Mata Kayesa berbinar senang. Untuk pertama kalinya ia berhasil menata makanan dengan rapi di atas meja makan. Meskipun ia hanya menjadi penonton di saat mertuanya memasak, tetapi ia tidak ingin keberadaannya menjadi sia-sia. Membantu menata makanan di atas meja setidaknya bisa dijadikan suatu hal yang bermanfaat.
Berbicara mengenai memasak, gadis itu hanya bisa memasak nasi, mie instan, dan menggoreng telur. Selain dari ketiga hal itu, jangan berharap apa-apa.
Salah satu hal yang membuatnya tidak ingin menikah muda adalah memasak. Jadi, jangan heran jika Denan selalu mengatainya anak manja dan tidak bisa apa-apa. Itu memang benar, Kayesa tidak bisa apa-apa tanpa kedua orangtuanya. Namun, karena sekarang yang menjadi suaminya adalah Denan, rasanya tidak mengapa jika ia tidak bisa memasak. Jika kelak Denan mati kelaparan karena ia tidak memasak, tidak apa-apa, setidaknya penyesalannya menikah muda tidak terlalu berat.
Astagfirullah. Kayesa langsung beristigfar saat pikirannya melayang kepada hal yang tidak-tidak. Biar bagaimanapun Denan adalah suaminya. Seburuk apa pun laki-laki itu, Denan tetap suaminya. Jadi, ia harus tabah dan ikhlas menerima Denan.
"Kay, panggil suami kamu makan dulu."
"Emangnya harus dipanggil, ya, Ma?" tanya Kayesa polos. Denan, 'kan sudah besar, kalau lapar yah pasti akan turun mencari makan sendiri.
Afra terkekeh, cukup gemas dengan pertanyaan menantunya. "Iya, harus dipanggil. Denan biasanya suka lupa makan malam kalau sibuk sama tugasnya."
"Tugas apa, Ma? Kan, sekarang belum mulai masuk kuliah, masih libur semester."
"Maksud Mama, sibuk sama pekerjaannya."
Kayesa mengangguk. Ia hanya tahu sedikit bahwa Denan memiliki restoran sendiri yang telah bercabang. Otak bisnis dari Denan benar-benar patut diacungi jempol. Seharusnya laki-laki itu cocoknya masuk jurusan Bisnis, bukannya mengambil jurusan Fisika seperti dirinya yang akhir-akhir ini baru ia ketahui bahwa ia telah salah jurusan.
Namun, Allah begitu baik memberikan otak yang pintar dan cerdas untuk Denan. Pintar berbisnis, di setiap mata kuliah selalu nyaris sempurna, dan yang lebih penting sudah hafal Qur'an. Berbeda sekali dengan dirinya. Masyaallah, jadi insecure.
Tidak apa-apa. Tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Buktinya, dibalik kesempurnaan yang terlihat pada diri Denan, laki-laki itu memiliki mulut yang suka julid. Istrinya saja selalu dihina.
Dengan langkah berat, akhirnya Kayesa bergerak menuju kamar yang terletak di lantai dua untuk memanggil Denan. Merepotkan sekali. Tidak terbayangkan jika ia hidup hanya berdua dengan Denan di rumah barunya nanti. Apakah ia juga akan selalu mengingatkan laki-laki itu untuk makan?
Kayesa pikir hanya orang yang selalu kenyang yang bisa lupa makan. Dirinya saja kalau sudah merasa lapar langsung ingat makan. Aneh-aneh saja.
"Assalamu'alaikum." Kayesa mengucap salam saat membuka pintu dan menatap Denan yang sedang sibuk dengan laptopnya. Laki-laki itu duduk bersandar di atas ranjang.
Kayesa mendengus. Lihatlah, Denan itu songong sekali, hanya menatapnya sekilas tanpa menjawab salamnya. Padahal, 'kan salam itu wajib dijawab.
"Assalamu'alaikum, Woy!" Gadis itu gregetan melihat Denan yang kini justru berbaring menyamping di atas ranjang dengan laptop yang juga ia letakkan di depan wajahnya. Heran, posisi mengerjakan tugas macam apa itu?
"Salam itu dijawab. Pernah belajar agama nggak sih lo?"
"Sudah gue jawab dalam hati," ucap Denan tanpa menatap Kayesa.
"Julidin orang aja lancar, giliran jawab salam malah pakai bahasa kalbu." Kayesa melangkah mendekati Denan yang fokus dengan laptopnya. "Lo disuruh turun, makan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Syuamitonirrajim
Spiritual-Spiritual~Romance- Menikah dengan seseorang yang merupakan sahabat sejak kecil mungkin masih bisa keduanya toleransi, tetapi bagaimana jika menikah dengan seseorang yang merupakan musuh sejak kecil? Kayesa tidak pernah membayangkan hal itu akan ter...