Damn the Alcohol

2.4K 278 87
                                    

Hei, Mblo. Gimana kabarnya? Masih jomblokah di friday night ini?



“Apa semalam kita melakukan Threesome?!” Lisa berteriak, lupa ia sedang sakit kepala, yang justru suaranya itu sontak bangunkan Jennie dari tidurnya.

“Kenapa berisik sekali, seperti dikuburan saja.” Hanya sarkas, Jennie seperti biasa. Ia menguap sambil garuk-garuk perut mulusnya. Lalu menarik selimut, berniat lanjutkan tidur.

“Kim Jennie! Kita semalam tidak melakukan Threesome, kan?!” Lisa berteriak, setengah murka, setengah kecewa, karena ia hanya menginginkan Rosie untuk dirinya sendiri bukan dibagi-bagi seperti nasi bungkus gratisan, huaaa. Lisa mengguncang tubuh kecil Jennie dengan ratapan anak tiri.

“Kenapa sih, kalian?” muncul lagi suara wanita entah darimana, membuat Lisa segera lempar pandang ke segala arah, dan temukan pemiliknya di bawah tempat tidur sana, sama telanjangnya seperti mereka.

HUAAA, kenapa malah jadi foursome!!!


                            ~~*~~

“Jangan mewek Lisa, atau kurobek mulutmu.” Jennie mode-on telah kembali, abaikan rambut singa dan pakaian ala kadarnya. Ia tidak peduli, yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya menghadapi Jisoo nanti. Ia bahkan telah marah dan membentak sang mantan yang telah ia tiduri sembarang semalam untuk segera pergi memulangkan diri. Menghilang dari pandangannya saat ia bangun dari tidur.

Meski tingkahnya kelihatan kejam pada gadis cantik itu. Jangan salahkan Jennie, gadis itu memang telah berbuat keji dengan berselingkuh di belakang Jennie di masa lalu bersama seorang lelaki tua kaya raya, dan menghina Jennie yang sebenarnya hidup biasa saja, jika bukan dari kekayaan Lisa.

“Tapi melihatmu berjalan bolak-balik makin membuatku pusing, Jennie-yah.” Lisa masih menurunkan bibir, pasang ekspresi memelas seperti butuh uang receh untuk meluruskan bibir itu.

“Aku juga pusing, Lalisa! Aku tidak seharusnya bercinta dengan mantanku, huaa ...” Jennie ambruk ke lantai mencoba melukai diri sendiri, tapi baru lutut menghantam lantai sedikit saja ia malah sudah mewek melebihi Lisa. “Aku tadinya berpikir mau mati saja, tapi merasakan kerasnya lantai saja aku tidak kuat, huaa ...” Jennie berguling-guling di lantai kamar Lisa. Pasrah atau ia mati saja.

“Kalian benar-benar seperti bocah.” Chaeyoung menghela napas setelah menjadi penonton diantara keduanya. Ah tidak juga, ia sebenarnya telah mandi, sudah bersih mewangi, berkat sabun mandi si Tuan Rumah. Lalu baru saja mengambil duduk di sebelah Lisa, menyaksikan Lisa-Jennie yang juga tak menemukan solusi atas masalah yang telah diperbuat semalam.

“Hanya dia yang bocah,” Lisa menggeleng penuh penolakan disebut bocah oleh Rosie. “Aku orang dewasa yang mapan, bertanggung jawab, dan penuh cinta.” Maafkan ya, ia hanya berusaha menyatakan sebuah fakta.

“Kau sepertinya belum benar-benar sadar,” Rosie menggeleng kepala sambil membuka tas dan mengeluarkan sebuah botol berisi pil entah apa, untuk kemudian diberikan pada Lisa sebanyak dua butir ke telapak tangannya. “Minumlah, kau akan merasa lebih baik setelahnya.” Hangover memang menyakitkan, bagi yang sering apalagi yang jarang mabuk seperti Lisa.

“Terima kasih.” Lisa tersenyum lebar sebelum ia melahap dua butir entah itu racun atau obat penghilang sakit kepala, yang penting judulnya ia dapat sesuatu dari Rosie untuk diminum.

“Apa itu racun?!” Jennie menyergah, menangkap lengan Rosie yang hendak masukkan kembali botol itu ke dalam tas. Tak dapat menangkis cepat, Jennie lebih dulu mengambil untuk membuka lalu menghamburkan semua isinya masuk ke dalam mulut. Yang jelas membuat Rosie maupun Lisa membelalakkan mata, bangun dari duduk untuk bekerjasama.

Lisa memukul belakang kepala Jennie untuk memuntahkan pil, sementara Rosie menjagal kedua tangan gadis itu untuk menahannya mengamuk.

“YAH! Kim Jennie! Kau sudah gila!”

                           ~~*~~

“Apa dia mati?” Lisa menggigit jari, cemas terlihat pada ekspresi, dengan ragu ia julurkan ujung tongkatnya untuk menggoyang sisi kepala Jennie yang tergeletak di lantai seperti korban pembunuhan.

“Yah!” Rosie mendelik sambil berdecak. “Aku tidak ingin masuk penjara hanya karena alasan memegang tangannya sementara kau memukul belakang kepalanya sampai hampir patah.”

“Aku tidak tahu jika tanganku bisa memukul sekeras itu.” Lisa membela diri, sebab ia hanya berusaha mencegah Jennie menenggak sebotol aspirin. Tapi cegahan itu sepertinya akan tetap membuat Jennie mati. Oh tidak.

“Kau bisa berkelahi dengan lelaki di klub malam sebelumnya, seharusnya kau tahu seberapa kuat dirimu bukan langsung menghantam Jennie sampai tumbang seperti itu.”

“Jadi kita harus bagaimana? Apa menguburnya di belakang rumahku?”

Rosie kembali mendelik.

“Tentu saja dibawa ke dokter, bodoh.” Mendengus kesal, seakan kekerenan yang Lisa miliki telah musnah entah kemana. Ia baru tahu jika Lisa bisa menampilkan sisi seperti anak tidak pernah sekolah.

                           ~~*~~

“Berhenti menggerakkan kakimu, itu membuat lantai terasa bergetar.” Ujar Rosie, yang dengan setia duduk menemani di samping Lisa yang tampak gelisah sambil gigit jari. Padahal ia bisa saja meninggalkan kekacauan ini dan pergi dengan bebas seperti tingkah biasanya.

“Maaf,” Lisa menelan ludah, tak sengaja ikut menelan serpihan kuku telunjuk yang ia gerogoti. Tangannya ia taruh di atas tumit untuk menghentikan kakinya terus bergerak gelisah. Tapi tak semenit kemudian kaki itu kembali bergerak berirama, rasanya tidak nyaman jika menghentikannya.

“Apa aku merepotkanmu?” Lisa melempar wajah menatap Rosie yang sedari tadi sibuk bermain ponsel, bukan sedang chatting dengan berbagai macam lelaki, tapi main game cooking sesuatu seperti itu. Lihat jemari lentiknya dengan lihai menekan-nekan layar ponsel untuk membuat sebuah hidangan animasi.

“Aku sebenarnya tidak ingin menjadi ekor diantara kalian seperti sekarang,” Rosie menutup permainannya meski terasa sangat 'tanggung' untuk menyelesaikan satu hidangan sempurna. “Tapi karena Jennie belum membayar sewaku untuk melayanimu semalam. Jadi aku menunggu gadis itu untuk sadar lalu mempertanyakan maksudnya menyuruhku datang untuk menghiburmu yang sedang sedih menggunakan tubuhku ini dengan uang atau hal lain.”

“O-oh,” Lisa masih mencerna ungkapan Rosie yang terasa berserakan untuk dipahami, bukan hanya hangover itu masih terasa, tapi hati juga sedikit tercubit ketika ia tahu bahwa Rosie menganggap dirinya seperti pelanggan lain yang akan menikmati hasrat dan membayar tubuhnya.

“Aku akan membayarmu.” Lisa melempar pandang ke arah lain. Hindari kontak mata karena perasaan ini sungguh tidak nyaman, ketika nyaman dibalas oleh kecaman. “Jennie bekerja untukku. Dia selalu tahu aku banyak uang.” Lisa merogoh saku celananya, membuka dompet tebal itu untuk mengeluarkan seluruh uang kes yang ia bawa untuk diberikan pada Rosie yang terus saja menatapnya.

“Bagaimana jika bayaranku lebih dari uang?”

“Ka-kau ingin kartu kreditku?” Entahlah, Lisa selalu bicara terbata, hingga gerakan tubuh terasa gelisah jika hanya berada di dekat Rosie.

“Tidak,” Rosie menerima uang tebal itu untuk dimasukan ke dalam bra, menikmati Lisa yang melotot memerhatikannya. “Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa Jennie jadi bekerja denganmu sedangkan kamu saja tidak punya pekerjaan? Bukankah dia sepupumu? Dan darimana kekayaanmu berasal?” pengangguran Lisa memang perlu dipertanyakan, bukan?

“A-aku,” terlalu rumit, Lisa tak bisa menyimpulkan segala cerita yang ia punya menjadi sesederhana mungkin, tidak, karena tiap kejadian adalah poin penting.

“Apa kau gangster?”

“Tidak!”

“Pengedar? Menjual barang ilegal? Mencuri aset negara? Menipu miliuner?”

“Hei, aku tidak seperti itu.” Lisa hanya seorang pecundang yang kehilangan salah satu pergelangan kakinya ketika ia masih kecil. Bukan penjahat hasil dari dendaman masa lalu untuk menghasilkan sebuah kekayaan. Ia hanya, terlahir sebagai orang kaya.

“Lalu seperti apa dirimu, Lisa-ssi?”

“A-aku,” Lisa juga tak tahu, tak bisa menjawab sebab tak ada orang yang bertanya seperti itu padanya. Kehidupannya hanya dilewati bersama dengan beberapa orang saja, apalagi lawan ngobrolnya selama ini hanya sepupu yang tengah terbaring dengan gips di leher saat ini, si Jennie.

“Tidak perlu menjawab sekarang. Aku ingin mendengarnya saat kita makan malam nanti.”

“Apa?” Belum Lisa mencegah karena berharap ia tak salah dengar, lemparan kecup di pipi seolah memperjelas.

“Kau mendengarnya.” Rosie mengerling manja, beranjak dari tempat duduk sampai heels yang dipakai berdentang mengetuk lantai.

Bahkan cara berjalan Rosie saja memesona, bentuk tubuh dari belakangnya juga tak kalah menggoda. Wah, dia memang sesuatu bukan?


Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang