“Apa ini tidak terasa aneh?” Rosie membingkai wajah Lisa, lalu melirik ke arah potret kedua orang tua Lisa yang tengah tersenyum seolah memandangi keduanya yang saling bertindihan seperti tidak ada tempat lain untuk rebahan di atas kasur sebesar itu.
“Kau tidak nyaman?” Lisa pikir Rosie bertanya tentang posisi keduanya saat ini, tapi ia malah mengikuti arah pandang Rosie pada dinding ramai penuh semua foto kedua orang tua dan dirinya saat kecil.
“Aku merasa seolah sedang berusaha memperkosamu di kamar penuh memorial ini.” Rosie jadi tidak mood. Ia malah menggulir tubuh Lisa ke samping untuk di buat sebagai bantal kepalanya.
Lisa terkikik sejenak, melebarkan tangan lalu merengkuh tubuh Rosie lebih dekat. Ia selipkan satu tangan lainnya ke belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar yang tampak teduh dengan lukisan hutan beserta sungainya.
“Maaf, aku pikir tak masalah membawamu ke kamar ini.” Karena kamarnya telah di kuasai Jennie-Jisoo yang malah mulai bercinta setelah lelah berdebat. Jadi Lisa segera menggendong Rosie seperti karung beras di bahunya untuk segera keluar dari lokasi pembuatan adegan porno.
“Aku memang punya kamar tamu, tapi aku malah langsung membawamu kesini tanpa berpikir.”
Rosie memandangi langit-langit yang sama, menebak bagaimana selera Lisa dengan dekoran kamar ini.
“Mungkin itu pikiran instan, kamu merasa nyaman telah keluar masuk ke kamar ini ketimbang ke kamar tamu. Itu hanyalah tindakan otomatis karena telah terbiasa. Aku mengerti, Lisa-yah.” Ia melempar lengannya melewati seluruh tubuh Lisa untuk memeluk dari samping, menghidup aroma bunga yang menguar pada tubuh gadis ini. Sangat nyaman, terlepas dari tubuhnya yang kurus, Lisa ternyata peluk-able juga.“Sama seperti saat kau telah menggunakan cangkir yang sama selama bertahun-tahun meski ada cangkir lainnya.” Rosie menjulurkan telunjuk untuk menekan pipi gembul Lisa yang tampak timbul ketika ia mendongak untuk melihat wajahnya. Menggemaskan.
“Kau benar, karena aku hanya masuk ke kamarku dan kamar ini saja bukan kamar lainnya di rumah ini. Makanya aku langsung membawamu masuk kesini begitu saja. Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman.” Lisa menarik telunjuk Rosie lepas dari tekanannya menusuk pipi. Lantas menggigit sedikit untuk membuat gadis itu sedikit tersentak dan keluar tawa renyah yang hancurkan tenang ruangan.
“Mungkin kau harus mengenalkan aku pada orang tuamu ini agar aku tidak merasa takut terhadap kematian orang lain.” Rosie melirik mata bersamaan dengan Lisa meliriknya, yang membuat keduanya otomatis melempar senyum secara bersamaan.
“Baiklah,” Lisa mengangkat tubuh, membawa tubuh Rosie ikut bangun dengannya. Jari menunjuk pada foto kedua orang tuanya yang tersenyum manis pada foto besar berbingkai warna emas yang tergantung di dinding.
“Ayahku; Mark Manoban.” Lisa menatap pada senyum sang Ayah yang tampak mekar di foto, berjas hitam rapi, dengan kedua tangan merangkul bahu Ibunya yang duduk di kursi--memakai gaun lengan pendek dan bawahan yang menjuntai sampai ke lantai. “Dan ibuku; Elise Manoban.” Menyebut nama ibunya membuat hati terasa pilu. Sebab darisanalah semua di mulai. Satu tragedi dan diikuti tragedi lainnya.
Tolong jangan ingat, Lisa memantrai diri. Menutup mata untuk mengalihkan perhatian, melupakan lembaran cerita yang hendak menayangkan segala derita pada ingatan yang tersimpan nun jauh di sana.
“Dad, Mom, this is Rosie.” Lisa mengecup pipi penuh Rosie hingga gadis itu tersenyum dibuatnya. “I like her so much," Lisa menatap Rosie dengan senyum terukir. Lantas lanjut berkata sambil pandangan kembali pada foto kedua orang tuanya, "Dan aku tahu kalian pasti akan menyukainya juga. She's beautiful, independent person, brave and wonderful. She's amazing."