Let's Go...

4.4K 455 117
                                    

Chapter ini aman.. aku tulis kayak kejar tayang karna abis ini aku gak megang hp sampe hari sabtu sore.. pendek tapi lumayan..
Happy reading dan sampe ketemu di hari sabtu yah 😄😄

Ps: dengerin lagunya, bagus!












Lisa tak berharap sendiri, membuka mata tak ada hati, apalagi sepi. Namun memang pandang tak hianati, bangun dari tidur lantas dapati samping sudah tak ada lagi. Rosie telah pergi, entah sejak kapan. Oleh sebab itu ia hanya menghela napas sedih. Membangunkan diri tanpa pendamping. Melangkah keluar dari tempat tidur dengan rambut berdiri, tubuh setengah telanjang, serta telapak kaki terasa dingin saat sentuh lantai. Duduk menatapi keadaan, ruang kamar yang serasa aroma dia sejak malam.

Mungkin inilah rasanya menyewa perempuan jelita yang bisa pikat hati siapa saja dan tak sangka ia akan terjerat olehnya. Selain mendapati perasaan hampa, Lisa juga tak mendapat apa-apa selain kepuasan hasrat dahaga. Oh, mungkin uangnya kini telah diambil olehnya, sebab Rosie pergi tanpa pamit. Lisa tak berniat lihat laci sana, di mana ia simpan uang lebih dari cukup untuknya. Namun pandang teralihkan oleh sebuah pemandangan, secarik kertas putih buah coret tulisan. Tangan segera meraih untuk cepat membaca isian. Berisi nama lahir Rosie, Park Chaeyoung, serta nomor telepon. Di sana juga ada sebuah cap kecup manis manja, bibir berlipstik merah serta kata menggoda, yang jujur saja, buat lisa senyum merekah.

Just know when you call, I'm at the end of the line, XOXO^^

Lisa tak lagi sungkan, ia beranjak kemudian. Senyum tertera pada muka menit kemudian. Berlari kecil ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak sabar menunggu hati. Setelah simpan nomornya di telepon dengan tanda api. Ia komat kamit dalam kamar mandi, senandung lagu yang tak pernah sangka bisa ia ungkapi.

I'll practice my patience
While you're getting wasted
'Til fate brings you home

Lisa bukan ahli goyang, apalagi dengan kaki pincang, namun entah tubuh membuat gerak seolah ia tengah kayang. Lisa terbang, hati berbunga tergambar sebuah kasih membuat benang. Terbayang wajah dengan mata menutup dan mulut berdendang. Lisa merasa senang.

When I'm kissing ya, grippin' ya thigh
I realized you are destined and meant to be mine

Selesai mandi bukan hanya badan segar, tapi pikiran juga bugar. Dan ia merasa tak sabar. Lisa memakai baju yang buat penampilan rupawan, menguar karisma seolah memang sudah pembawaan. Sweater kebesaran, kaos pendek serta celana jins longgar, tak lupa sepatu Adidas. Ia menyisir poni dengan kehati-hatian, sembunyikan dahi lebar layaknya lapangan. Tersenyum pada kaca saat cantik namun gagah terlihat dalam waktu bersamaan. Makhluk unik memang, ia tercipta dengan keanehan yang akhirnya telah ia rangkul dengan perasaan tenang. Tak ada lagi tegang serta ketakutan. Sebab perkataan Jennie benar, jika ia hanya butuh sebuah sentuhan, yang bisa patahkan sepi lama ia rasakan.

Ah, mengingat Jennie sontak buat tangan segera mencari ponsel, menghubungi si Kecil namun punya tingkah layaknya preman.

“Jennie-yah, kau ada di mana?”

“Bukankah aku lebih tua darimu, Lalisa?!” suara di seberang sana jelas galak, namun tak membuat Lisa menghentikan pertanyaan.

“Kenapa kau marah-marah di pagi hari begini? Apa kau bertengkar dengan Jisoo Unnie?” Mungkin Lisa hanya sedang punya mood baik, jadi hati tak ikut tersingkap amarah oleh respon tak sedap Jennie menjawab telepon.

“Kenapa kau bisa menebaknya dengan benar?” Jennie menghela napas, ia tak ingin lanjut bicara dan hanya akan selesaikan masalah. Namun yang ada dirinya melihat Jisoo keluar dari rumah, entah ingin pergi kemana, dengan tas besar yang di bawa. Gadis itu sepertinya akan kabur dari penangkaran miliknya. “Jisoo-yah!”

“Yah! Kim Jennie?!” belum tuntas bicara tapi Jennie dengan tegas mematikan telepon dengan sengaja, membuat ia terpaksa pasrah sambil geleng kepala. Sebab tebakan tentang pertengkaran memang benar, ia hanya tinggal melihat kedua pasangan itu kembali bermesraan di atas sofa miliknya esok hari kemudian. Bercinta setelah berdebat sangatlah menyenangkan, itulah yang akan keluar dari mulut Jennie, seperti kejadian sebelumnya.

Jika Jennie tak bisa menemani dirinya menemui Yuri untuk menanyakan alamat Rosie, Oh, Chaeyoung, Chaeyoung maksudnya. Maka ia lebih baik berterus terang, bahwa ia bukan akan basa-basi meminta ditemani, ia hanya ingin menemui hati yang bisa usir sepi.

Jadi dengan tangan yang ikut gugup menekan, meletakkan ponsel dekat telinga untuk menunggu tak sabar. Sambungan bunyi tak terjawab hingga ketukan suara datang, menggetar hati yang ikut guncangkan suara tenggorokan.

“Halo?”

Teduh, Lisa ingin mendengar sekali lagi, tapi ia tak bisa diam hanya untuk mendengarkan atau ia akan dapat sebuah tutup telepon sebagai penolakan, ketika ia bahkan belum katakan tujuan.

“Chaeyoung?” Semoga suaranya tidak terdengar seperti orang pesakitan, atau parahnya orang putus asa mencari alasan.

Hey, Keren.” Ada tawa kecil di ujung sana, yang buat Lisa langsung merasa lega, gugup tak lagi merayap jiwa, atau hanya bisa sekedar menerka. Ia kini bisa dengar jelas suara di seberang sana adalah orang yang ia ... puja.

“Kau sibuk?”

“Aku tidak sibuk? Kenapa? Kau akan membawaku pergi?” Chaeyoung berkelakar, setengah serius setengah bercanda, sebab ia tak ingin dikasih hampa, harapan yang tak sampai di depan mata. Jadi ia lebih baik bermain aman padanya, pada Lisa.

“Ayo, pergi kalau begitu.”

Chaeyoung baru saja akan tertawa ada apa dengan gerangan, namun mencerna kalimat terlontar, akhirnya kata telah tergantikan dengan, “Apa?”

“Ayo, pergi denganku, berkencan hari ini.”



Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang