Bab 2 - Kepergian Elano

5.2K 280 2
                                    

Jam tiga sore, aku sudah sampai di rumah, tempat tinggalku sejak menikah dengan Elano. Tinggal di salah satu perumahan yang sudah lama ada di kota ini---dengan gaya minimalis dan dua lantai.

"Bu, aku sebentar lagi mau ikut cerdas cermat antar sekolah." Elano memberikan surat dari SMP Kendedes, tempat anakku menempuh jenjang selanjutnya.

Lihatlah! Anakku ini benar-benar pintar dari sisi akademik dan non akademik. Banyak sekali piagam dan piala kejuaraan berada di kamarnya---dia juga suka dengan dunia tulis menulis. Sama seperti aku dahulu.

Kubaca teliti surat itu dengan kacamata minus yang masih bertengger di mata, acaranya satu minggu lagi.

Dan, perwakilan orangtua diminta hadir untuk menonton sekaligus menemani anak-anak mereka. Tiga orang dipilih dari SMP Kendedes---dari kelas berbeda VIIA, VIIB, dan VIIC.

"Ayahmu belum pulang?" Aku menatap anakku yang sedang kembali duduk di kursi ruang tamu.

"Belum, satu jam yang lalu. Sempat pulang mengambil pakaian-pakaian yang sudah ditaruh di koper. Aku tanya ke Ayah, katanya ada keperluan di luar kota." Jelas Efano yang seketika membuatku sedikit kaget.

Kuputuskan berlari ke kamar kami yang ada di lantai dua, ketika membuka pintu benar-benar seperti kapal pecah. Tidak terlihat selayaknya kamar orangtua---yang selalu rapi.

Pakaian-pakaian berhamburan di mana-mana, sepatu-sepatu juga. Entah kenapa Elano buru-buru? Apa jangan-jangan takut ketahuan aku? Sebentar? Keluar kota? Urusan bisnis?

Sepertinya ada yang janggal, seluruh nomor untuk bisnis perusahaan Elano adalah memakai nomorku. Jika ada orang lain yang pengin mengajak kerja sama pasti menghubungiku.

Aku segera melakukan panggilan suara dengan dia, harap-harap cemas semoga diangkat.

Satu kali, gagal.

Dua kali, gagal.

Tiga kali, masih gagal.

Aku berteriak frustasi, kenapa sih Elano jadi seperti ini setelah kenal Indri? Bahkan ketika malam, saat rasa itu muncul lagi.

Elano tidak mau membantu dengan dalih sudah capek. Padahal kalau dia yang meminta terkadang sedikit memaksa. Kuketik lewat whatapps yang kutujukan kepada dia langsung.

(Kaujangan coba-coba membohongiku dengan bilang ke luar kota kepada Efano atas urusan bisnis! Ingat berbohong itu dosa!)

Terkirim, masih centang satu. Berarti dia tidak aktif. Atau mungkin masih di pesawat? Kereta api? Mobil pribadinya? Aku saja tidak tahu.

Dan, Elano membawa koper. Berarti kemungkinan beberapa hari ke depan dia tidak pulang ke rumah. Aku membiarkan Efano tidak tahu akan kebusukan ayahnya---supaya dia fokus kepada karir dan mimpinya.

Segera aku mengambil cara lain---mencoba menghubungi staf kantor Elano. Memastikan apa benar dia ada tugas keluar kota dengan rekan bisnis yang baru?

"Halo, selamat siang Bu Stefa?" Terdengar suara manager salah satu cabang restoran yang menerima---seorang laki-laki.

"Halo, Cilo. Bapak ada?" Aku langsung pada pokok pertanyaan. Tidak mau bertele-tele.

"Bapak? Dia sedang berada di Hotel Gemah Ripah, tadi ke sini bersama seorang perempuan, Bu." Cilo memberi tahu dengan suara yang sedikit bergetar. Hotel Gemah Ripah? aku tahu tempat ini.

"Siapa? Indri lagi?" Tanyaku lagi.

"Iya, Bu." Cilo menjawab dan kemudian aku tutup teleponnya.

Nah! Lihat? Dia berbohong lagi dan lagi, entah kepada anaknya sendiri dia tega berbohong juga. Aku memijat keningku yang mulai pusing---segera aku lakukan sesuatu untuk memberinya kejutan di hotel.

Kuambil tas yang biasa aku bawa kemana-mana, kemudian berlari ke garasi. Aku harus ke Hotel Gemah Ripah sekarang dan secepatnya.

---

Aku sudah masuk ke antrean kendaraan yang benar-benar panjang. Entah ada apa di depan? Kok bisa macet sekali! Hingga sampai tiga kilometer seperti ini!

"Arrrggghhh..." aku berteriak sendiri di dalam mobil yang kukemudikan.

Setelah hampir setengah jam---aku bisa melajukan mobil dengan cepat. Tanpa ada hambatan sekali saja.

Melewati cabang ketiga dari rumah makan yang dikelola oleh Elano---ternyata masih belum ramai. Padahal sudah buka dari tadi pagi---atau mungkin memang baru saja sepi?

Disebelah restoran---ada toko. Aku mencoba melipir, karena ingin memberikan sesuatu untuk hadiah saat aku sampai di Hotel Gemah Ripah.

Cepat-cepat kuparkirkan mobilku di depan, karena hanya tersisa satu tempat. Kuambil dompet dan langsung menuju kasir di toko.

"Mas, mau itu satu dong," aku menunjuk ke sebuah pengaman pria untuk berhubungan suami istri.

"Tambah apa lagi?" Kasir itu bertanya kepadaku, "totalnya, sekian."

Aku memberikan uang seratus ribu dan pergi, kasir itu sempat mengejarku, karena uang kembaliannya belum diterima.

"Ambil aja, Mas," aku tersenyum kepadanya dan dia mengucap terima kasih dan membungkukan badan.

Kulanjutkan perjalananku ke Hotel Gemah Ripah.

Bersambung...

Hadiah Istimewa Untuk Suamiku (Dewasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang