Hari ini Jihan pergi ke sekolah Jino untuk memintakan izin bahwa adiknya itu tidak bisa masuk sekolah. Di karenakan kondisi Jino yang masih sakit dan justru lebih parah dari semalam. Meski begitu Jino sempat bersikeras ingin tetap masuk sekolah, tetapi tentu saja Jihan tidak memperbolehkannya. Jihan juga berkata, Jino baru boleh kembali bersekolah jika dia sudah sembuh secara total.
Setelah menyelesaikan urusannya di sekolah Jino, Jihan bergegas pulang karena tak ingin berlama-lama meninggalkan adiknya seorang diri di rumah. Bahkan hari ini gadis itu tidak menerima pesanan kue karena ingin fokus merawat Jino.
Saat langkah kaki Jihan menapaki area luar sekolah—lebih tepatnya persis di depan gerbang, gadis itu terkejut kala netranya mendapati seorang pemuda yang terjatuh dari papan skateboard. Buru-buru Jihan menghampiri pemuda yang merupakan murid di sekolah itu, terlihat dari seragam yang dia kenakan.
"Eh, Dek. Kamu nggak papa?" Jihan bertanya demikian seraya membantu pemuda itu bangkit dari jatuhnya.
Yang ditanya tidak menjawab. Dia meringis, merasakan sakit dari luka yang menodai siku kanannya. Memang hanya luka kecil, tetapi rasanya cukup sakit dan perih. Hal itu pun langsung disadari oleh Jihan yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas selempangnya.
Jihan mengambil selembar tisu dan plester yang memang selalu ia bawa di tasnya. Lebih dulu Jihan membersihkan kotoran di sekitaran luka di tangan pemuda itu dengan tisu, barulah kemudian ia menempelkan plesternya di luka tersebut.
"Makasih," ucap pemuda itu seraya tersenyum tipis. Lalu dia mengambil skateboard-nya yang tergeletak di tanah dengan posisi terbalik.
"Sama-sama. Lain kali kalau naik skateboard lebih hati-hati, ya."
Pemuda itu mengangguk. Netranya yang teringin menatap Jihan dengan seksama, merasa familiar dengan gadis di hadapannya itu. Sementara Jihan yang menyadari tatapan tak biasa dari pemuda itu, kini mengernyit heran dan urung berucap saat sang lawan bicara bersuara lebih dulu.
"Kakak ini ... kakaknya Jino, bukan?" tanya pemuda itu seraya menunjuk Jihan.
Yang ditanya tersenyum sesaat. "Iya. Kamu temennya Jino, ya?"
Tak menjawab, pemuda itu kini terdiam dan bergumam dalam batin. Ya ampun, kakaknya Jino ini baik banget. Senyumnya manis, ngomongnya juga lembut lagi. Gue jadi malu dan merasa bersalah udah ngehina dia waktu itu.
Beberapa detik berlalu. Karena tak kunjung mendapat jawaban dari sang lawan bicara, akhirnya Jihan kembali bersuara, "Dek, kok diem? Kenapa?"
"Eh, iya." Pemuda itu tertegun. "Kakak tanya apa tadi?"
"Kamu temennya Jino?"
"Em ... iy-iya, Kak. Aku Gama, temen sekelasnya Jino." Dia mengulurkan tangannya sebagai salam perkenalan.
"Oh, kalian sekelas ternyata." Jihan membalas uluran tersebut. "Salam kenal, ya. Nama Kakak Jihan."
Gama menampilkan ekspresi yang tidak pasti. Ia ingin tersenyum atas keramahan dan kelembutan Jihan saat berbicara, tetapi merasa malu dan menyesal bila mengingat ucapannya kepada Jino beberapa waktu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu Kehidupan ✔
Teen FictionBagi Jino memiliki seorang kakak seperti Jihan merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan kepadanya. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal, hanya Jihan lah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jihan pun sangat menyayangi Jino melebihi di...