Aku sedang berjalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan termegah yang ada di Surabaya. Seorang diri, ini adalah hari ke delapan berada di Surabaya.
Ingin mencari kalung untuk id card serta seragam dan alat tulis untuk keperluan semua cabang. Ya, memang alat tulis itu sangat dibutuhkan.
Karena jarak dari Malang dan Surabaya cukup jauh. Jadinya tidak mungkin aku menyuruh mereka untuk bolak-balik setiap hari, hanya untuk laporan harian.
Kalian tahu, surat lamaran ini sudah masuk hampir seratus nama. Dan akan aku pilah serta pilih besok. Bersama Pak Andika. Ya, besok beliau akan kemari bersama Fano. Surti ternyata tidak bisa ditinggal.
Memang tidak seperti di Malang, setiap outlet tidak akan 24 jam buka. Kupakai di Surabaya 8 jam kerja, supaya aku tahu bagaimana pendapatan selama satu bulan.
Ini termasuk strategiku di awal sejak buka cabang di kota lain. Karena tidak tahu bagaimana laju pendapatan setiap harinya.
Sebuah panggilan masuk, dari Fano. "Ibu mau dibawakan apa dari Malang?" Tanya dia dari balik sana.
"Ndak usah, kamu besok berangkat pagi ya. Bilang ke Pak Andika," aku berbicara sambil melihat sekeliling.
Jantungku berdetak dengan kencang, saat menangkap sosok Arlo sedang melihat koleksi jam tangan pada sebuah toko. Arlo mengenakan kemeja polos berwarna hijau dan celana pendek selutut. Tingginya masih sama dari dulu. 174 senti.
Aku berlari ke arahnya, toko itu terletak di depanku berdiri saat ini. Dengan satu kali tikungan.
"Sebentar ya Fano," aku mematikan panggilan secara tiba-tiba dan mendadak.
Aku menaruh gawai ke dalam tas, sambil terus berjalan. Melupakan tujuan yang sebenarnya datang ke sini.
Jarak kami semakin dekat, Arlo masih sibuk menatap etalase yang memajang berbagai jam tangan.
"Arlo," aku menyapanya ketika sampai di toko jam tangan itu.
Dia, yang punya nama menoleh kepadaku, "Ste? Kamu di sini juga?"
Aku mengangguk, "ayo ikut aku sebentar, Ar."
Aku berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Arlo. Dia kulirik dari ekor mata seperti orang yang kebingungan. Mau tidak mau, Arlo langsung meninggalkan toko itu---tanpa membawa barang yang dicari.
---
"Kamu pindah ke Surabaya, Ste?" Tanya Arlo, ketika mendapatkan meja---yang letaknya di food court ini.
Ya, aku dan Arlo duduk berhadapan sambil melirik kanan dan kiri---karena masih bingung mau pesan apa.
Aku melihat Arlo, entah kenapa timbul kehangatan di dada. Terlebih ketika dia tersenyum. Dengan brewok serta kumis tipis yang membuatnya semakin gagah.
Tidak, kalian salah. Aku cuma pangling saja dengan perubahannya. Mungkin juga Arlo merasakan yang sama denganku.
Satu lagi, panggilan dia kepadaku masih sama 'Ste' tidak berubah. Memang sejak dahulu, Arlo selalu memanggilku demikian.
Ketika kusuruh untuk melengkapinya dia hanya menampilkan senyum manisnya. "Biar beda," katanya saat itu.
"Nggak, aku cuma ngurus bisnis. Cuma sebulan di sini. Kamu?" Aku mencoba menstabilkan hati yang tidak keruan rasanya.
"Istriku orang sini," Arlo berbicara dengan sedikit hati-hati, semacam takut ada orang yang mendengarnya selain aku.
Mendengar kata istriku, entah kenapa hatiku berasa ada yang mencabik-cabik. Perasaan ini muncul tanpa diduga dan tidak disangka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Istimewa Untuk Suamiku (Dewasa)
Aktuelle LiteraturVOTE DULU SETELAH BACA! FOLLOW JUGA! "Bangkai itu tidak bisa ditutupi, Mas!" Stefa Azika Isabella, pemilik Toko 29 sedang menyelidiki secara diam-diam perselingkuhan suaminya Elano Kenzo Gautama---dibantu oleh asisten pribadinya. Perselingkuhan Elan...