"Ummi, ini bukan mimpi, ya?"
Wanita yang dipanggil Ummi oleh gadis itu tersenyum tenang lalu mengangguk.
Kayesa tidak percaya ini. Wajahnya telah disulap begitu cantik dan anggun. Gaun pengantin syar'i telah melekat di tubuhnya. Kamarnya yang didominasi warna putih dengan hiasan kelopak bunga yang juga warna putih. Semuanya serba putih. Hanya dirinya yang kelabu. Hatinya suram. Setelah nanti para saksi meneriakkan kata sah, maka hidupnya yang berwarna akan berubah kelabu.
Coba bayangkan, bagaimana jika berada di posisi Kayesa. Menikah dengan musuh bebuyutan sejak kecil. Setiap kali bertemu pasti akan selalu beradu urat, beradu mulut, beradu fisik, dan tenaga. Berbagai perkataan yang tidak pantas pasti akan terlontar. Tidak peduli dalam suasana, tempat, dan di hadapan siapa. Perseteruan selalu tak terelakkan. Anehnya, kedua orang tuanya begitu mendukung pernikahannya kini.
"Karena kalian selalu perang, jadi kami memutuskan akan mengawinkan kalian berdua," ucap Abahnya kala itu.
"Apa? Kawin? Astagfirullah, Abah. Kay nggak mau!"
"Salah. Maksud Abah, nikah. Kalian akan dinikahkan."
"Nggak mau, Abah!"
"Mau nggak mau harus mau." Abahnya berucap tegas.
"Ummiii," Kayesa merengek, melangkah memeluk Umminya. "Kay nggak mau nikah sama dia!" Gadis itu menunjuk laki-laki yang tidak jauh darinya dengan tatapan tajam.
"Abah bercanda, 'kan, Umi? Rumah tangga Kay akan jadi apa nanti? Kalau Kay nikah sama dia pasti setiap hari perang dunia mulu. Pokoknya Kay nggak mau, Ummi. Kay nggak mau!"
Kayesa berucap menggebu sekali. Berbeda dengan laki-laki itu, ia memilih diam. Tumben sekali laki-laki itu diam. Mungkin sedang syok. Alangkah lebih baik laki-laki itu langsung mati berdiri, ucap Kayesa dalam hati. Astagfirullah.
"Abah kamu tidak bercanda. Kamu memang akan menikah secepatnya," ucap Umminya dengan tenang.
Gadis itu mendongak, menatap wanita yang ia sayangi dengan tatapan tak percaya. "Secepatnya? Ini, 'kan, masih musim virus conoha. Maaf Abah dan Ummi, tapi Kay menolak."
Terang-terangan sekali gadis itu menolak. Padahal, di sana ada calon mempelai laki-laki bersama kedua calon mertuanya.
"Sayang, kok, nolak? Kenapa? Anaknya Mama ini kurang apa?" tanya wanita paruh baya yang berada di samping laki-laki yang ingin dijodohkan dengannya. Pertanyaan bernada lembutnya membuat Kayesa tidak enak hati.
Kayesa menggeleng. "Maaf kalau ucapan Kay membuat Mama dan Papa tersinggung, tapi lihat muka Denan aja Kay eneg," ucapnya tanpa ragu.
"Eh, lo pikir gue nggak eneg lihat muka lo!" Laki-laki itu akhirnya angkat suara. Dia diam sedari tadi karena menghargai keberadaan kedua orang tuanya dan orang tua gadis itu.
"Denan!" tegur sang Papa membuat Denan berdecak.
"Kalian berdua memang harus menikah biar tidak berantem terus. Sekarang kalian memang bilang eneg, nanti juga kalian akan bilang enak."
Kayesa mendadak mual mendengar kalimat tersebut.
"Denan, kamu mau, 'kan, menikah dengan Kayesa?"
Mata Kayesa membulat begitu mendengar pertanyaan Abahnya.
"Gak ada yang lain emang yang mau nikah sama Kayesa? Kenapa harus Denan, Abah?" tanya Denan, berusaha untuk berucap sopan.
"Abah sama Umi maunya kamu."
"Tapi, Denan sama anak Abah nggak pernah akur. Nanti kalau kami saling bunuh-bunuhan, gimana?"
Orang-orang yang berada di ruangan tersebut terkekeh, kecuali Kayesa. Gadis itu menatap tajam Denan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syuamitonirrajim
Espiritual-Spiritual~Romance- Menikah dengan seseorang yang merupakan sahabat sejak kecil mungkin masih bisa keduanya toleransi, tetapi bagaimana jika menikah dengan seseorang yang merupakan musuh sejak kecil? Kayesa tidak pernah membayangkan hal itu akan ter...