai membuat dirinya lelah dengan banyak cara. Ia dengan luap amarah beranjak dari tempat berada, mengambil mangkuk dan piring kotor untuk dibawa, serta melangkah tegas nan tergesa. Seolah memberi sinyal bahwa ia tengah marah.
“Euh, Rosie?” Lisa garuk kepala, bukan ada kutu tanah, ia hanya merasa heran menerpa. Apa ia berbuat salah? Apakah ia harus menghampiri gadis yang tengah sibuk mencuci piring itu? Ah, sebaiknya ia segera mengambil langkah. Meraih tongkat hingga membuat gema. Mendekati si cantik yang dengan cekatan membasuh piring kotor sampai bersih.
“Rosie?” entah datang darimana aura gelap ini menyerbu, meski rumahnya lebih sering sepi layaknya pulau hantu. Tapi tidak tahu, kenapa gadis cantik yang tadinya imut nan menggemaskan itu terlihat berubah wajah? Apakah dia marah?
“Apa kau akan membayarku sekarang atau aku harus membuat makanan lagi untukmu?” Rosie mengelap tangan dengan terburu, ia bersidekap di dada dengan tatapan siap keluarkan amarah.
“Aku sudah kenyang.” Kenyang sih, tidak. Lapar juga tidak. Sebab kedua hal itu hanya alasan untuk membuat ia menahan Rosie tetap berdekatan.
“Kalau begitu kau boleh membayarku sekarang jika memang aku hanya disewa untuk menemanimu minum. Aku bahkan lebih dari menemanimu minum.” Rosie tak pernah merasa ditolak dengan tubuh halus nan seksi ini. Hanya Lisa saja si Perawan yang bertingkah ‘selalu lama’. Membuat ia susah saja, sudah digoda sini-sana, yang ada ia hanya lelah.
“A-aku,” entah harus berkata apa. Posisi ini akan membuat dirinya serba salah. Sebab ia hanya ingin Rosie berlama-lama, menghabiskan waktu untuk mewarnai rumahnya yang sepi. “Aku akan mengambilnya di atas kamar, kau bisa ikut denganku untuk menghitung uangnya.” Ia berharap bisa lebih banyak bicara, hingga keberanian tercipta. Bukannya malah membuat tingkah yang buat orang lain ingin segera menghilang dari hadapannya.
“Okay,” Rosie mengikuti langkah Lisa dari belakang. Menatap punggung si kurus namun punya bahu lebar. Meski wajah cemberut mengesal, jujur saja ia sedikit menyesal. Kenapa usahanya menggoda si Keren yang terlalu sering membuat tingkahnya berbeda hanya sebatas ini saja.
“Kau bisa masuk juga,” ujar Lisa, membuka kamar dengan pintu lebar terbuka. Mempersilakan Rosie agar ikut masuk dengan dirinya. Lantas menutup pintu setelah sang gadis berada di tengah ruangan. “Kau bisa buka laci nakas dekat tempat tidur di belakangmu.”
Rosie memberi pandang ragu, namun tubuh segera berbalik untuk membuka laci yang telah dikatakan. Menemukan segepok uang yang tingginya lumayan, serta sebuah cincin kecil yang tergeletak di permukaan.
“Aku memberimu uang, seperti janjiku.” Lisa melangkah hati-hati, mendekati demi mengambil cincin untuk menyemat di jari, memakaikan pada telunjuk Rosie. “Ini cincin kepemilikan. Karena kau telah memiliki keperawananku.”
“Huh?” Rosie belum selesai pasang tampang bingung, wajahnya tergantikan dengan gerakan cepat Lisa mencium. Membungkam mulut tanpa ampun, serta pinggang terperangkap dalam kedua tangan seakan ia tak boleh lepas dari dekapan.Ups, kepotong deh😛😛