Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian di Pasar. Kejadian yang membuat Denan dan Keynan justru menertawainya habis-habisan saat dirinya menceritakan pengalaman bertemu dengan orang yang sedang mengalami sakit jiwa.
Kini, Kayesa tengah sibuk menjalankan segala ritual perkuliahan. Masa-masa di saat ia harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berada di kampus dibandingkan berada di rumah.
"Gue iri. Kenapa lo bisa dapat Denan?!"
Mendengar perkataan Cia, Kayesa tersenyum sombong lalu tertawa pelan setelahnya. Kayesa melepas jas lab berwarna biru gelap dari tubuhnya, melipatnya, dan kemudian memasukkannya ke dalam tas. Karena ada dua jadwal praktikum hari ini, Kayesa harus membawa lebih dari satu tas untuk kebutuhan praktikumnya.
"Ibnu, kenapa bisa Kayesa dapat Denan? Mana suami sendiri pula." Suara Cia kembali terdengar. Sahabat seperjuangannya dalam mengulang mata kuliah praktikum yang keduanya ambil di semester ini selalu mengeluarkan protesannya saat tahu bahwa Kayesa ditangani langsung oleh Denan yang notabenenya adalah asisten laboratorium di mata kuliah praktikum yang tengah ia jalani saat ini.
"Sudah rezeki mereka berdua. Jangan iri, Cia." Ibnu menjawab, kalem.
Cia cemberut pasalnya ia sendiri ditangani oleh senior angkatan akhir yang galak dan angkuhnya minta ampun. Lagipula, Cia heran, mengapa seniornya itu masih saja menjadi asisten lab? Mengapa tidak cepat-cepat saja menyelesaikan skripsinya dan hengkang dari kampus ini dengan segera?
"Denan pasti sengaja, ya, biar dapat Kayesa?" Lagi-lagi suara Cia terdengar.
Kayesa hanya tersenyum lebar seakan sedang mengejek nasib Cia.
"Menurut gue enggak, sih. Denan sampai tiga kali milih gulungan kertas, tapi dapatnya memang Kayesa terus. Memang jodoh, sudah rezekinya dapat asisten suami sendiri," jelas Ibnu selaku koordinator asisten di laboratorium tersebut. Ia bersikap profesional meskipun ada rasa tidak setuju menggerogoti hatinya. "Jangan iri, Cia. Terima aja nasib lo sama Bang Najib," lanjutnya lalu tertawa pelan.
Kayesa menghampiri Cia lalu menepuk pelan punggung sahabatnya itu. "Sabar, ya, Cia. Siapa tau kalau jodoh lo itu sebenarnya Bang Najib."
Cia mendengus kesal. "Astaghfirullah, Kay. Sakit mental gue hidup sama dia."
Ganteng, sih. Namun, wajah sangar dan aura amburadulnya membuat Cia harus memasukkan Najib ke dalam daftar hitam dan memboikot laki-laki tersebut dari daftar impian suami idamannya.
"Sabar, Cia."
Cia menatap Kayesa lalu menunduk, menatap ke arah perut sahabatnya yang tidak begitu kentara karena saat ini Kayesa mengenakan gamis longgar. "Laporan lo pasti langsung di-ACC sama Denan. Mana mungkin dia biarin istrinya yang lagi hamil capek-capek revisian."
Kayesa tertawa pelan. "Aamiin. Semoga Denan beneran gitu," ucapnya yang tak begitu yakin. Denan terkadang memiliki sifat jahil, tidak menutup kemungkinan Denan akan kembali menjahilinya lagi nanti.
"Pengen nikah juga gue," ucap Cia yang masih memasang wajah cemberut.
"Nikah sama Bang Najib, Ci, siapa tau laporan lo juga langsung AC-"
"ENGGAK! ASTAGHFIRULLAH!" Kesal Cia, memotong perkataan Ibnu.
Kayesa tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa di bawah pengawasan mata Cia yang menatapnya sinis.
....
Berada di lantai empat gedung kampus yang berbentuk huruf O, Kayesa menunduk menatap ke bawah tepatnya di pusat gedung, menyorot lapangan yang berada di lantai satu. Lapangan yang dapat dilihat di semua lantai. Beberapa mahasiswa laki-laki tengah bermain sepak takraw di sana. Mata Kayesa menjelajah, mencari keberadaan Denan yang barangkali juga berada di antara para laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syuamitonirrajim
Spiritual-Spiritual~Romance- Menikah dengan seseorang yang merupakan sahabat sejak kecil mungkin masih bisa keduanya toleransi, tetapi bagaimana jika menikah dengan seseorang yang merupakan musuh sejak kecil? Kayesa tidak pernah membayangkan hal itu akan ter...