Lisa mengirup udara, antara ingin tersedak air ataukah sesak di dada. Ia merasakan keduanya. Untuk sesaat ia hilangkan segala sesuatu, yang buat akalnya buta sebab murka-lantas saat buka mata, adanya Rosie dengan senyum pemikat perubah suasana terasa seperti ketenangan. Ia tak takut, tak sedih, tak marah ataupun perasaan lain yang membuatnya merasa disudut paling kecil di muka bumi. Malah merasa begitu luas, pikirannya meringan dan yang ia inginkan hanyalah berlama-lama bersama wanita ini.
Lisa tersenyum lembut, masih menatap wajahnya yang dihujani air mengalir deras dari atas kedua tubuh. Ia letakkan perlahan telapak tangan pada pinggangnya, mendorong maju hanya untuk meraih bibir basah itu.
Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya mencium gadis ini. Lisa akan katakan, kau takkan cukup hanya mencium, sebab apa? Yang lain akan disayangkan.Ciumanmu tak sekedar cuman kecupan, menempel di bibir, atau berubah lumatan karena perasaan-berupa emosi dan keinginan, bercampur jadi satu.
Tak akan, hanya dengan menciumnya lalu cukup, sebab kemudian, hatinya membara. Pasti menyusuri ke dalam rongga mulutnya, karena Lisa tahu, hal itu bisa buat Rosie kewalahan dengan ditutupi sebuah senyuman.
Lalu apa? Apakah cukup? Tidak, sungguh itu tidak cukup. Makanya Lisa menurunkan bibir, menyusuri selaras leher ke bawah, sebab ia tahu, seluncuran desah halus akan terdengar mulai dari sini. Ketika ia mengecap kulitnya, menjilati permukaan bersamaan dengan air hangat mengaliri.
Lisa malah jadi makin terpancing, sebab desahnya jelas mengundang awal dari keinginan lebih; lebih dari mencium, dari menyusuri lidah, dari memeluknya erat, atau kembali menciumnya secara tergesa.
Seolah kemat, keinginan itu makin maju, makin berani tampakkan diri. Hingga tahu-tahu saja kau mengangkat salah satu kakinya, mendorong gadis menawan itu dengan pelan terpojok ke tembok-dan kau tahu kelanjutan itu terus ada.
Perasaan ini, gemuruh dada itu, dan tatapannya. Sangat sempurna. Segalanya begitu sempurna. Hingga tak perlu lagi banyak alasan. Lisa masuk, dan yang dilihat adalah pemandangan candu. Desah yang kabur dari mulut menganga malah akan buatnya makin bergerak senang.
Senang, bukan ... sepertinya bukan hanya senang. Namun bahagia, iya, dia begitu bahagia. Sampai-sampai Lisa ikut menggeram dalam gerakan emosi tubuh. Sambil memeluk ketelanjangan seksinya, Lisa tahu bahwa bercinta dengan Rosie, tidak cukup hanya dengan sekali.
Jadi ia membalikkan sang gadis, meremas dari belakang payudara bulatnya. Sambil kembali memasuki area yang membuat ketagihan dibawah sana.
Lalu apakah Lisa merasa cukup? Bahkan setelah ia menggeram keras dua kali dalam kenikmatan. Lisa tidak merasa cukup, apalagi gadis itu sama gemas, sama-sama merasa bahwa percintaan ini sangatlah surgawi. Yang kau tidak akan mau untuk berhenti, ataupun menjeda hanya untuk mengambil napas.
Sampai ketika keduanya sadar, bahwa lembab air, tubuh basah, dan mancurnya shower sangatlah mengganggu suasana. Sudah basah, lama-lama jadi lembab dan dingin.
Jadi Lisa menjeda hanya untuk mematikan air kamar mandi, melingkar keduanya dalam satu handuk besar-sambil terus mencium sebab ia masih ingin lagi.Lagi ... Dan lagi.
"I love you." Lisa katakan, menatap matanya tanpa berkedip. Dengan penyatuan sempurna di atas ranjang kehangatan. Ia perlu katakan ini biar Rosie tahu, bahwa tubuh, hati serta pikirannya. Menyatu hanya untuk dia. Seorang saja.
Tapi Rosie tersenyum lembut dan mencium bibir seolah ia terlalu malu untuk katakan, ataupun tak perlu menjawab. Sebab menciumnya adalah sebuah kejelasan.
Namun Lisa tak menginginkan hanya sebuah percintaan di atas ranjang belaka. Atau segala kenikmatan yang diberikan wanita itu padanya. Ia tak ingin cuman berharap saja, karena semua kesenangan ini-dan segalanya tentang dia. Ia sempurna. Maka ia ingin lagi katakan lebih jelas,
"Chaeyoung-ah ... " Lisa menarik napas panjang, entah ketika Rosie telah berada di atas tubuhnya untuk memegang kendali, ataukah saat ia melihat betapa menawan wajah, seksi bahu serta ekspresi candu itu. Lisa hanya mengagumi, semua lukisan indah ini. Tapi keinginan itu menyadarkan agar tak terlena lalu ia akan melupakan yang harus dikatakan. Jadi lagi-lagi ia mantapkan hati. Memegang pinggang wanita yang tengah bergerak mengalun lembut, serta wajah memejam yang menahan entah perasaan apa. Lisa tak tahu pejaman mata itu, begitu juga gigitan bibirnya yang merapat erat tak ingin keluarkan suara yang mungkin saja bisa bangunkan seluruh tetangga.
"Menikahlah denganku." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Seolah kata tak bisa ditolak, dan keinginan harus diterima. Lisa katakan dengan jelas, sebab wanita itu segera hentikan segala gerak dan pejaman mata hanya untuk menatap wajahnya.
"Chaeyoung-ah, menikahkah denganku." Barangkali saja gadis itu perlu dengar ulang. Agar ia tak merasa salah dengar, ataupun Lisa sedang ngawur belaka.
Rosie tak tahu, tidak, ia tahu. Ia tahu bahwa ini akan terjadi. Tapi tak secepat yang dia pikir. Wanita itu sempurna; kaya lagi sehat, baik lagi tulus, polos lagi lucu. Lisa, sangatlah tipenya. Namun ini ... Ini sepertinya terlalu tinggi untuk ia ambil.
Jadi ia hanya menatap lama, cukup lama sampai ubun-ubun kenikmatan di kepalanya mereda begitu saja. Melupakan bahwa kedua tubuh tengah bersatu dalam kepanasan dahaga.
"Chaeyoung-ah ..." Tidak, semoga tatapan itu bukanlah keraguan. Semoga ekspresi itu bukanlah sebuah penolakan, ataupun diamnya memang ketidakinginan. Ia memohon jangan menolaknya, Lisa terlalu putus asa sampai wajahnya mengeluarkan aura kemalangan.
"Kenapa kau bertanya saat kita sedang bercinta, itu tidak adil ..." Rosie mendekap tubuh kurus itu. Memejam dan menghirup aroma rambutnya yang wangi. Dalam hati ia juga menginginkan ini, tapi pikiran terlalu banyak bicara-menyimpulkan bahwa keputusan mau menikah dengannya tidaklah mudah. "Karena, sama saja kau seperti memeras anak yang tengah tak berdaya."
Rosie menangkup wajah Lisa yang begitu kecil, menatap mata dengan bola yang tengah bergerak-gerak gelisah. "Kau ... Tidak bisa mengajakku menikah saat kita berada ditengah-tengah bercinta. Say it in a proper way, in a right place."
Rosie hanya membungkam mulut Lisa dengan mulutnya. Menyulut lagi panas dahaga. Menggerakkan pinggang secara menggebu. Memejam dengan pikiran menyala.
Tuhan, jika boleh, Lisa memang untukku saja.
Maap guys, lama ya? Kaciannnn😝😝😝 ulululuuuuu nangis ajaaaaaaaa wekkkkk😝😝😝