Lisa sebetulnya tidak suka berada di sini, apalagi meminum minuman keras seperti ini. Tapi Jennie selalu saja menyeretnya datang ke club hanya untuk melepas penat sementara ia akan selalu berada di sofa ujung ruangan, sendirian dan tak ingin diganggu. Mungkin inilah alasannya, antara ia yang menjadi pribadi sulit didekati, tapi ia juga punya rahasia yang dipastikan sulit orang lain terima.
“Jadi aku hanya menemanimu minum?”
Lisa tergelak, melempar pandang pada wanita sebelah, entah sejak kapan wanita cantik itu berada di situ. Duduk bersilang kaki memandang ke arahnya, dengan kemeja dua kancing terbuka serta rok mini yang menampakkan indah kaki jenjangnya.
“A-aku,” ia biasanya akan menolak tegas sembarang wanita datang, namun tatapan wanita itu sedikit membuatnya merinding. Baru pertama kali Lisa dibuat terintimidasi seperti ini, lebih dari pandang mata Jennie saat hendak keluarkan amarah.
“Sebenarnya jam kerjaku sudah habis, tapi Yuri Unnie mengatakan bahwa kau akan membayarku lebih untuk menemanimu, benarkah?” Wanita itu menuangkan Jack Daniels dalam gelas kecil, sebelum memberi senyum menyeringai pada Lisa. Lantas datang mendekat, dan tanpa perlu basa-basi, ia duduk di pangkuan wanita yang sedang tampak kaget serta bingung pada tampang wajah.
“Tidak perlu kaku seperti itu.” Sang wanita mengerling, untuk kemudian meneguk minum sekali habis. “Karena kau wanita, jadi aku tidak keberatan jika kau berani membayar untuk membawaku pulang bersamamu malam ini.”
Lisa meneguk lidah, tenggorokannya tiba-tiba kering. Jujur saja, ia tak pernah merasa didekati perempuan seperti ini, agresif dan terang-terangan, ia bahkan tak berani melakukan apa-apa ketika ada kencan buta, alasannya sudah jelas, ia tak peka dan mengerti soal suatu hubungan.
“Berapa yang kau mau?” Lisa memberanikan diri, lagipula hanya gadis bayaran, mungkin dengan ini, ia akan belajar bagaimana memuaskan pasangan.
“Sepuluh kali lipat gajiku bulan ini? Otte?”
“Deal.” Lisa tak bisa senyum, ia hanya menatapi gadis cantik dalam pangkuannya itu merasa puas dengan persetujuan yang dibuat. Namun entah kenapa, jantungnya terasa sesak, berdebar, juga merasa cemas dalam waktu bersamaan.
“Baiklah, harus bagaimana aku memanggilmu, Nona Keren?” Sejujurnya, tingkah diam wanita ini sungguh membuat aura seksi menguar. Jangan lupakan style pakaiannya, dia jelas memiliki selera tinggi dalam berpakaian, lihat saja bagaimana dia memakai jeans kebesaran pada kaki panjangnya, jaket denim, serta kaos longgar tipis itu.
“Lisa, namaku Lisa.” Sentuhan jemarinya pada wajah membuat bulu kuduk berdiri, lihat betapa lihai perempuan ini menggoda. Lisa seolah tenggelam begitu saja dalam tatapan dan senyum manis itu, belum lagi bahasa tubuhnya yang luar biasa membuat terlena. Mungkin seperti inilah para ‘gadis bayaran’ melakukan keahliannya; menggoda, merayu, lantas mendapat uang.
“Apa itu nama aslimu?” Dirinya hanya mendapat anggukan kecil tanpa ekspresi, yang membuat entah kenapa tawa kecil itu keluar dari mulutnya. “Rosie, panggil aku Rosie.”
“Aku akan membawamu sekarang jika tidak keberatan, karena aku tidak bisa berada pada tempat kebisingan terlalu lama.” Lisa itu makhluk pengecut, segalanya bukan ia yang mulai, namun datang darimana perubahan itu. Ia menyentuh setengah paha Rosie yang terbuka, seolah siap menggendongnya keluar tempat ini kapan saja. Namun kenyataan yang ada, ia hanya bisa menyuruh perempuan itu turun dari pangkuannya.
“Kakiku sedikit sakit, jatuh dari kamar mandi.” Lisa beralasan. Ia mengambil tongkat kecil yang selama ini diletakkan dibelakang sofa yang diduduki. Tangan mengepal pada kepala tongkat, menggenggamnya erat, lantas meluruskan kaki hingga ia berdiri, berjalan sedikit tertatih menduhului.
Sementara Rosie mengekori, menatap punggung bidang itu dengan tanda tanya. Tapi kemudian tatapan turun ke bawah, pada cara Lisa melangkah. Jelas cara jalan tertatih itu bukan pura-pura, ataupun kesakitan akhibat dari jatuh kemarin di kamar mandi, tapi lebih pada jatuh yang telah terjadi menahun. Siapapun bisa menebak, terlebih dengan tongkat yang seolah telah khusus dibuat.
“Kau menyetir sendiri?” Rosie bertanya setelah mereka berada di parkiran, tepat di depan mobil Mercedes Benz wanita itu.
“Yeah, aku punya SIM.” Lisa menekan tombol kunci mobil, membukakan pintu untuk Rosie. Sementara ia segera berjalan tertatih, memutar mobil masuk menyusul.
“Kau tidak merasa sedang mabuk, bukan?” Rosie sungguh tidak setuju jika sang empu menyetir dalam keadaan mabuk. Sebab kejadian seperti ini telah terjadi padanya tahun lalu, di mana lelaki yang membayarnya memaksa diri menyetir dalam keadaan mabuk, lantas menabrak pembatas jalan hingga menjadi masalah.
“Aku hanya minum satu gelas, tenang saja. Aku tidak merasa mabuk sama sekali.” Lisa untuk pertama kalinya menuangkan senyum, menyamankan diri di kursi kemudi dengan seatbelt terpasang sempurna, untuk kemudian menyalakan mobil melaju. Keluar dari ruang parkir, pergi menjauh dari keramaian itu.
“Apa aku harus mengirimkan uangnya lewat Bank atau tunai?” Lisa bertanya, ia sebaiknya terus terang, agar transaksi sewa ini tidak berjalan canggung ataupun bermaksud menipu.
“Kau punya uang tunai?” Rosie menopang dagu, memiringkan badan dengan sengaja, untuk menatap bagaimana Lisa menyetir mobil dengan gaya kerennya. Jujur saja, ia tidak pernah melihat seorang lesbian sekeren ini. Aura misterius dan seksi akan membuat siapa saja terlena. Namun kenapa Lisa selalu tampak seperti orang kesepian? Kenapa pandangan mata itu sendu bagai dunia kelabu?
“Yeah, di rumah.” Lisa membelok arah mobil, melaju mulus mengitari jalanan Seoul yang tampak mulai sepi di tengah malam ini.
“Aku akan mengambil secara tunai kalau begitu.” Rosie penasaran sekaya apa wanita ini, pakaian dan segala kebersihan di dalam mobil ini seolah menampilkan karakter Lisa.
“Baiklah,” Lisa mengangguk menyetujui. Akhirnya bertemu dengan gerbang depan rumahnya, menekan tombol buka otomatis, lantas memasukkan mobilnya masuk garasi luas yang tampak masih bisa memuat dua mobil lainnya.
“Woah, rumahmu lumayan.” Rosie mengangguk takjub, mengintip dari jendela kaca, sekarang ia penasaran apa pekerjaan Lisa hingga hidup semewah ini. Apa dia mafia? Itukah alasan kenapa kakinya terlihat pincang? Karena bergulat dengan mafia lain?
“Ya, tempat yang aman. Tempat bersembunyi yang paling nyaman.” Lisa membuka pintu mobil duluan, diikuti Rosie yang ia lihat sudah tak sabar untuk memasuki rumahnya.
“Kau tinggal sendirian?” Rosie bertanya, menatapi jemari Lisa yang dengan lihai menekan tombol buka untuk pintu rumahnya.
“Sepertinya tampangku yang kesepian ini bisa menjawab pertanyaanmu.” Lisa membuat sedikit candaan, membuat tawa lembut itu keluar dari mulut Rosie.
“Aku awalnya berpikir kau akan membawaku ke hotel saja, bukan rumahmu seperti ini.” Rosie mengikuti langkah Lisa dari belakang, tatapan itu memutar mengitari situasi rumah yang bersih, seolah sang pemilik kerjaannya hanya membersihkan rumah saja.
“Aku tidak berpikir kesitu,” Lisa menggaruk kepala sambil tersenyum canggung. “Ini pertama kalinya aku menyewa seorang perempuan untuk menemaniku.” Ia mengetuk-ngetuk ujung tongkat yang di pegang ke lantai. Lisa benci sekali menampakkan bagaimana ia terlihat lemah dan tidak perkasa.
“Ah,” Rosie hanya tersenyum. Tidak menyangka jika Lisa ternyata sepolos ini, dari gaya keren dan aura karismatik yang ditampilkan dari luar, Lisa lebih kelihatan seperti lesbian yang meniduri banyak perempuan. Terlebih ia sebenarnya telah menyaksikan Jennie-Lisa datang ke club khusus gay beberapa kali.
“Duduklah dulu,” Lisa membentangkan tangan, menunjuk pada sofa empuk dengan televisi yang tak jauh dari mereka berdiri. “Aku akan buatkan minum untukmu.” Lisa tersenyum, sebelum ia berjalan melintasi Rosie yang tampak bingung.
Kenapa ia merasa sedang bertamu di rumah seseorang? Bukannya ‘gadis bayaran’ yang tengah siap melayani si pembayar.
“Aku tidak tahu apa kau suka jus mangga atau tidak, karena di kulkasku hanya ada jus mangga.” Lisa memberikan satu gelas lain di kedua tangan untuk Rosie, sementara perempuan itu tampak melamun namun pada akhirnya menerima minuman yang ia berikan.
“Ayo, duduk.” Mungkin Lisa harus mulai lebih dulu, maka ia duduk di sofa dengan hati-hati. Tersenyum canggung, sadar diri bahwa penampakkannya berjalan tanpa tongkat seperti ban mobil yang salah satunya pecah.
“Kau tidak perlu memberikanku minuman.” Rosie duduk di sebelah Lisa. Meletakkan jus mangga ke atas meja. Ia bahkan mengira bahwa Lisa akan menyiapkan wine mahal untuk diminum bersama, bukannya jus mangga ala-ala orang hidup sehat seperti ini.
“Oh,” Lisa tidak terbiasa menerima tamu, selain Jennie, tidak ada orang lain yang bertamu ke rumahnya selama beberapa tahun terakhir. Para gadis yang pernah kencan buta dengannya juga tak pernah dibawa ke rumah, selain ke tempat makan dan apartement mereka. “Apa kau lapar, kalau begitu?” Lisa mungkin bukan pemasak handal, tapi ia bisa membuat menu masakan ringan.
“Tidak, Lisa.” Sepertinya Lisa lebih polos dari yang baru ia tahu sekarang. Membayarnya hanya untuk menemani Lisa malam ini bisa menjadi pekerjaan terbaik yang pernah ia dapatkan. Ia yakin Lisa takkan berpikir untuk menidurinya, tapi kalau pun mau, mungkin ia akan meminta uang lebih untuk itu.