Chapter 1. Rutinitas

86 36 137
                                    

Jihan Avyra Zaina, gadis yang kini berumur 19 tahun itu terpaksa harus berhenti kuliah dan memilih untuk bekerja mencari uang, demi membiayai kehidupan sehari-hari dan pendidikan sang adik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jihan Avyra Zaina, gadis yang kini berumur 19 tahun itu terpaksa harus berhenti kuliah dan memilih untuk bekerja mencari uang, demi membiayai kehidupan sehari-hari dan pendidikan sang adik.

Itu semua harus Jihan lakukan setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dan lagi, rumah mewah yang selama ini Jihan tinggali harus disita untuk membayar hutang-hutang ayahnya.

Tidak masalah bagi Jihan jika ia harus mengorbankan pendidikannya, karena bagi gadis itu yang terpenting adalah pendidikan dan masa depan yang cerah untuk sang adik. Lagi pula hanya ialah yang adiknya miliki, sehingga bisa dikatakan bahwa Jihan berperan lebih dari seorang kakak, yaitu sebagai pengganti ayah dan ibu bagi adiknya.

Pagi ini, Jihan tengah sibuk menyelesaikan aktivitas memasaknya di dapur seperti biasa. Selepas meletakkan sepiring nasi goreng di meja makan, ia memanggil nama adiknya dan memintanya untuk segera bersarapan.

Tak lama setelah Jihan memanggil, seorang pemuda yang mengenakan setelan seragam sekolah lengkap dengan tas ransel yang bertengger di satu pundaknya—keluar dari sebuah ruangan yang merupakan kamar miliknya.

Pemuda itu tak lain adalah Jino, remaja berusia 16 tahun yang baru menginjak di jenjang Sekolah Menengah Atas. Jino menyisir pelan rambutnya dengan jemari sambil melangkah ke arah meja makan. Melihat sang kakak tersenyum manis padanya, lebih dulu Jino membalas senyuman tersebut sebelum akhirnya ia duduk di kursi meja makan dan menaruh tas ranselnya di kursi yang lain.

"Kakak nggak sarapan juga?" tanya Jino saat melihat Jihan hanya menatap ia yang baru akan menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

Jihan yang masih senantiasa tersenyum itu lantas menjawab, "Kakak nanti aja sarapannya."

Pernyataan Jihan itu membuat Jino mengurungkan niatnya yang hendak menyantap makanan. Lalu tangannya menjatuhkan sendok yang ia pegang begitu saja hingga menimbulkan suara dentingan yang tak terlalu keras.

"Aku tau, Kakak nggak sarapan karna ..." Jino beralih menatap sepiring nasi goreng di meja. "nasinya cuma sepiring, 'kan?"

Perlahan senyum Jihan luntur atas pernyataan sang adik yang memang benar. Ia sedikit menundukkan kepala dengan netra yang menatap ke sembarang arah. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena Jihan kembali menatap Adiknya sembari tersenyum.

"Kakak nggak nafsu makan, Dek. Nanti Kakak pasti makan, kok, agak siangan."

"Kakak bohong, ya?" tanya Jino yang membuat senyum Jihan kembali luntur. Tak ada jawaban dari sang kakak sehingga Jino pun kembali berucap, "Nasi gorengnya kita makan berdua, ya, Kak."

"Eh, nggak usah. Kamu aja yang makan. Itu, 'kan, buat kamu. Dihabisin, ya."

Dengan keras Jino menggeleng seraya menunjukkan raut garang yang ia buat-buat, dan malah tampak menggemaskan di mata siapa pun yang melihat. Ia menyendok nasi gorengnya lalu menyodorkan ke arah mulut Jihan.

Kupu-kupu Kehidupan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang