Step One

3.1K 357 38
                                    

Ketakutanmu adalah dirimu sendiri. Bukan karena hal lain.


Lisa terngiang betapa suara bass sang Ayah terdengar. Padahal kamar begitu tenang, serta tubuh dalam keadaan rebahan. Yang ia tatap hanya langit-langit kamar tanpa sinar rembulan. Gelap, sunyi, dan mencekam; kata Jennie. Itulah sebabnya si kerdil itu suka sekali menyelipkan ornamen kamar yang mencolok untuk diletakkan sengaja disini. Kecuali mainan kecoa yang jadi sebuah musibah, benda lainnya hanya berupa lampu kelinci, poster Hello Kitty, serta boneka Sinchan berukuran sekerdil Jennie berpipi bolu kukus semirip dia yang kini duduk diam di atas kursi tepat di sebelah kasurnya berada.



Haha. Betapa lucu, bukan? Beberapa jam yang lalu ia kalap, seperti manusia setengah ikan yang tak tahan terus berada di daratan. Namun kini, mandi air dingin telah membasuh seluruh tubuh, menenangkan raga, serta pikirannya yang sempat berkecamuk.



Menyendiri seperti ini adalah hal favoritnya, terutama sesaat setelah kekacauan perasaan dan ingatan bermunculan bagai peluru. Untung saja Jennie hari ini tidak datang menyerbu, mendobrak masuk ke rumah lantas tiba-tiba tidur di kamarnya. Mungkin karena Jisoo, barangkali kedua pasangan yang selalu saja membuat iklan sabun opera itu tengah mengait madu, bercinta selayaknya pasangan kekasih. Karena biasanya sih begitu, Jennie bilang, "habis bertengkar lalu bercinta, itu adalah bagaimana romansa kita tetap terjaga."



Alah! Muka songongnya itu minta sekali digiling saat berkata demikian. Sok karismatik padahal sama lalat saja takut.



Meski keduanya seringkali menyebalkan, namun Lisa tetap tersenyum saat mengingat. Bagaimana mereka selalu mencoba mengubah tenang rumah seperti taman kanak-kanak. Lucu, entah bagaimana keduanya itu bisa bertahan satu sama lain ketika yang mereka lakukan hanya memperlihatkan seni bela diri lidah; selalu saja ribut.



Kesunyian kian tenggelam. Detik jam makin menjelas, menelan waktu yang habis untuk segera pagi mentari. Lisa tak bisa tidur, sesungguhnya ia ingin menghapus rasa lelah ini dengan sebuah lelap istirahat. Tapi yang ada, sampai jam empat dini pagi pun ia belum juga dihampiri oleh rasa kantuk.



Memaksakan tidur hanya bisa membuat pening ketika bangun setelahnya. Mungkin menggemakan sedikit musikal halus akan membuat tenang perasaan, Lisa beranjak dari tempat tidur hanya untuk menyalakan lagu pengantar tidur dari stereo musik. Lantas kembali berbaring untuk coba nikmati alun nada, yang membuat ia terbawa suasana, mata seketika menutup begitu saja, membiarkan lagu itu terus memutar sampai tidurnya.


"Maafkan Appa, harus membuatmu seperti ini." Tangan besar itu menggapai kepalanya yang kecil, suara bassnya terdengar lebih halus, hampir merintih. Ada titik air mata di mata tuanya, memandang Lisa penuh iba. Rasa bersalah begitu merayap hingga ke jiwa.



Jika saja ia punya kekuatan lebih, ia bisa menyelamatkan keduanya. Tapi apalah ketika tubuh tua telah meronta, tak kuasa lagi untuk tetap bertahan pada luka kaki yang menganga, mata tak bisa lihat leluasa, musim dingin mematikan, dan untuk menambah rasa sakitnya, ia mesti tetap menggendong Lisa sepanjang perjalanan karena luka anak gadisnya lebih buruk dari yang ia rasakan.



Tapi setidaknya ia telah sampai disini. Perjalanan di ujung pandang ketika satu peluru menembus satu dadanya. Menjatuhkan Lisa dengan sakit yang dipendam pada deras air mata. Ia menyerah tepat pada waktunya. Tempat yang semestinya.



"APPA!" Lisa kecil meraung, suara tangisnya menggema, merobek hening suasana malam. Tangan mungilnya menggapai tubuh sang Ayah yang kini terbaring tak berdaya.

Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang