“Jangan terlalu menyambutku seperti tamu, aku hanya wanita bayaran yang menemanimu malam ini.” Rosie bergeser dekat hanya untuk kembali duduk di pangkuan, ekspresi kaget nan lucu itu kembali terulang, persis saat di club tadi. Woah, apa tidak pernah ada wanita yang dipangku olehmu?
“Kenapa kau terlihat tegang?” Rosie tersenyum dengan wajah mendekati, menatap selidik hingga membuat Lisa harus memundurkan wajah, wanita itu bahkan hampir buang muka karena tak kuasa bertatap muka begitu dekat dengannya.
“Aku harap sikapmu yang diam dan ingin sekali buang muka ini bukan karena jijik denganku.” Rosie kembali mengambil gelas berisi jus mangga dingin, tanpa berpikir untuk pindah dari pangkuan Lisa. Oh tidak, ia tidak akan melepaskan wanita polos ini.
“Anyea! Bu-bukan maksudku seperti itu.” Lisa berusaha tegakkan mata, pandang bertabrak namun yang ada muka malah memerah. Situasi berbahaya dan ia merasa tak biasa.
“Lalu?” Rosie bertanya, ia menunggu jawaban Lisa sambil meneguk pelan jusnya, lantas menjilat bibirnya dengan sengaja, membersihkan sisa manis itu berada di bibirnya. Ia takkan buang muka hanya karena tangan terulur ke belakang meletakkan kembali gelas jus yang jelas akan menganggu 'sesi menggodanya'.
“A-aku... “ Lisa jadi lupa ia akan menjawab apa, matanya malah fokus pada bibir merah itu bergerak, seolah pikirannya melayang hingga merekam kejadian seperti terjadi begitu perlahan.
“Kau tidak pernah dekat dengan wanita seperti ini?” Rosie memohon pertanyaan candaan ini hanya sekedar asal tebak saja, bukan sebuah kebenaran. Karena sumpah demi Tuhan di atas sana, Lisa begitu seksi dan ingin sekali ia goda.
“Ne-nde.” Lisa menunduk, malu mengakui. Seperti aib yang telah jatuh di depan mata. Apalah dia ini, lemah dan tak berdaya.
“Jadi, kau masih perawan?” Jika benar, berarti dirinya akan jadi yang pertama. Lebih baik ia bertanya lebih banyak sebelum wanita itu menyesali perbuataannya esok hari.
Pertanyaan itu lebih menohok dan berduri dari sebelumnya. Lisa menegangkan kedua rahang sebelum menjawab, “iya.”
“Kau tidak perlu serius seperti itu saat aku bertanya.” Rosie menangkup wajah Lisa, memberinya senyum hingga wajah seksi itu malah merah menyala dan jadi salah tingkah. “Aku hanya tidak ingin kau menyesal kemungkinan perbuatan kita di esok hari. Jadi aku bertanya demi meyakinkanmu.”
“Perbuatan ... apa?” Lisa menelan ludah, tak sanggup bertatap lama, namun pandang turun ke bawah malah mendapati bibir Rosie yang begitu menggoda. Layaknya sebuah kue velvet merah yang siap ia nikmati.
“Awh, kau jangan bersikap tidak tahu seperti itu. Tentu saja bercinta, sayang.” Rosie membuat langkah lebih dulu, mencium Lisa yang awalnya terlihat tegang-terkejut atas sikapnya, namun tetap membalas mencium serta menutup mata. Seolah Lisa memang mengharapkan ciuman singkat ini. “Kau terlalu tegang.” Rosie tersenyum sembari meletakkan kedua tangan di bahu Lisa, bersiap mengubah pangkuan miring itu demi duduk mengangkanginya.
“Maaf, aku memang amatiran.” Lisa mengakui, yang membuat Rosie menerbangkan tawa kecil ke udara. Membuat suasana hening itu terasa sebuah bunga.
“Ya, kau jelas begitu menampakkannya.” Rosie memandangi wajah Lisa sembari menggigit bibir. Struktur wajahnya bagai boneka, wanita itu, memiliki mata bulat bagai bulan purnama, bibir tebal bagai perahu terbang di tengah nirwana. Menggambarkan sebuah keindahan lukisan. Sejujurnya, Rosie begitu terpesona.
“Aku takut memulai, itulah sebabnya aku selalu kesulitan mendekati wanita.”
“Tak apa. Menjadi lesbian memang tidak mudah. Aku memang bekerja sebagai wanita bayaran, tapi aku juga seorang bisexual. Itulah mengapa aku menerima lelaki ataupun perempuan untuk menyewaku.”