A Piece of Hug

1K 145 32
                                    

Lisa menyetir masih dengan emosi di dada. Tak takut bahkan ketika ia akan menabrak sesuatu lalu melukai tubuhnya. Biarkan, agar rasa sakit ini terpuaskan.

Karena emosi telah melepuh menjadi satu, menguasai seluruh pikiran hingga seolah, apa itu rasa takut? Yang ada hanya benci, marah, dan sakit. Jadi saat ini ia tak bisa merasakan kewarasan, selain akan kemana mobil ini berhenti tujuan. Entah. Lisa akan pasrah bahkan jika itu ke ujung jurang. Biar saja.

Fuck!” Ia memukul setir dengan amarah, wajahnya bahkan bergetar hebat, kulit telah bercampur antara keringat dingin dan air mata.
Lisa benci, benci sekali hingga jika saja punya kekuatan, ia ingin menerjang dunia hancur bersamanya. Tapi apa dikata, hayalan setan hanyalah sebuah emosi belaka.

Entah ia akan kemanakan pikiran benci ini agar tak meletup-letup bagai kembang api di tahun baru. Tolong, tolonglah, Lisa tak ingin menjadi sosok seperti ini. Tenggelam dalam murka hingga ia lupa bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Emosi itu wajar, asal jangan kurang ajar pada segala yang tengah berputar pada takdir yang berbeda.

Tapi tahu-tahu saja mobilnya berhenti. Iya, seperti berhenti begitu saja. Pada rumah familier yang entah, rasanya hanya dia yang mungkin bisa menjadi obat pelukan penenang.

Jadi masih dengan air mata yang saat ini sudah kering. Lisa keluar mobil masih dengan tatapan ke arah jendela kamarnya. Masih nyala, mungkin sang kekasih belum terlelap. Tapi kenapa seketika ia jadi ragu, ragu apakah tidak apa bertamu ditengah malam begini?
Lisa menggaruk kepalanya, emosi tadi kini entah hangus kemana. Tapi ia butuh seseorang, ia tidak ingin sendirian dalam masa seperti ini. Masa dimana kenyataan sangatlah pahit dan kau hanya akan termakan ke dalam lubang kesendirian. Jadi Lisa mesti maju, maju menaiki tangga kecil untuk langsung naik ke balkon mininya.


                          ~~#~~


Rosie baru saja mandi ketika selesai dengan sisa kerjaan yang ia rampungkan kembali di dalam kamarnya. Masih dengan rambut basah tertutupi lipatan handuk menutupi seluruh kepala. Ia duduk menghela napas di bibir ranjang. Helaan napas ketenangan. Wajahnya nampak seolah berkata--akhirnya.

Keramas sebelum tidur membuatnya merasa sedikit ringan, kepura-puraan rasanya hilang sejenak ketika ia telah berada dalam goa pribadinya. Disini, di kamar ini, Rosie bisa menjadi Chaeyoung sang Kakak Jie Eun yang biasa saja. Ia tidak harus bertingkah sebagai wanita penggoda, wanita dalam Club, atau di samping meja Bar dengan lipstik merah dan pakaian mini. Disini, ia menjadi wanita tanpa make-up, baju tidur terusan yang telah dipakai bertahun-tahun, dan tanpa embel-embel profesionalitasnya dalam sebuah pekerjaan.

Lega, tenang, dan ia tinggal tidur. Tidak lagi memikirkan Lisa, tunggu saja besok. Baru lanjut memikirkan wanita kurus yang menggemaskan itu. Wait? What? Menggemaskan. Apa ia baru saja berpendapat seperti itu? You kidding me.

No way, Lisa seperti yang lain. Ia tak boleh mencampurkan tugas kerja masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Tidak, tidak bisa—

Tok ... Tok ... Tokkk

Suara jendela terasa bergetar seolah seseorang dengan sengaja menabrakkan telapak tangan ke permukaan. Menghancurkan lamunan Chaeyoung yang otomatis tergelak menatap kemana suara arah itu berasal.

Barangkali angin malam, ia pikir begitu. Jadi mengabaikan dan langsung tidur tidak akan meninggalkannya dalam sebuah bencana. Iya, kan?

Ya, seperti pikiran imajinasi, jika awalnya angin itu dari menggertak kaca jendela dengan ringan, lalu malah datanglah angin besar yang ikut menyusul, topan melingkar, dan rumahnya ikut terbang ke dalam putaran kekuatan.

Tok ... Tok ... Tokkk ...

Tidak, kembali tergelak, Chaeyoung urung rebahan untuk kembali sadar dalam lamunan. Menatap jendela yang suaranya kini makin jelas. Jelas bahwa itu bukanlah suara dari hempasan angin yang tengah bertemu.

Tok ... Tok ... Tokkk

Okay, ini aneh. Ia memutuskan berdiri dengan melangkah secara hati-hati. Barangkali saja ada maling yang coba masuk dengan merusak jendela kamarnya, kan?

“Rosie.”

Tok ... Tokk

Oh, tidak. Chaeyoung mengenal suara itu.

“Rosie, tolong buka jendelamu. Ini aku, Lisa.”

Tidak! Oke ... Oke, Chaeyoung, kau tidak boleh panik. Tapi ia harus panik! Lisa tidak masuk ke kamarnya tanpa rencana begini! Mampuslah dirinya.
Jadi dengan tergesa-gesa. Ia menutup lukisan yang di baliknya terdapat banyak tempelan; foto tersangka, tempat, serta nama. Ia juga menyimpan semua foto kelulusan, teman, hingga keluarganya masuk ke dalam laci di dekat tempat tidur. Menutupnya rapat.

Dia tidak boleh lihat, sebab belum waktunya Lisa tahu, belum waktunya semua ini terungkap. Tidak bisa sampai ketahuan dengan mendadak seperti ini.

Ya ... Ya, sudah, sudah. Chaeyoung telah merasa menutup rapat kenyataan dalam kamarnya dengan baik. Hingga ia bisa membuka jendela lantas berpura-pura terkejut akan kehadirannya.

“Lisa? Sedang apa kau disini?”

Lisa segera mendorong jendela itu makin lebar untuk ia bisa masuk ke dalam. Tanpa bicara, wanita itu hanya ingin sebuah pelukan penenang, tanpa ingin jelaskan lagi situasinya saat ini. Ia ingin hilangkan segalanya barang sejenak saja.

“Kamu tak apa?” Rosie cukup terkejut dengan pelukan erat Lisa yang datang tiba-tiba, reflek ia meraih bahunya untuk membalas. Ketika detik berlanjut kesepersekian tanpa jawaban, ia memilih diam membiarkan Lisa memeluknya tanpa ingin kembali bertanya. Terlebih segukan yang tiba-tiba terdengar membuat dirinya makin keratkan kehangatan, mengelus punggungnya yang kini bergetar.

“Menangislah, tak apa.” Rasanya aneh, entah ikatan macam apa ini, tapi Rosie merasa tak mampu ketika melihat kesedihan Lisa dengan sedekat ini. Seolah hatinya ikut terenyuh, ikut merasakan entah kesedihan macam apa yang sedang wanita itu rasakan.

Cukup lama ... cukup lama Lisa memeluknya. Hingga ia mesti berpura-pura kuat menahan kaki tegak demi pelukan yang kian saat makin erat. Sampai tak ada lagi suara sedihpun, Lisa masih tak ingin melepas tubuhnya dalam lengan membentuk sangkar.

“Boleh aku lihat wajahmu?” Mungkin ini adalah cara yang baik agar Ia bisa bertanya lebih banyak, atau setidaknya agar mereka bisa duduk di pinggir kasur untuk membicarakan apa masalah gerangan. Jika tak ceritapun, setidaknya mereka tak akan terus berdiri di dekat jendela terbuka dengan angin yang hembuskan nafas menganga mengenai baju tipisnya.

“A—aku...” Lisa mengusap cepat sisa air mata kering itu sebelum Rosie bisa melihat wajahnya. Ia sedikit malu, entah dibagian apa. Apakah saat ia bertamu dengan tidak sopan, ataukah saat ia menangis dalam pelukan, entah yang mana. Mungkin keduanya. Jadi lebih baik ia bilang maaf.

“Maaf, menemuimu malam-malam seperti ini. Kamu pasti ingin istirahat.” Lisa tak bisa menatap gadis itu. Barangkali kesedihannya berubah jadi pikiran liar sebab bagaimana Rosie tampak bagai malaikat perawan. Ia sangat cantik, bahkan ketika tak ada polesan apapun di wajah.

“Tidak, justru aku ingin marah padamu.” Rosie tampakkan muka sedikit cemberut, mungkin saja bisa cairkan sedikit pilu padanya saat ini.

Lisa bingung, matanya mengitari seluruh wajah cantik itu dengan bertanya-tanya. “Kau marah padaku?” Apakah ini karma karena aku berteriak dan hampir menampar wajah Jennie. Tunggu, tentu saja tidak. Jelas tidak masuk akal. Jadi kenapa Rosie kesal padaku?

“Kau bilang akan menjemputku pulang kerja. Tapi aku terus menghubungimu bahkan ketika aku sudah sampai di rumah, tapi kau tetap tak menjawab satupun teleponku.” Rosie akhirnya meluapkan kekesalan tadi. Lega rasanya, tapi ia kurang marah. Jadi lanjut lagi bicara, “kau tahu, jika memang tak bisa pegangi janji jangan membuatku merasa menunggumu. Itu membuatku sakit hati, tahu.” Ia menonjok dada—hampir datar Lisa dengan telunjuknya.

“O ... Oh.” Lisa baru sadar. “Maaf.” Karena semua salahnya. Jadi yang lebih penting dari semua adalah meminta maaf terlebih dahulu sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya. “Aku tidak bermaksud mengangkat teleponmu, tapi aku sedang tidak membuka ponsel entah sejak kapan. Mungkin aku meninggalkannya di dalam mobil dan sibuk dengan hal lain makanya aku tidak tahu jika kamu menghubungiku. Maaf, ya.” Ia meraih dua lengan Rosie dengan tampang memelas. Ini jelas karena si pendek Jennie, jadi ia tak ingat apapun dengan ponselnya yang entah ada dimana. Di mobilkah? Kamar? Kamar yang mana? Sesungguhnya Lisa benar-benar lupa menaruhnya dimana.

“Aku maafkan, asalkan ... Kamu mau cerita kenapa datang ke kamarku dini hari begini.” Rosie bersidekap tangan, sedikit memiringkan leher untuk mengindimidasi Lisa. Mungkin saja wanita itu akan bercerita. Walau tak seberapa.

“A—aku,” Lisa menggaruk tengkuk, entahlah. Ia sebenarnya datang kesini untuk melupakan kemarahan. Jika cerita, artinya ia akan kembali mengingat lalu murka itu akan datang ke permukaan. Sesungguhnya ia tidak suka dengan emosi semacam itu.

Dilihat dari ekspresinya, Lisa masih enggan bicara. Jadi lebih baik ia mengganti topik. “Atau kau datang karena mau numpang mandi?”

“Nde?”

“Kau tahu, aku bisa mandi dua kali. Tak masalah bagiku.”




Kagak ade yg nyariin gue nihhhh?????? Bujugile ye kalian pade, shombongghhhh
Kalian tuh harusnya curiga kalo gue mau seminggu gak apdet lagi, katanya nungguin update tapi kagak tanya gue kemane🙁🙁 takut aja kan gue ngilangnya diculik🙁🙁





Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang