Dinner Date

1.6K 243 46
                                    

Apakah pesan makanan akan cukup waktu? Lisa menatap jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Mungkin belum terlambat, jadi dengan wajah mewek pantang putus asa, Lisa jalan cepat meraih ponselnya di atas meja sana.

Ia menekan layar untuk membuka kunci dan sadar ia melewatkan dua puluh lima kali panggilan tak terjawab dari, Rosie.

“Sial!” kenapa sih, dia ini bodohnya tidak tertolong?! Lisa hanya diam-diam melakukan semua ini tanpa memberikan informasi lebih lanjut pada Rosie, akan kemana mereka, akan jam berapa makan malamnya. Semua itu hanya ada dalam kepala tapi tak diungkap untuk kemudian beritahukan wanita cantik yang mungkin sudah gusar menunggu kepastian.

“Rosie, maaf,” Lisa ingin sekali menampar dirinya sendiri. Bagaimana ia mengacaukan segala yang telah ia siapkan dan sekarang membuat Rosie kesal adalah hal terakhir yang ingin dilakukan.

“Lisa-ssi, aku sedang menuju rumahmu sekarang.”

“Apa?! Bagaimana bisa???” mampus kau, Lisa.

“Karena kau tidak mengangkat teleponku selama satu abad dan aku tidak ingin menua hanya karena menunggumu bicara, jadi aku akan datang langsung kesitu.”

“Tapi Chaeyoung, makan malamnya belum siap.” Dan dapurnya juga perlu dibersihkan, Lis. Bagus, sangat bagus.

“Aku sudah memasak sendiri dan sekarang aku bawa, kau siapkan saja meja dan piring. Oh, berpakaian seksi dan wangi, ya, keren. Kau harus menyambutku.” Seandainya saja berhadapan, Rosie pasti sudah memberi kerlingan menggoda dengan senyum buat terpana. Namun yang supir taksi lihat dari kaca dalam mobil adalah senyum manis bagai wanita lugu.

“Baiklah, baiklah, aku akan telanjang, maksudku! Akan menyiapkan diri dengan berpakaian rapi dan wangi.” Lisa kembali meraih tongkat setelah menutup sambungan telepon, berjalan cepat menuju dapur, membersihkan kekacauan yang ia buat secepat mungkin. Well, setidaknya siraman air telah berhenti dan tinggal banjir serta bekas saos dan bumbu masakan yang berceceran di lantai.

Lisa mengelap, mengeringkan sampai berjongkok-jongkok hingga ngesot ke lantai saking fokusnya. Masa bodoh dengan pakaiannya saat ini. Toh, nanti ia akan ganti baju juga.

“Cepatlah, Lis.” Sial, ia bahkan mulai berkeringat lagi. Lisa mesti cepat membawa peralatan makan di atas meja, menatanya dengan sempurna, menyediakan wine paling mahal, serta kursi.

“Hehm, kursi ya.” Menatap lekat dua kursi berhadapan sudah sempurna, tapi rasanya berlebihan. Iya, bukan?
Mengingat tingkah nakal Rosie, ia menebak gadis itu kemungkinan besar tidak akan duduk diam-manis di tempat duduk sebenarnya melainkan berpangku manja padanya. Jadi Lisa memilih menghilangkang satu kursi, menyembunyikan di tempat tidak dijangkau seperti memasukkan ke dalam ruangan kecil khusus peralatan kebersihan berada. Lantas tersenyum puas melihat satu bangku yang seolah telah tersenyum dan mengangguk setuju atas idenya.

“Aku hanya akan membilas tubuhku.” Keringatnya mungkin tidak bau, tapi jelas ia takkan nyaman jika hanya berganti pakaian saja. Jadi ia memilih melepas seluruh pakaian untuk kemudian menyiram seluruh badan. Lalu berpakaian keren seperti yang diminta Rosie, ia memakai kemeja putih longgar—dua kancing yang terbuka sengaja, trouser abu-abu serta pin kecil berbentuk burung Canary putih yang menempel di salah satu dadanya.
“Aku harap dia suka.” Lisa tersenyum pada cermin, ia takkan berpakaian secara berlebihan, lagipula mereka mungkin akan melepasnya sehabis makan, bukan? Jadi untuk apa ia memakai banyak lapisan? Ia sekali lagi memandangi diri sebelum mengganti kaki palsunya, memasangnya kuat hingga langkah tak begitu tertatih.

And speak of the devil.” Lisa segera melangkah keluar kamar setelah mendengar suara bell pintu rumah berbunyi nyaring. Dengan senyum lebar sepanjang jalan, ia membuka pintu menyambut Rosie.

“Waw.” Lisa melongo melihat penampilan Rosie yang begitu ... tampak sederhana. Iya, memang aneh, gadis itu biasanya memakai riasan tebal, sepatu heels lancip, dengan pakaian yang sedikit erotis seperti mini dress ketat yang meliukkam lekuk tubuhnya ketika melangkah.

Namun ini, dia, berbeda. Rosie hanya memakai backless chiffon dress warna kuning yang membalut tubuhnya dengan manis dan cantik. Jika biasanya Rosie kelihatan sangat gahar dan seksi, tapi gadis yang sekarang di depan ini akan ia katakan sangat, indah. Lihat betapa tipis make-up yang dipakai, mata kecilnya begitu imut hingga tanganpun tak sadar menggapai kedua pipi Rosie yang begitu menggemaskan.

“Lisa-ssi?” Rosie bicara dengan mulut maju setelah Lisa meremas kedua pipinya seperti roti secara tiba-tiba. Ia menatap Lisa dengan tatapan heran, dan lihat mulutnya yang melongo itu. Apa dia melamun jorok? Beranggapan demikian sebab belahan dada dress yang dipakai memang sangatlah lower.

“Maaf,” Lisa segera melepas, tersenyum canggung akan tingkahnya yang aneh. “Kau sangat cantik dan lucu. Aku jadi gemas.” Lisa masih ingin meraih pipi empuk Rosie untuk sedikit mencubit, namun ia tak mau berbuat lebih aneh lagi. Jadi ia segera mempersilakan Rosie untuk masuk ke dalam rumah, tak lupa mengambil kontainer makanan yang telah ditenteng Rosie untuk dibawa ke dapur.

“Kau—” Rosie menatap satu bangku di meja makan. Memicingkan pandangan dengan heran. Di rumah sebesar dan seantik ini, Lisa hanya punya satu kursi makan?
“Hanya menyediakan satu kursi untuk kita berdua?” Meski bertanya-tanya, namun tangannya dengan telaten mengeluarkan semua makanan dari kontainer untuk diletakkan pada piring yang sudah Lisa sediakan.

“Jennie merusak kursinya ketika mengganti lampu kamar.” Maaf ya, Jen Unnie kau jadi bahan pembohongan.

“Waw,” Rosie menarik satu alis, membayangkan Jennie menaiki kursi lalu detik kemudian hancur seperti gajah menaiki seonggok kayu tua. “Apa Jennie sangat berat hingga tubuhnya bisa menghancurkan kursi mahalmu?”

“Entahlah, aku juga heran bagaimana dia melakukannya. Tapi, Jen Unnie suka sekali membuat suatu barang rusak di rumah ini. Aku bahkan sudah terbiasa akan kelakuannya.” Kalau yang ini bukan kebohongan, karena Jennie memang suka berbuat sesuatu yang bisa merusak barang.

Okay,” Rosie mengangguk percaya saja, ia meletakkan kontainer kosong di dapur, lantas duduk di atas kursi yang hanya tersedia satu-satunya. “Karena aku tamu disini, jadi tidak mungkin aku akan duduk di lantai sambil makan, bukan?”

“Ta-tapi—“ kenapa situasinya jadi begini? Ia membayangkan tingkah Rosie yang suka menggodanya, lantas mendorong dirinya duduk di bangku itu untuk kemudian ia akan berpangku lalu mereka bisa makan suap-suapan. Sepertinya tidak, bayangannya telah rusak oleh kenyataan.

“Oh, kau bisa memakai kursi mini di ruang tamu itu?” Rosie ingat ada bangku kecil seperti untuk duduk anak TK yang tersedia di ruang tamu. Entah kenapa kursi itu rasanya begitu mencolok dengan warna hijau menyala yang juga sangatlah absurd dibandingkan semua barang di dalam rumah ini.

Lisa melempar pandang ke ruang tamu dan melihat kursi kecil menyala itu. Sial, Jisoo Unnie membelinya sebagai hadiah ulang tahunku. Seharusnya aku menyimpannya di belakang saja.

“Ba-baiklah.” Lisa tersenyum kaku, lalu melangkah sambil menggerutu tanpa suara. Sementara Rosie duduk menyilangkan kaki dengan gaya—yang masih kelihatan seksi.

“Apa tidak terasa aneh?” Lisa menaruh bangku mini itu di hadapan meja, memandangi Rosie yang tampaknya nyaman saja duduk di kursi normal seperti menduduki singgasana, lihat ekspresi penuh cahaya itu, juga caranya memegang sendok dan garpu. Sangat elegan.

“Entahlah, coba saja kau duduk,” Rosie menggerakkan tangan sebagai tanda mempersilakan Lisa duduk. “Oh, jangan lupa piringnya.” Ia tersenyum manis menatap Lisa dengan lugunya menurut—mengambil piring dan duduk.

“Oh, waw.” Lisa menganga melihat pemandangan paha memesona.

“Kau suka?”

“Ya, aku sangat suka.” Lisa menyendok nasi goreng itu dengan pandangan tak teralihkan dari seksinya lekukan kaki jenjang Rosie di depan mata. Tak menyangka jika idenya malah membuat hasil di luar duga.

“Jadi masakanku enak?”

Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang