Jino memandang ke sekeliling kafe dua lantai yang ramai akan pengunjung. Di tempat itulah nantinya ia akan bekerja paruh waktu agar bisa menabung dari hasil jerih payahnya sendiri dan sedikit meringankan beban sang kakak.
Mengenai alasan yang ia ajukan pada Jihan, Jino sudah mengutarakannya. Ia beralasan kerja kelompok di rumah temannya dan mengatakan kemungkinan akan pulang sedikit malam. Sebenarnya Jihan mempertanyakan pernyataan terakhir Jino, tetapi pemuda itu tidak tahu karena terlanjur memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Gama mengajak Jino menemui kakaknya yang memang sedang ada di kafe itu. Sebelumnya Gama pun lebih dulu mengabari kakaknya melalui telepon, jika ia akan datang ke sana bersama temannya.
"Ada apa? Tadi di telfon kedengerannya kayak penting," ucap Galih-kakak dari Gama.
"Lowongan buat jadi waiter di sini masih terbuka nggak, Bang?" Gama balik bertanya, lalu menatap Jino sesaat.
"Masih. Emang kenapa?"
Baik Gama maupun Jino tersenyum senang mendengar jawaban itu. "Ini, Bang, temen gue mau kerja di sini," kata Gama sembari menepuk bahu Jino yang berdiri di sampingnya.
Kini Galih beralih menatap Jino, malahan dengan seksama dari atas hingga bawah. Jino yang mendapat pengamatan seksama itu lantas turut mengamati dirinya dan bertanya-tanya dalam hati, apa ada yang salah sama aku?
"Kenapa mau kerja?" Tiba-tiba Galih bertanya pada Jino.
"Ya cari uang, lah, Bang. Dia pengen bantu kakaknya." Bukan Jino yang menjawab, melainkan Gama.
"Saya diterima kerja di sini, 'kan?" tanya Jino dengan sopan. Dalam hati tentu saja ia berharap jawaban Galih adalah, iya.
"Ya boleh aja, sih. Tapi ..." Galih menggantungkan kalimatnya lalu terdiam berpikir.
"Please, lah, Bang. Bantu temen gue ini," desak Gama yang kembali menepuk bahu Jino.
Sementara yang ditepuk bahunya sempat berdecak dalam hati seraya memandang Gama sesaat. Pasalnya tepukan Gama tidaklah pelan, dan cukup membuat Jino merasa tidak nyaman. Jika bukan karena sedang dalam mode serius, mungkin Jino sudah protes pada temannya itu.
"Yaudah, kamu diterima kerja di sini." Jawaban Galih itu membuat Gama dan Jino kembali tersenyum senang. "Tapi kamu beneran bisa kerja, 'kan?"
Jino langsung mengganguk. "Kalau nggak bisa saya nggak mungkin dateng ke sini."
"Bener juga," ucap Galih setelah berpikir sesaat.
"Eh, tapi, dia mau kerja part time." Untuk yang ketiga kalinya Gama berbicara seraya menepuk bahu Jino lagi.
"Boleh, boleh. Karena kamu, 'kan, masih sekolah juga." Galih berkata demikian karena ia sangat mengerti akan keadaan Jino.
Ucapan terima kasih Jino lontarkan lebih dari satu kali sembari menjabat tangan Galih. Lantas Galih memanggil seseorang yang merupakan manager di kafe itu agar memberikan seragam kerja untuk Jino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu Kehidupan ✔
Teen FictionBagi Jino memiliki seorang kakak seperti Jihan merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepadanya. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Jihan lah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jihan pun sangat menyayangi Jino melebihi di...