Huahahaha...Jennie tak hentinya tertawa, wanita itu bahkan roboh dari tempat duduknya. Sambil memegang perut ia coba menahan segala kelucuan yang telah Lisa ceritakan.
“Jangan tertawa! Kau tahu bahwa rumahku menyimpan Bazooka, kan?!” Lisa melotot, tangan bersidekap di hadapan Jennie yang sepertinya siap mengatai dirinya.
“Wow, wow, sabar dulu.” Jennie mengangkat tangan ke udara, tanda menyerah. Ia usap titik air mata, bibir masih senyum merekah. Menahan segala gelak tawa. “Kau jangan menyalahkanku Lisa-yah. Kau sendiri yang membuat jebakan kecoa di tempat tidurmu. Pfft.” Jennie menutup mulut dengan kedua tangan. Ia tak tahan ingin kembali tergelak. Namun tatapan Lisa kelihatan galak.
Memang, jangan salahkan Jennie. Yang memasang kecoa plastik di langit-langit kamar Lisa adalah sang empu sendiri. Jebakan yang dibuat dengan sengaja untuk membuat Jennie mengurungkan niat tidur di kamar pribadi milik Lisa tiap kali wanita itu butuh tumpangan tidur.
“Temani aku ke Club. Aku ingin menemui Rosie.” Lisa lebih terdengar memerintah ketimbang meminta. Intonasinya tegas meski wajah layaknya anak ayam.
“Jisoo dan aku sudah janjian akan berkencan malam ini. Jadi kau sendirian saja.” Jennie mengibas tangan di udara, menolak tanpa basa-basi. Lantas pantat segera bangun dari nyaman duduk di sofa. “Aku pergi dulu.” Jennie menepuk bahu Lisa yang masih terasa kaku, untuk meninggalkan sepupunya yang pasang mata lebar menatapi dirinya keluar rumah.
“Sial,” Lisa mengumpat, pandang buang ke bawah dengan keluar napas naga. Sebab ia pemalu, mana berani datang menemui wanita sendirian. Apalagi ini bukan wanita biasa. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak ingin rasa gantung ini terasa menghantui.
Jadi Lisa bergegas, mengambil jaket kebesaran untuk menutupi tubuh kurusnya. Jalan tertatih menuju lemari di surut ruang tamu, mengambil satu tongkat dari lima yang di pajang, memilih ujung pegangan seperti payung.
~~¤~~
Suara diskotik menderam, mendengung telinga, kelap-kelip lampunya menyilaukan mata. Tiap gelas di atas meja bisa memabukkan siapa saja. Tapi bukan hiburan bising yang Lisa cari, selain Rosie, tak ada lagi.
Dengan pandang kesana-kemari, Lisa berjalan tertatih, suara ketukan tongkatnya kalah dengan situasi. Menjaga jarak dengan orang-orang setengah mabuk adalah keharusan, jadi Lisa berjalan sambil menjaga jarak. Pandangan tertuju ke atas panggung sana setelah menemukan apa yang ia cari, Rosie.
Lisa hampir saja berlari, menatapi Rosie yang menari seksi di atas tiang sana membuat sesuatu muncul dalam dirinya, rasa tidak suka. Ia coba melangkah cepat, terpaksa menyenggol sana-sini demi lebih dekat. Namun saat ia berjarak selangkah, Lisa hanya bisa menelan ludah. Tangan gemetaran seketika, serta panas keluar seolah ruangan ini baru saja dimasukkan matahari.
Rosie mengerling saat ia melihat Lisa di bawah sana, ia goyangkan bokongnya melewati wajah Lisa. Lantas harus tahan tawa ketika wajah bodoh itu melongo dan hampir saja mimisan ketika tatap dirinya. Ia suka, Lisa polos dan mudah digoda. Jadi ia hanya akan merayu wanita keren itu sampai Lisa merasa tak tahan.
Rosie meliukkan badan, menggoyangkan pinggul serta mengibas rambut panjangnya. Ia berpegang pada tiang untuk kembali beraksi, memutar hingga tubuh setengah di udara. Lantas menapak kembali dengan niat meloncati tubuh Lisa, tapi ada saja halangan. Seorang pria dengan banyak uang lembaran di tangan menahan, menggesekkan tubuh berkeringat dan terlihat jarang olahraga itu pada Rosie. Mencoba mencuri perhatian si penari paling cantik dan seksi. Lelaki dengan wajah cabi itu hampir saja meraba buah dada, namun gertakan sebuah tongkat melempar keras tangan nakal itu mendekat.
“Jangan sentuh dia!” Lisa menggertak, mendorong lelaki itu hingga jatuh terjungkal sebelum bisa membela diri.
“Hei!” Si pria sudah bermuka merah, setengah mabuk dan sudah penuh amarah. Siapa terima dipermalukan seperti ini oleh wanita pincang. Ia dengan gaya sangar siap mencakar, namun lagi-lagi tongkat ujung besinya memukul tangan, sontak ia merasa kesakitan.
“Jangan coba-coba mendekat apalagi macam-macam dengan gadis itu.” Lisa menarik kerah kemeja putih sang pria, menatap dengan wajah datar, tongkat siap beraksi kapan saja jika lelaki itu mengajaknya bergulat.
“Memang siapa dirimu?!” Si pria mencoba memegang tongkat Lisa, karena kekuatan perempuan kurus itu hanya pada tongkatnya. Namun tak sangka ia malah mendapat bogem mentah, perutnya di pukul hingga ia sesak napas, minuman yang diminun hampir saja keluar kembali, dan tubuh otomatis ambruk ke lantai.
“Rosie, aku menginginkanmu.” Lisa berujar, menatap Rosie yang hanya balas dengan tatapan nanar, ia harus akhiri semua pasang mata menyaksikan acara drama gulat ini. Jadi Lisa melangkah keluar dari situasi, melangkah secepat yang ia bisa dengan Rosie membuntuti.
“Lisa-yah!” Yuri menepuk bahu Lisa saat wanita itu melangkah cepat melewati dirinya, ia ingin bertanya apa yang baru saja terjadi. Namun melihat Rosie berjalan mengikuti Lisa pergi mengurungkan niatnya menghalangi, jadi ia biarkan keduanya keluar dari Club. Ia akan membereskan masalah ini dengan mudah.
“Lisa-ssi!” Rosie tidak sangka jika Lisa bisa berjalan secepat ini, tidak seperti kemarin. Langkah wanita itu kini kelihatan lebih tegas, serta tidak terlihat seperti seseorang yang tengah kesakitan ketika melangkah.
“Aku menginginkanmu lagi.” Lisa berbalik badan, wajah datarnya langsung luntur ketika menyaksikan Rosie bertelanjang kaki, pakaian minim, serta udara luar ruangan yang menyapu dingin permukaan kulit.
“Aku belum ganti pakaian,” Rosie menjelaskan, ia memeluk tubuh sendiri ketika angin melewati dirinya.
“Maaf, aku seharusnya melihat-lihat lebih baik.” Lisa melepas jaket merahnya untuk dipakaikan pada Rosie, sementara melepas sepatu Nike kesayangan untuk ditawarkan dipakai.
“Kau tidak perlu membuka sepatumu, aku bisa masuk lagi ke Club dan mengambil pakaianku.” Perhatian Lisa bisa membuat dirinya besar rasa. Gawat, mana bisa ia suka pada hal lain lagi dari wanita keren ini.
“Pakailah,” Lisa memaksa, ia akan tetap menatap sampai Rosie mau memakai alas kaki, sementara kakinya yang kini telanjang itu harus terpampang begitu saja. Ia jelas mengabaikan keadaan fisik sebenarnya. Memperlihatkan kerangka besi yang menempel pada telapak kaki.
“Ikut aku.” Lisa berbalik badan, melangkah dengan tongkat bantu. Membiarkan gadis itu hanya bisa menatapi kakinya yang berubah dari hari esok lalu.
Sejujurnya Rosie sangat penasaran, sejak kapan Lisa punya kaki buatan seperti itu? Seingat dirinya, otak pintar ini merekam kemarin malam jika kaki Lisa terlihat biasa, tidak tiba-tiba berbentuk seperti kaki Ironman seperti ini. Namun rasa ingin itu hanya bisa terpendam. Membiarkan kaki mengikuti Lisa hingga keduanya memasuki mobil BMW si wanita keren.
Dia ganti mobil. Jadi sekaya apa dia? Kenapa dengan kakinya? Dan kenapa dengan semua kebaikan ini? Apakah ia terlihat seperti wanita yang harus dikasihani?