Because of Something

1.3K 173 50
                                    


Masih ada tiga puluh menit lagi untuk dirinya mulai kerja. Rosie melihat pada jam tangan tunjukkan pukul setengah empat. Ia seketika menghela napas. Melangkah menyusuri lorong lalu masuk ke ruang ganti karyawan. Jadi bartender tidak perlu pakaian seksi, biasa saja. Jadi ia akan melepas gaun cantik ini untuk menggantinya dengan kemeja putih dan skinny jeans. Ia juga tak perlu memakai heels maupun make-up tebal. Ah, ia rasanya jadi seperti gadis biasa kalo sesederhana ini.

Tapi nyatanya, Rosie tersenyum pada cermin besar yang terpajang di tengah ruangan. Perhatikan penampilan manusia biasanya.

“Kau tidak kerja?” seorang wanita masuk langsung bertanya, melihat Rosie yang tidak pakai pakaian seperti biasanya.

“Hello, Joy.” Rosie menyapa, melihat Joy, yang bekerja di Club ini cukup lama. Tengah memasukkan tas ke dalam loker lantas mendekat ke cermin untuk memoles kembali make-up yang dipakai. “Aku jadi bartender lagi mulai hari ini.”

“Oh, ya?” Joy melirik sekilas pada Rosie, menarik alis sejenak namun ia tahu dengan siapa ia berhadapan sekarang. “Mendadak sekali. Aku kira jadi pelayan para lelaki itu akan menaikkan pangkatmu.” Setahu Joy sih, seperti itu. Ia tidak banyak tahu tentang detail pekerjaan Rosie. Hanya sebagian besar intinya saja.

“Aku punya mangsa yang lebih besar.” Rosie berkedip pada gadis itu yang disenyumi Joy dengan tangan diletakkan di pinggang.

“Seperti Ayahmu?” Joy menebak. Bukankah telah lama Rosie seperti ini? Membuat segala kegilaan karena sang Ayah. Betapa gadis itu membenci dan ingin balas dendam sampai ke liang lahatnya sekalipun. “Karena aku baru saja melihat dia masuk kesini.”

“Apa?!”

Oh, ini info terbaru. Ia lupa cepat memberi tahu Rosie karena pikirannya sibuk dengan make-upnya yang belum sempurna. Tapi saat ia melihat Rosie tidak memakai gaun seksi dan mengatakan bahwa dia jadi bartender lagi. Ia mengira bahwa gadis itu mungkin sudah tahu. Namun melihat dari kaget ekspresi serta nada keras meninggi, Joy yakin kalau mangsa lebih besar yang dimaksud ternyata bukan sang Ayah.

“Apa dia masih disini?!” Rosie mencengkeram kedua lengan Joy hingga gadis itu sontak ketakutan. Melihat bagaimana mata menyala yang ditampakkan Rosie begitu berkobar kesana kemari.

“Aku pikir kau sudah tahu—“ belum lanjut bicara, tubuhnya sudah diguncang dengan suara Rosie yang makin kencang.

“Dia masih disini??”

“Iya, dia masih—“ belum lanjut Joy menjawab, Rosie segera melepas cengkeraman tangan pada kedua bahunya, melangkah membuka pintu dengan kasar, tampang tampak ingin membakar, dengan gertakan gigi yang siap mencakar.

“Rosie!” Yuri yang entah datang darimana, keluar melangkah tergesa dari salah satu sudut ruangan, wanita hitam-manis itu sampai hampir terpeleset karena licin sepatu bersaing dengan lantai yang mengkilap. Ia secepat mungkin menahan tubuh Rosie untuk kemanapun dia akan pergi, karena ia tahu. Apa sih yang tidak dia tahu di dalam Club miliknya ini? Everything's under her watching.

“Minggir kau coklat valentine.” Rosie hendak saja melempar jurus untuk menjungkir-balikkan tubuh Yuri dari hadapan, namun gadis penyuka olahraga itu ternyata cukup tanggap untuk menangkap kedua tangan hingga ia terkunci dan hanya bisa menatap matanya yang penuh permohonan.

“Chaeyoung-ah, aku tahu siapa yang diluar sana, aku tidak mengharapkanmu untuk berbuat baik selain memang menghukum pria tua itu. Tapi ingatlah, kau tidak boleh sembrono mengeluarkan emosimu.” Yuri mendorong sedikit tubuh Rosie mundur, untuk menunjukkan sedikit kekuatan yang ia punya, sekaligus menyadarkan wanita cantik itu. “Hentikan menegangkan semua ototmu.” Ia berbicara pelan, menatap lekat hingga Rosie segera runtuh dan sadar.

“Profesional, seperti biasa.” Yuri melepas kuncian tangannya pada Rosie, memberinya senyum sebelum membiarkan gadis itu melangkah melewatinya. Ia menatap punggung cantik itu dengan seksama, langkahnya masih tegas namun ia yakin Rosie akan menangani dirinya sendiri dengan baik.

~~=~~

Rosie yakin mungkin tubuhnya amat bersinar, atau mungkin penampilannya bak Opera Show, sebab beberapa pasang mata menatap seolah tertarik begitu saja saat ia melenggang mulus menghampiri lelaki paruh baya yang tengah duduk nyaman-tertawa sambil menikmati segelas wiski dan pangkuan gadis muda di pahanya.

“Waw, kau sangat menikmati waktumu.” Rosie duduk bersilang di hadapan. Membuat lelaki tua itu langsung meredam senyum—sedikit terkejut namun detik kemudian wajahnya lunak dengan sebuah senyum lagi; atau lebih tepatnya seperti om-om dengan seringaian mesum memburu para wanita yang ingin ditiduri demi uang.

“Wah, kau ternyata masih hidup.” Lelaki itu meletakkan gelas beserta menyingkirkan sang gadis cantik, memberi tatapan untuk meninggalkan mereka berdua di meja saat ini.

“Seharusnya itu dialogku untukmu. Bagaimana kau bisa hidup enak dan bebas seperti ini?” Tenang, nada suaranya kalem meskipun deru emosi sempat memaksa untuk keluar mengungkapkan karakter. Tidak, Rosie tidak ingin membuang rasa sakit dari sebuah emosi yang mendalam, ia sudah mengalami ini bertahun lamanya. Jadi tak apa, ia bisa hadapi ini seperti cairkan marshmallow di atas api.

“Hidup enak?” Pria itu tertawa penuh kepalsuan. Hidup enak katanya? Seandainya hidup enak dan bebas, lalu kenapa ia hanya bisa keluar dari sarang setahun sekali? “Baguslah kalau kau menganggapnya seperti itu. Lalu kau? Apa hidupmu juga enak dan bebas? Tanpa orang tuamu?”

Rosie menggertak gigi, tersenyum palsu, sembunyikan segala perasaan. “Yang jelas hidupku lebih baik tanpa mereka.”

“Wow,” inginnya bertepuk tangan, tapi kedua tangan malas bertemu malah menyampirkannya ke atas sofa, bersandar dengan gaya si Tuan Mafia. “Bersyukurlah kalau begitu, jadi dengan begitu kau tak perlu lagi mengejar masa lalu, bukan?” ia menarik alis dengan senyum tipis. Pemandangan wajah yang sedikit menjijikkan bagi Rosie.

Gadis itu bahkan menahan diri untuk tidak meludahi dan berkata kasar. Sabarlah, Chae. Dia hanya serangga. “Kau tidak bisa mendikte apapun tujuan dan keinginanku.” Rosie bangun dengan cepat ke sebelah lelaki itu, mengambil senjata dari balik kemeja si pelaku untuk memakan sang Tuan. “Aku paling tidak suka basa-basi.”

“Rosie!” Yuri menahan si gadis cantik, hampir saja melakukan percobaan tidak menyenangkan di dalam Clubnya, wanita hitam-putih alias kecoklatan itu segera membisik di telinga sebelum pandangan mengudara pada pintu masuk yang datanglah seorang Lalisa dengan tampilan sederhana namun memesona. Gemeshh.

“Sialan, kau Unnie. Bisakah kau urus dia dulu.” Distraction yang hebat, Rosie sempat terpana melihat gadis tinggi nan cungkring itu. Ia rindu. Awh, apa dia bilang pemirsa? Rindu sama dengan tabu. Tidak. Tapi iya.

“Sebaiknya kau cepat,” Yuri memperingati, lantas kembali memberi kata, “dan jangan kotori sofaku dengan darah.” Ia sempat memandang pria Tua yang tampak tenang bahkan ketika senjata sudah menekan ke perutnya, siap meluncurkan entah peluru jenis apa. Sebelum ia pergi untuk menghalangi Lisa yang entah ingin pergi kemana. Kenapa dia malah pergi ke belakang? Apa dia ingin membersihkan sampah?

“Yo, Lisa!” Yuri segera berlari, terguyun meraih kedua bahu Lisa untuk menahannya melangkah lebih jauh.

Sempat kaget hingga hampir melempar pukulan ke udara, Lisa tak jadi memberi bogem mentah ketika Yuri yang menyapa. “Yuri Unnie, dimana Rosie? Aku tidak menemukannya di meja bar.” Rosie mengatakan bahwa ia akan menjadi bartender mulai hari ini melalui chat. Tapi saat ia datang, tempat bartender malah di isi oleh orang lain. Jadi ia heran sekaligus curiga, apa Rosie berbohong padanya?

“Ah, dia belum datang, duduklah sebentar pelanggan setiaku.” Yuri menarik paksa tubuh kurus Lisa hingga tongkat yang di bawa menggelatuk ke kemana-mana, hampir memukul tiap tumit orang yang tengah lalu lalang di Club yang mulai ramai itu.

“Tapi—“ Rosie biasanya sudah datang jam segini, kalaupun ternyata jam kerjanya berubah karena pergantian posisi, setidaknya janganlah tubuhnya ini ditarik-tarik macem karung beras ke meja pojok sana—yang dikenal dengan meja khusus untuk Yuri dan sang kekasih Jessica—sebab berada diantara mereka rasanya lebih mengerikan dari kisah kasih Jennie-Jisoo.

Namun ia hanya bisa tersenyum kaku, mau tak mau menyapa Jessica—yang tampak gusar padahal tampangnya sudah dari janin memang begitu. “Hei, Jess Unnie.” Lisa hampir terlonjak jatuh saat Yuri mendorong bahunya rendah hingga ia duduk dengan cara kasar. Berada dekat dengan Jessica yang hanya balas sapaan dengan “Hehm,” belaka.

“Kau tunggu saja disini, nanti aku akan kasih tahu jika Rosie sudah datang, okay?” Yuri mengabaikan anggukan Lisa yang menurut saja sebab ia telah cepat bergerak mengecup pipi Jessica sebelum ia undur diri entah kemana. Meninggalkan dua orang dengan kepribadian beda dunia itu bersama.

“Ekhem.” Lisa sebenarnya sama sekali tak ingin bertanya, ataupun menatap dia sebab yang lain hanyalah kayu penghalang serta meja. Masa iya, dirinya menatap orang asing yang lewat begitu saja, apalagi dengan tatapan polos minta tolong, barangkali orang lain sangka dia tengah di sekap di tempat terbuka.

“Ada permen.” Jessica memberitahu, memberi lirikan ke atas meja sebagai penunjuk dimana semangkok permen berbagai macam rasa itu berada, lantas detik kemudian ia kembali dingin: bermain ponsel sambil menyilang kakinya yang jelita.

Tenggorokannya tak apa sungguh, mungkin karena suasana diantara mereka yang tampak mencekam dan kaku. Ia jadi tiba-tiba reflek ingin bebaskan tenggorokannya dari rasa tidak-bisa-bicara. Ia juga tak berharap Jessica akan mendengar dan berkata demikian. Namun yang ia jawab malah tidak bersangkut dengan tawaran makan permen dari gadis cantik itu.

“Kau terlihat pengangguran.” Sial. Kenapa mulutmu sangat beracun, sebaiknya aku menghindari Jennie saat dia sedang bad mood. Karena vibe kesal dan kata-kata sarkas Jennie kadangkala menjadi cerminan untuk sikapnya dikemudian hari pada situasi acak seperti ini.

Excuse me?” Jessica melepas pandang dari ponsel untuk menatap Lisa dengan salah satu alis terangkat ke alas. Ada nada kesal dengan raut terganggu atas perkataan yang Lisa lontarkan.

“A-aku salah bicara. Maaf.” Lisa bergegas menyampingkan tubuh, menunduk kepala, mengepal tangan tanda penyesalan. Ia tak ingin bicara lagi, memang lebih baik diam.

“Aku mendengar apa yang kau katakan. Kau tahu aku siapa, kan?” orang yang kenal Yuri pasti tahu siapa dirinya selain dari kekasih si pemilik Club ini. Jadi tidak ada alasan Lisa bicara omong kosong seperti tadi hanya karena hari ini ia seperti tidak ada kerjaan.

“Iya, aku tahu. Makanya aku meminta maaf.” Lisa hanya memandang sejenak sebelum kembali menatap meja bar di kejauhan sana.

“Coba katakan kalau tahu?” Jessica seolah menuntut, nada bicaranya seakan sebuah keharusan dengan bumbu sedikit ancaman.

“Kau adalah Jessica Jung, CEO Blanc E'claire, usaha yang bergerak di bidang fashion.”

“Bagus,” Jessica puas, “kalau bicara lagi soal terlihat ‘menganggur’ sebaiknya kau melihat pada dirimu sendiri.” Ia mengibas rambut untuk kemudian segera beranjak, namun Yuri tiba-tiba datang bagai petir, menghalangi jalan dengan raut panik dengan tangan menarik Jessica untuk duduk kembali.

“Yul, sayan—“

“Eonn—“

Belum keduanya selesai bicara, seolah tengah berebut sebuah kebenaran. Yuri malah bicara lebih dulu untuk membuat keduanya bungkam.

“Apa kalian tahu kucing dan anjing bisa berteman?” tiba-tiba Yul berkata, sambil mengangkat kedua tangan ke udara sambil menunggu jawaban dari kedua manusia yang tampak bingungnya hampir membuat koma.

“Apa kau bermaksud menyamakan aku sebagai anjing?” Lisa menunjuk diri, barangkali itu yang di maksud Yuri, lupa kalau ia harusnya bertanya tentang dimana Rosie sebenarnya, ya ampun.

“Aku tahu kau suka memanggilku dengan jessi-cat, Yul baby, tapi biarkan aku lewat.” Maaf ya, ia hanya ingin ke toilet apakah basah di tengah selangkangan ini karena menstruasi ataukah memang karena basah bekas ia berciuman dengan Yuri tadi pagi. Ia hanya ingin pergi memeriksa, in case jika ternyata memang 'lembab' ini disebabkan karena darah bulanan.

“Kucing dan anjing selalu bertengkar hingga bunuh-bunuhan hanyalah mitos, buktinya kucing dan anjing tetanggaku hidup dengan tentram dalam satu rumah dan majikan.” Yul kembali berkata, pamerkan senyum sambil berkacak pinggang. Seolah tengah menebar fakta bagaimana cerdas dirinya.

“Iyakah? Aku tidak tahu itu, karena aku tak memelihara keduanya.” Lisa merengutkan alis masih tampak berpikir, berarti cerita dalam kartun itu hanyalah fantasi semata. Hehm, ia baru tahu.

“Kwon Yuri, biarkan aku lewat,” Jessica menekan suara tanda ancaman, ia ingin sekali mencubit Yuri di tengah pusarnya agar sang kekasih kencing di celana. Tapi wanita itu terus saja mengerlingkan mata untuk menggoda, meski maksud Yuri bukan demikian.

“Kau cobalah bereksperimen, Lalisa. Coba kau datang ke Penangkaran hewan dan meminjam sementara keduanya. Kalau ternyata aku benar, kau harus mentraktirku makan siang besok, juga—aw!!!” Yuri langsung menjerit ketika Jessica mencubit pusarnya, sontak ia memegang perut dengan kantung kemihnya yang bergoyang. Ingin kencing!

“Berani sekali kau membodohi Lisa yang kelewat polos ini! Siapa yang mengajarimu mengibuli orang dengan IQ rendah ini?!” Jessica menjerit sambil kembali mencubit Yuri, sontak kekasih kembali berteriak sambil menahan selangkangan yang akan segera banjir.

“Sebentar—“ apa dia sebodoh itu? Lisa ingin memberi pendapat terhadap dirinya sendiri, tapi Jessica keburu melipir bersama Yuri ke toilet belakang sana. Ia ingin mengejar keduanya, terlebih lagi melihat celana jessica yang tampak berdarah-darah. Namun urung ketika ia akhirnya melihat Rosie di ujung meja sana, tengah berbicara mesra dengan lelaki paruh baya. Yang tentu buat ia segera beranjak dan hampiri mereka. Dalam hati ingin mengatakan betapa kecewa, ia pikir Rosie tidak lagi melayani para pria-pria dengan tengah selangkangan yang kotor itu.

Lisa ingin sekali menarik Rosie dari dekatnya dan membawa gadis itu pulang sekarang juga. Namun baru saja ingin bersilat lidah, Rosie segera sadar akan kedatangannya hingga gadis itu berdiri, buru-buru datang hampiri, tubuh kurusnya langsung tutupi si pria dengan menangkup seluruh wajah Lisa dalam dekapan tangannya. Menahan pandangan kemana saja selain pada gadis cantik itu berada.

“Kau datang?” Yuriii, awas saja kau. Rosie sudah curiga pasti Yuri tak bisa menahan Lisa, ia sudah perhatikan bagaimana Yuri hanya meninggalkan Lisa dengan kekasihnya Jessica si Princess Luar Angkasa, yang sekali bicara bisa berupa kalimat penuh hina, ataupun kata-kata yang sungguh terlalu terbuka.

“Chaeyoung-ah, kenapa kau—“

“Ayo, pergi.” Lisa inginnya marah, dengan banyak pertanyaan; kenapa dia masih mau melayani lelaki tua? Kenapa Rosie tidak menghargai perasaan? Apakah hubungan mereka hanyalah sebuah coba-coba semata? Hingga gadis cantik itu dengan keras kepalanya masih melakukan pekerjaan lama.
Lisa ingin sekali tegas dan menahan, tapi Rosie malah melempar wajahnya dengan segera ketika ia ingin melihat pria paruh baya itu. Tangannya ditarik-tarik entah mau kemana ini. Ia takkan melawan dengan rasa tergesa, membiarkan kekasih-barunya mengarahkan langkah ke belakang—tempat istirahat para pegawai dimana sedang tidak ada orang sebab yang lain telah mulai bekerja.

“Kenapa kau tak bilang kalau akan datang?” Rosie segera bicara, bahkan sebelum Lisa bisa angkat mulut untuk bertanya kembali.

“Oh,” teralihkan, Lisa jadi menjawab alasan kenapa, “aku hanya ingin melihatmu, aku pikir itu bukan sebuah kesalahan.”

“Ya, itu tidak salah Lisa-yah.” Rosie tersenyum, coba sembunyikan pistolnya di belakang pakaian, takut mengintip dari belakang sana. “Tapi setidaknya kalau kau bilang akan kesini, aku akan menyempatkan waktu untukmu. Kau tahu kalau aku akan sibuk dengan pekerjaan, bukan? Menjadi bartender tidak seperti pekerjaan yang sebelumnya, kau tahu itu.” Rosie mencoba meyakinkan dengan segala cara—agar Lisa lupa dengan ia yang menemani lelaki Tua. Sebab pasti gadis itu berpikir ia sedang melayani seorang pelanggan baru. Biasalah, Lisa jelas kelihatan cemburu ... dan sedikit kesal.
“Iya, maafkan aku, nanti aku akan memberitahumu lain kali. Aku hanya tidak senang jika kau mengobrol dengan lelaki paruh baya seperti tadi. Aku harap kamu tidak lagi melayani mereka.” Lisa menatap dengan sendu, mencoba meraih wajahnya yang tampak panik saat telapak tangan akhirnya menyentuh muka.

“A-aku, memegang prinsip, Lisa.” Rosie mencoba menahan napas. Perasaan ini, cukup menakutkan, saat kau melihat wajah super duper imut dengan hati seperti ingin jatuh. “Kau tak perlu takut aku mengingkari kepercayaanmu.” Kendalikan dirimu, Chaeng. Tapi tak bisa, ia malah meraup kedua pipi Lisa untuk mengecup bibir tebalnya. Maafkan, ia tidak sekuat itu. Dan rasanya lega setelah melakukan adegan tadi.








Hey yo, wassappp😂😂😂😂
Sowwyyyy😭😭😭
I know it's been so longgggggggggggggggggggg😭😭😭😭
udah setengah taun keknya gue update yg terakhir itu😭😭😂😂😂
Been busy with ini itu, so yeah.
maaf ya wankawan.


Oh yeah, makasih yg udah pesen buku Baby Maybe kmaren. I love y'all😭😭😭
Hasil transfer buku juga udah aku trima, karna masih di Taiwan. Jadi aku serahin uang itu ke mba aku buat dikasiin aja semuanya ke anak yatim.
So, guys, kalian juga sedang beramal. Makasihhhhhh, I'm proud of y'all😭😭



Be With Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang