"Denan mau sesuatu, enggak? Mau makan? Minum? Biar Kayesa ambilkan."
Kayesa bertanya seraya membantu Denan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai. Kayesa memperlakukan Denan layaknya orang sakit yang butuh dirawat. Padahal, Denan tidak begitu menganggap lengannya mengalami luka serius. Kayesa saja yang mungkin sedikit berlebihan. Namun, Denan merasa senang diperhatikan seperti itu. Ia berniat memanfaatkan sedikit momen ini untuk menjahilinya istrinya. Sudah begitu lama ia tidak menjahili Kayesa yang memiliki sifat manja, polos, dan mudah marah itu.
"Sakit, Kay."
"Apa yang sakit?"
"Lengan aku nyut-nyutan. Sakit." Denan mengadu dengan nada suara mengiba.
Kayesa menatap Denan dengan sorot khawatir. "Kayesa panggil Abah, ya, biar kita ke rumah sakit."
Kayesa sudah akan melangkah keluar kamar, tetapi suara Denan menghentikannya. "Jangan, Kay. Aku mau minum obat aja. Siapa tau setelah minum obat, nyut-nyutannya hilang."
"Beneran enggak mau ke rumah sakit? Nanti kalau lengan Denan kenapa-kenapa pasti Denan sendiri yang susah."
Denan menggeleng. "Aku mau makan, Kay."
Kayesa mengernyit. "Katanya mau minum obat?"
"Makan dulu, Kay, baru minum obat."
Kayesa paham dan langsung mengangguk. Ia kembali menghampiri Denan dan membawanya duduk di tepi tempat tidur. "Denan tunggu di sini dulu, ya, biar Kayesa ambilkan makan."
Denan mengangguk seraya tersenyum berusaha untuk tidak mengeluarkan tawa. Baru kali ini ia mendapati wajah Kayesa yang terlihat khawatir. Terbiasa melihat wajah merajuk, kesal, dan marah milik Kayesa membuat Denan mendapat kepuasan tersendiri ketika melihat raut berbeda yang ditunjukkan istrinya itu.
"Denan masih bisa tahan sakitnya, kan?" Tanya Kayesa memastikan.
"Semoga."
Kayesa menyisir sekilas rambut Denan dengan jari-jari tangannya lalu membelainya. "Kayesa ke dapur dulu, ya."
Denan menahan tangan Kayesa yang bergerak menjauh dari rambutnya.
"Kay, cium aku dulu."
Tatapan khawatir Kayesa kini berganti dengan tatapan heran. Tumben sekali minta cium, biasanya juga langsung nyosor.
Kayesa menarik napas lalu menghembuskannya. Jujur saja ia sedikit salah tingkah saat mata Denan tidak lepas menatapnya. Bukannya menuruti perkataan Denan, Kayesa justru menempatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Denan.
"Denan aja yang cium Kayesa. Terserah di mana," ucap Kayesa, memberikan kebebasan kepada Denan.
Denan sontak menggeleng. "Aku maunya dicium. Terserah kamu maunya cium di mana."
Kayesa berdecak pelan. Sudah lengan sakit, tetapi masih bisa meminta macam-macam. Dasar, Denan!
"Ya udah, sini." Kayesa mengecup sudut bibir Denan dengan secepat kilat dan setelah itu ia langsung menegakkan tubuhnya.
Denan terdiam, ia menatap Kayesa yang kini justru cengengesan. Mengapa tanggung sekali hanya mengecup di sudut? Mengapa tidak langsung di pusatnya?
"Tanggung, Kay." Denan sontak menarik kepala Kayesa dan mengambil apa yang ia inginkan. Setelah puas, ia beralih mengecup kening Kayesa sebagai upaya untuk menenangkan dadanya yang berdebar tak beraturan. Pengendalian diri Denan memang begitu minim jika berada di situasi seperti ini.
"Sudah, ya, Denan. Nanti Denan malah enggak jadi makan sama minum obat kalau begini terus."
Denan mengangguk. Ia membiarkan Kayesa lepas begitu saja. Niat hati ingin menjahili Kayesa, tetapi justru dirinya yang selalu hilang fokus ketika Kayesa berada di dekatnya. Beruntung sekarang Kayesa telah menjadi istri yang berarti halal baginya. Berbanding terbalik jika melihat ke belakang, saat di mana ia hanya bisa menganggu Kayesa tanpa bisa menyentuhnya sesuka hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syuamitonirrajim
Spiritualité-Spiritual~Romance- Menikah dengan seseorang yang merupakan sahabat sejak kecil mungkin masih bisa keduanya toleransi, tetapi bagaimana jika menikah dengan seseorang yang merupakan musuh sejak kecil? Kayesa tidak pernah membayangkan hal itu akan ter...