"Apa ada cara yang kedua?" Lisa bertanya sambil mengacungkan tangan. Yang membuat Jennie tampak bungkam.
"Langkah yang kedua adalah mengikuti dari hasil pertama. Jika langkah pertama kau berhasil dapatkan perhatiannya, kau tinggal katakan cinta lalu ciumlah sepuasnya." Jennie melebarkan tangan sebagai penutup pembicaraan. Padahal waktu konsultasi baru berjalan sepuluh menit.
"Segitu saja?"
"Kau berharap aku akan bicara selama berjam-jam seperti melakukan konser sampai tenggorokanku kering?" Jennie mengangkat tangannya di udara, menghela napas penuh drama, untuk kemudian melempar spidol yang dipegang ke sofa begitu saja. Gadis itu kadangkala berbuat sesuka hati, seperti saat ini. Ia mengabaikan Lisa yang masih pasang muka penuh tanya, sibuk melayani diri sendiri dengan memakan apa saja yang enak dalam kulkas Lisa.
Meski hidupnya lebih banyak dihabiskan di rumah, tidak pengalaman dalam hal romansa, apalagi bercinta. Tapi otaknya tidak bisa ditelanjangi seperti yang Jennie lakukan saat ini. Jadi ia perlu informasi lebih, dari orang yang lebih paham tentang banyak perempuan, bukan hanya seorang. Karena jelas Jennie hanya ahli dalam menangani Jisoo, bukan yang lainnya. Dan hanya ada satu nama dalam pikiran; Kwon Yuri. Wanita korea dengan kulit rasa Thailand, entah apakah saat hamil ibunya overdosis berjemur di pantai hingga kulit anaknya berwarna kecoklatan, ataukah ibunya berselingkuh dengan orang vietnam, yang jelas Yuri tidak memiliki warna selayaknya kulit orang korea yang lebih berwarna terang seperti Jisoo dan Rosie.
Lisa sempat melirik kelakukan Jennie yang kini makan cantik di sofa dengan duduk seperti Boss kos-kosan. Menyilangkan kaki dengan lirikan mata tajam yang kelihatan galak, tapi aslinya hanya berhati seperti kapas. Sedikit luka saja bisa membuatnya menangis, seperti luka hati misalnya.
"Apa aku harus menemuinya sekarang?" Lisa mengambil duduk di sebelah Jennie, menatap pipi gadis itu mengunyah seperti memakan bola bisbol.
"Rosie?" Jennie menarik salah satu alis, menahan mengunyah hingga sebelah pipi menggembul.
"A-aku ..." Lisa belum beritahu siapa gerangan yang tengah ia sukai saat ini, tapi Jennie langsung menyebut nama seperti menyebut ibu tiri. Ia sedikit terkejut, namun ekspresi muka datar berhasil naik ke permukaan. Menutupi keterkejutan.
"Kau jangan terlalu putus asa, Lisa-yah. Kau harus mainkan semua ini dengan santai."
"Terakhir kali aku bersikap santai pada seseorang yang aku sukai; mereka menganggapnya sikap tak peduli." Masa bodoh dengan si kerdil nun pipi roti Jennie. Lisa akan ikuti apa kata hati. Jadi ia putuskan untuk melawan diri, segera beranjak dari tempatnya berada. Naik ke atas kamar untuk mengganti pakaian serba kebesaran ala gelandangannya.
"Lisa-yah!" Jennie berteriak pun tak didengar, kenapa tiba-tiba ia merasa cemas dan gemetar. Kelakuan Lisa membuat ia jadi lemah. "Lalisa Manobal! Kau jangan mengalahkan aku sebagai ahli Romance! Bersikaplah seperti Lisa yang biasanya!"
"JANGAN MEMANGGILKU MANOBAL DASAR KAU PIPI SIN CHAN!"
Teriakan membahana yang sekaligus bikin seram Lisa membuat Jennie bungkam, menutup mulutnya barangkali saja Lisa menembakkan Bazooka miliknya itu tepat ke permukaan wajahnya yang Indah.
"Sejak kapan dia jadi galak begitu? Apakah jatuh cinta bisa mengubah sebegitu cepatnya sifat seseorang?" Jennie bergumam, masih menutup mulut dengan kedua tangan. Mata juga setia mengintip ke atas tangga,
~~*~~
Aroma milkshake miliknya kalah dengan aroma kopi yang menguar ke seluruh ruangan, sedikit remang, lampu kuning membuat pencahayaan tempat ini cukup sensual. Mengingatkan ia pada dia, yang akhir-akhir ini membuat Lisa berada pada pikiran kalut merindu.